Tentang Hujan

1493 Words
Malam ini hujan turun dengan derasnya. Gemuruh suara petir di luar jendela sesekali menggelegar keras. Cahaya sambaran petir pun membuat kamar yang temaram itu sesekali menjadi terang. Ketika kilatan cahaya petir kembali menyambar untuk ke sekian kalinya, terlihatlah sosok Hana yang sedang meringkuk ketakutan di atas kasurnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.00 tengah malam, namun Hana sama sekali tidak bisa terlelap. Dia kini menggigil ketakutan dibalik selimutnya. Sesekali dia bahkan menutup telinga ketika suara petir kembali menyambar. Malam ini terasa panjang paginya. Dia berharap badai itu segera usai, namun suara hujan itu malah terdengar semakin menyeramkan. Hana meraih handphone-nya yang tersembunyi dari bawah bantal. Cahaya layar handphone yang kini menyinari wajahnya itu semakin menampakkan raut kecemasan Hana. Jemarinya pun terus menggulir pesan w******p yang sudah dikirimkannya kepada Nathan. Selamat pagi... bagaimana kegiatan kamu hari ini? Apa kamu sudah makan siang? Hari ini aku makan siang dengan gulai telur yang aku mix sama jengkol muda lho... makanan favorit kamu. Kamu lagi apa? kenapa kamu tidak juga membaca pesan aku? apa kamu begitu sibuk? Kalau ada waktu... kirimkan aku pesan suara, ya. Malam... Apa kamu sudah mempunyai waktu senggang? Bisakah kita berbicara di telepon walau hanya beberapa menit saja? Nath... aku takut sekali. Petir di luar sana begitu keras. Hujannya juga sangat deras. Aku benar-benar ketakutan. Saat ini aku sangat lapar, tapi aku bahkan takut untuk sekedar keluar dari selimut. Please baca pesan ini. Temani aku malam ini. Aku benar-benar membutuhkan kamu.... Hana menatap nanar deretan pesan yang masih juga belum terbaca itu. Dia kembali mencoba memejamkan mata, namun rasa gelisah itu tak juga sirna. Hujan dan petir adalah dua hal yang paling Hana takutkan dalam hidupnya. Hal itu lantaran kisah masa lalu perempuan itu. Hana adalah seorang anak yang ditelantarkan orang tuanya ketika berusia empat tahun. Dia ditinggalkan di jalanan yang sepi pada malam hari. Saat itu hujan turun begitu deras disertai petir. Hana kecil pun meraung-raung ketakutan. Dia terus berjalan tak tentu arah dalam gelapnya malam. Beruntung ada mobil patroli yang kebetulan melintas dan itulah awal kisah bagaimana Hana berakhir di panti asuhan. “Nathan... aku takut....” Hana kembali berbisik lirih dengan mata yang terpejam rapat. Setiap petir menyambar tubuhnya akan menggelinjang kaget. Hana pun menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan telapak tangan. Dia berharap bisa segera terlelap. Dia berharap badai itu segera usai. Hana tidak lagi membuka matanya, namun aliran bening terus saja merembes dari kedua sudut matanya dan bibir yang tak henti-henti menyebutkan satu nama. “Nathan....” _   Di tempat yang berbeda, Nathan baru saja menyelesaikan scene terakhirnya untuk syuting hari ini. Dia pun akhirnya bisa bernapas lega. Seluruh sendi tubuhnya sudah terasa remuk. Proses syuting film yang dia bintangi bersama Samanta sudah di mulai. Pengambilan adegan hari ini dilakukan di sebuah rumah mewah yang terletak di kawasan pusat Ibukota. “Apa kamu lapar?” tanya Ari seraya menepuk pundak Nathan pelan. Nathan menggeleng samar. “Aku ingin langsung pulang saja.” Ari beralih menatap keluar jendela. “Tapi hujannya masih deras, kita tunggu sebentar lagi saja ya.” Tatapan Nathan pun juga beralih pada hujan di luar sana. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Nathan lekas bangun dari duduknya dan bergegas mengambil handphone yang berada di dalam kantong jaketnya. Nathan segera memeriksa pesan w******p-nya dan seketika merasa bersalah setelah membaca pesan dari Hana. Nathan buru-buru memasang jaketnya itu dan berlari ke beranda lantai dua rumah itu. “Kamu mau ke mana?” tanya Ari. Nathan tidak menjawab dan bergegas menaiki tangga. Setiba di beranda lantai dua itu, Nathan langsung menelepon Hana. Wajahnya terlihat khawatir dan cemas. Panggilan itu sudah tersambung, tapi Hana masih belum mengangkatnya. Nathan pun menjadi semakin gelisah. Dia terus mencoba menghubungi Hana berulang-ulang dan tidak menyadari bahwa di ujung sana ada sepasang mata yang sedari tadi terus memerhatikannya. “Kenapa kamu terlihat cemas?” Nathan terkejut setengah mati. Handphone yang ada di genggamannya pun jatuh ke bawah dan dia hanya bisa meringis melihat handphone itu terjun bebas di antara semak belukar. “K-kenapa kamu ada di sini?” Nathan beralih menatap Samanta. Samanta tersenyum tipis. “Aku sudah lebih dulu berada di sini, tapi kamu tidak menyadarinya.” “J-jadi—” “Ya... aku sudah melihat semuanya. Siapa yang kamu hubungi itu? sepertinya kamu terlihat sangat cemas.” Samanta melangkah semakin dekat. “B-bukan siapa-siapa,” jawab Nathan tergagap.   Samanta tersenyum tipis. “Kamu yakin?” Nathan meneguk ludah. Dia ingin bergegas pergi untuk mengambil handphone itu kembali, tapi begitu akan melangkah, Samanta kembali bersuara. “Kalau kamu mengambil handphone itu sekarang artinya itu adalah seseorang yang spesial. Hmm... apa kamu sedang menjalin hubungan asmara dengan seseorang?” selidik Samanta. Nathan kembali berbalik. “Omong kosong apa itu, ha!” Samanta terkikik pelan. Nathan pun diam-diam melirik perempuan itu dari sudut matanya. Saat ini Samanta menengadahkan kepalanya menatap langit. Tidak lama kemudian dia juga menjulurkan tangannya untuk menyentuh hujan. “Bukankah hujan itu menyenangkan? Aku selalu menyukainya,” ucap Samanta. Nathan pun menoleh pelan. Dia terpaku melihat senyuman yang kini tergurat di wajah Samanta. Dia tidak pernah melihat Samanta tersenyum seperti itu. Walaupun Samanta terkenal dengan senyumnya yang manis, tapi senyum yang biasa ditampilkannya bukanlah senyum yang seperti itu. Binar matanya benar-benar menyorotkan rasa kagum. Ada ketulusan yang terlihat dari garis bibirnya saat ini. “Memangnya apa yang istimewa dari hujan?” tanya Nathan. “Hujan itu menenangkan... bagi aku suara hujan terdengar begitu merdu. Hujan juga seakan-akan menyapu semua rasa lelah dan penat. Aku merasa damai bersama hujan,” jawab Samanta. Nathan mengangguk pelan. Tanpa dia sadari kedua sudut bibirnya terangkat pelan. Kali ini dia setuju dengan ucapan perempuan arogan itu. Nathan sendiri memang juga sangat menyukai hujan. Sedari kecil aktivitas paling menyenangkan baginya adalah bermain-main di bawah hujan. Nathan paling senang bermain bola hujan-hujanan bersama teman-temannya. Dia juga suka berlari-larian di bawah hujan. Seperti kata Samanta, bagi Nathan hujan memang mampu membuatnya tenang. “Kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?” Samanta menatap heran. Deg. Nathan tersadar dan langsung mengkondisikan raut wajahnya. “S-siapa yang senyum-senyum? Nggak ada tuh.” Samanta tersenyum pelan. “Sepertinya kamu juga menyukai hujan? Iya kan?” Nathan tidak menjawab. “Hah... aku ingin sekali berlari-lari di bawah hujan tanpa mengenakan alas kaki. Tapi pasti nanti manajerku tidak akan mengijinkannya,” keluh Samanta. Nathan pun menatap tak percaya. “Kamu? Lari-larian di bawah hujan? Aku tidak percaya seorang perempuan seperti kamu berani melakukan hal itu.” Samanta menatap tajam, lalu menarik satu ujung bibirnya. “Kamu tunggu di sini, ya!” Nathan menatap bingung. Samanta tiba-tiba aja berlari pergi. Tidak beberapa lama kemudian Nathan pun mendengar suara dari bawah yang memanggil namanya. “Hey! Nathan...!” Nathan segera berbalik dan membelalak. “S-samanta...?” Di bawah sana Samanta melambai-lambaikan tangan padanya. Perrempuan itu kini berputar-putar di bawah hujan sambil bersorak-sorak tak menentu. Nathan hanya bisa menatap pemandangan itu dengan dagu yang hampir jatuh dari tempatnya. Dia benar-benar tidak percaya perempuan seperti Samanta bisa melakukan hal konyol seperti itu. Nathan pun menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya. Beberapa detik kemudian dia tersenyum. Nathan bahkan tidak bisa lagi menyembunyikan senyumnya itu. “Gila...! dia benar-benar gila,” bisik Nathan. Setelah puas berlari-larian di bawah Hujan, Samanta pun kembali ke lantai atas. Dia datang dengan sekujur tubuh yang sudah basah. Napasnya pun kini tersengal-sengal. Setelah mengatur napasnya sejenak, dia pun melangkah mendekati Nathan. “Bagaimana? Apa kamu masih tidak percaya aku bisa melakukan itu?” Nathan tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada pundak Samanta yang terlihat jelas. Kemeja putih yang dikenakan perempuan itu sudah sepenuhnya basah kuyup dan hal itu membuat lekuk tubuh dan kulit dibalik kain itu terlihat jelas. Pupil mata Nathan pun tersentak saat tidak sengaja melihat ke bagian d**a Samanta. Dengan sigap dia langsung berpaling dan mengarahkan pandangannya ke arah langit. Samanta pun terkikik geli melihat sikap Nathan itu. “Hmm... ternyata kamu tidak seperti yang aku duga.” “M-maksud kamu?” tanya Nathan. “Aku pikir kamu termasuk jenis laki-laki fuckboy yang suka bermain-main dengan banyak wanita. Tapi sepertinya kamu bukan jenis laki-laki seperti itu,” jawab Samanta. “T-tentu saja bukan,” sanggah Nathan. Samanta menatap Nathan lekat-lekat. “Tapi aura kamu itu memang terlihat seperti itu. Kamu terlihat pongah, angkuh, dan sorot mata kamu selalu terlihat seperti tatapan pria yang lapar.” Nathan yang tidak terima dengan tuduhan itu kembali berbalik menatap Samanta. “Aku bukan laki-laki seperti itu.” Samanta tersenyum menggoda. Dia mendongakkan wajahnya lebih dekat pada Nathan, lalu berbisik pelan. “Benarkah...?” Nathan refleks menahan napas dan menjauhkan wajahnya dari Samanta. Sedetik kemudian dia langsung melepaskan jaket yang dikenakannya, lalu memasangkannya pada perempuan itu. Deg. Raut wajah Samanta berubah drastis saat Nathan memasangkan jaket itu padanya. Padahal tadi dia begitu bersemangat untuk mengisengi Nathan dengan raut wajah centilnya. Padahal tadi dia benar-benar ingin menguji sosok lelaki itu. Namun perlakuan Nathan padanya itu membuat Samanta kehilangan akal sehatnya. Samanta hanya menatap nanar dengan detak jantung yang kini berdetak lebih cepat dari pada biasanya. Dia terpaku menatap Nathan yang masih memasangkan kancing-kancing jaket itu. “Nah... begini lebih baik,” ucap Nathan kemudian. Samanta pun kembali mengembuskan napas yang sedari tadi ditahannya setelah Nathan menjauh darinya. “A-apa-apaan sih ini?” bentak Samanta dengan pipi yang sudah terasa panas. Nathan tidak menjawab. Dia kembali menatap langit malam yang masih menangis. Sejenak dia memejamkan matanya dan menghirup aroma hujan yang khas. Samanta pun memerhatikan sosok itu lekat-lekat. Ada desiran aneh yang kini memenuhi dadanya. Samanta sendiri juga tidak tahu apa yang saat ini sedang dia rasakan. Namun yang jelas sekarang dia bagai terhipnotis oleh lelaki itu. Samanta ingin memalingkan pandangannya, tapi otaknya tidak memproses perintah itu. “Sebaiknya kamu segera berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang!” Nathan pun beranjak pergi. Samanta menatap kepergian Nathan dengan sorot mata yang teduh. Sedetik kemudian dia tersenyum seraya menghela napas. “Sepertinya... aku mulai menginginkan kamu,” bisiknya lirih. _ Bersambung 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD