“Kenapa kamu belum datang juga...?”
Perempuan bertubuh mungil itu berbisik lirih. Matanya terpaku pada jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rambutnya yang tadi diikat rapi sekarang sudah berubah kusut. Riasan di wajahnya juga sudah terlihat luntur. Padahal tadi dia menghabiskan banyak waktu di depan cermin untuk berdandan. Namun semua itu ternyata berakhir sia-sia. Jangankan untuk memperbaiki riasan di wajahnya, untuk sekedar tersenyum saja bibirnya sekarang sudah terasa berat.
“Apa kamu sengaja mematikan handphone kamu?” bisik Hana lagi.
Hana kembali beranjak ke dekat pintu depan rumahnya. Sudah tidak terhitung berapa kali dia mengintip keluar jendela kaca, namun sosok yang dinanti-nanti itu tak juga kunjung datang. Di luar sana terlihat begitu gelap dan hening. Kendaraan bahkan tidak ada lagi yang melintas. Tak berselang lama setelah itu sebuah kilat pun menyambar dengan suara yang cukup keras. Bersamaan dengan itu hujan pun turun dengan derasnya.
Kini hanya suara gemerisik hujan saja yang terdengar. Hana melangkah gontai dengan tatapan nanar. Padahal ini adalah hari yang sudah dia tunggu-tunggu. Dia sudah melakukan banyak persiapan untuk menyambut hari ini. Dia sudah menyiapkan semuanya sejak pagi buta. Namun...
Dia tidak datang.
Hana beralih memandang aneka makanan yang sudah tersaji di meja makan. Ada banyak jenis makanan yang sudah disiapkannya. Sup iga yang tadinya masih mengepulkan asap kini telah dingin. Beberapa sayur-sayuran yang tadi masih segar kini sudah berubah layu. Deru napas Hana mendadak terdengar sesak. Tak lama kemudian aneka masakan yang sudah dibuatnya itu mulai terlihat buram karena linangan air matanya.
Tumpah.
Air mata pun tidak tertahankan lagi. Hana berusaha menahan tangis, namun suara isak yang tertahan itu justru lebih terdengar pilu. Dia berlari masuk ke dalam kamar dan langsung membenamkan wajahnya ke bantal. Runtuh sudah pertahanannya hari ini. Hana tidak sanggup lagi membendung perasaannya. Dia pun terus menangis bersama hujan yang menutupi suara tangisnya.
_
Perempuan sabar itu bernama Hana.
H-A-N-A.
Ya, hanya satu kata itu saja tanpa embel-embel lain di depan ataupun di belakangnya. Sekitar 2 minggu lagi dia genap berusia 24 tahun. Usia yang pada zaman sekarang sebenarnya masih terbilang muda, tetapi realita sudah memaksanya untuk mengecap berbagai kepahitan hidup.
Perempuan berambut panjang itu memiliki bola mata yang cukup besar, namun terlihat sayu. Selain itu Hana mempunyai hidung yang mancung dan juga bentuk bibir yang kecil. Mata sayu miliknya membuat raut wajah Hana selalu terlihat sendu meskipun dia sedang berbahagia. Hana adalah tipikal perempuan sederhana yang tidak banyak mengerti mengenai fashion dan juga kosmetik. Lebih dari itu dia memang merasa tidak tertarik sama sekali. Dalam kesehariannya, Hana lebih sering berpenampilan boyish, tapi dia tetap terlihat manis karena perawakannya yang mungil. Baju kaos kedodoran dan celana jeans yang longgar adalah jenis mode andalannya. Rambutnya yang ikal dan bergelombang kerap diikat tinggi dan kadang juga dibiarkan tergerai begitu saja. Seperti namanya yang serderhana, Hana memang hanya perempuan biasa-biasa saja dengan segala kesederhanaannya.
_
Cahaya matahari yang meenrobos masuk melalui kaca jendela membuat Hana terbangun. Kepalanya kini terasa pusing. Matanya terlihat sembab karena menangis semalaman. Hana meraih handphone-nya yang terletak di atas meja. Sorot matanya kembali sendu. Tidak ada panggilan masuk. Tidak ada pesan. Tidak ada pemberitahuan apapun di sana.
Kerongkongannya sekarang terasa kering. Hana melangkah gontai menuju dapur sambil berpegangan pada dinding. Kepalanya terasa sakit sekali. Hana meminum segelas air putih dalam satu kali tegukan saja. Dia pun merasa sedikit lebih baik saat aliran segar itu membasahi kerongkongannya.
Tatapannya beralih pada meja makan yang sudah berantakan. Sepertinya semalam para kucing dan tikus sudah berpesta. Beberapa makanan sudah tumpah dan berceceran di lantai. Hana menghela napas panjang. Sejenak dia berniat untuk membersihkan kekacauan itu. Namun kemudian dia malah beranjak duduk di sofa dan menyalakan televisi yang ada di depannya.
“Konser perdana penyanyi pendatang baru Jonathan Andrea berlangsung meriah. Ribuan fans memenuhi stadion untuk menyaksikan konser sang superstar tersebut....”
Hana tersenyum tipis mendengarkan penuturan presenter gosip itu. Layar televisi pun beralih menampilkan kemeriahan konser Nathan semalam. Pupil mata Hana pun tersentak begitu melihat sosok Nathan yang muncul di layar kaca. Layar televisi masih menampilkan beberapa potongan acara konser Nathan. Hana pun terus memerhatikan sosok itu lekat-lekat. Tak beberapa lama kemudian tangannya mengawang seperti hendak menjangkau layar yang tengah menampilkan wajah Nathan yang sedang tersenyum.
“Dulu aku bisa menyentuh wajah itu setiap hari. Dulu aku bisa melihat senyum itu setiap waktu. Aku bahkan selalu terlelap dalam hangat helaan napasnya. Dalam erat dekapannya....”
Ya... ada satu rahasia besar yang selama dua tahun terakhir ini sudah ditutupi Hana rapat-rapat. Sebuah rahasia yang semakin hari semakin menyiksanya. Semakin lama semakin menorehkan luka padanya. Sebuah rahasia yang membuatnya larut dalam rasa kehilangan. Rahasia besar itu adalah kenyataan bahwa...
Jonathan adalah suaminya.
Hana mematikan televisi itu dengan helaan napas yang terdengar sesak. Dia tidak sanggup lagi berlama-lama menatap sosok Jonathan. Hatinya menjerit ingin bertemu. Raganya berontak hendak bersua. Sudah satu bulan lebih lamanya Hana sama sekali tidak bisa bertatap muka dengan Jonathan karena persiapan konsernya itu.
Meskipun terasa berat, Hana pun memaklumi situasi yang sedang terjadi. Dia tahu bahwa Jonathan disibukkan dengan berbagai aktivitas dan latihan yang sangat melelahkan. Dia juga tahu bahwa sang suami bahkan tidak punya banyak waktu untuk tidur di malam hari. yang menjadi permasalahan adalah Nathan sudah terlanjur berjanji akan pulang setelah konser itu selesai. Dia sudah berjanji akan memberikan waktu khusus untuk Hana. Sebagai seorang istri tentu saja Hana sangat mengharapkannya. Hana bahkan menghitung hari demi hari untuk bisa melihat wajah Jonathan secara langsung. Untuk bisa menyentuhnya. Untuk bisa melepaskan semua rindu dan juga hasrat yang lama tertahan.
Namun...
Nathan tidak menepati janjinya.
TING TONG
Tiba-tiba Hana dikejutkan oleh suara bel yang berbunyi. Senyumnya pun langsung merekah. Hana segera berlari ke depan untuk membukakan pintu. Akhirnya dia kembali. Ternyata dia menepati janjinya. Masih dengan senyum sumringah Hana pun menarik gagang pintu itu dengan tergesa-gesa.
“Akhirnya kamu dat....”
Kalimat Hana terhenti begitu melihat seseorang yang berdiri di depannya. Ternyata itu bukanlah Jonathan. Melainkan seorang kurir yang datang mengantarkan paket.
“Dengan Ibu Hana?” tanya pria itu.
“I-iya.” Hana beralih menatap sebuah dus berukuran sangat besar beserta satu buket bunga yang kini dipegang oleh kurir itu.
“Ini paket untuk Ibuk... tolong tandatangani bukti penerimaannya.”
“Oke.”
Setelah kurir itu pergi, Hana pun segera membawa paket itu masuk ke dalam rumah. Dia mengambil buket bunga itu, lalu meletakkanya di samping barisan buket bunga lain yang sebagian besarnya sudah layu. Dia menatap deretan buket bunga itu dengan lesu.
“Aku tidak butuh bunga... yang aku butuhkan adalah kamu....”
Hana beralih membuka dus berukuran raksasa itu dan ternyata isinya adalah sebuah boneka beruang besar berwarna putih dengan bulu yang sangat lembut. Boneka itu bahkan berukuran lebih besar dari Hana. Sesaat Hana merasa sedikit senang. Dia memeluk boneka itu dengan gemas sambil merasakan kelembutannya. Namun tak beberapa lama setelah itu dia langsung membuang boneka itu dengan gusar.
“Apa kamu mengirim boneka ini sebagai pengganti kamu, ha?”
Hana merasa jengkel, tapi kemudian matanya menangkap secarik kertas yang tercecer di lantai. Dia pun berjongkok seraya merapikan rambutnya ke belakang telinga, lalu mengambil kertas itu sambil menelan ludah. Ternyata itu adalah sepucuk surat dari Jonathan.
Hay...
Apa kabar?
Sebelumnya aku tahu bahwa bunga dan boneka itu tidak akan bisa mengobati kekecewaan kamu. Beribu alasan yang akan aku utarakan pun tidak akan menjelaskan apa-apa. Aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu sedih dengan situasi kita saat sekarang ini. Satu-satunya yang bisa aku ucapkan adalah:
Maafkan aku Hana...
Aku juga merindukan kamu. Aku juga ingin menemui kamu.
Satu hal yang harus kamu ingat adalah... aku melakukan ini semua demi kebahagiaan kita. Demi semua impian yang sudah kita rajut sebelumnya. Aku akan mewujudkan semua mimpi kamu. Aku akan membahagiakan kamu. Semoga kita bisa bertemu secepatnya.
Your love
J.A
Hana termenung sesaat setelah membaca surat itu. Tidak lama kemudian dia meremas surat itu dan melemparkannya dengan gusar. Semua ini terasa semakin tidak masuk akal baginya. Memangnya apa yang akan terjadi kalau publik mengetahui kalau Nathan sudah menikah? Memangnya apa yang akan terjadi?
Bersamaan dengan itu sebuah SMS notifikasi pun masuk ke handphone Hana. Itu adalah SMS banking yang menunjukkan adanya aliran saldo yang baru saja masuk. Hana menatap nanar. Deretan angka itu sama sekali tidak membuatnya bahagia. Tatapannya pun beralih keadaan sekitarnya. Rumah itu benar-benar terasa hampa. Segala kemewahan yang ada di dalamnya tidak memberikan dampak apa-apa. Hana sudah bagaikan seperti seekor burung dalam sangkar emas. Dia terjebak. Terkurung. Dia kehilangan kebebasannya.
Mimpi?
Kebahagiaan?
Persetan dengan itu semua. Apa gunanya segala kemewahan duniawi jika hati terbelenggu sepi?
Hana pun dihantui rasa penyesalan akan keputusannya di masa lalu. Sebenarnya saat itu Nathan berniat untuk berterus terang mengenai status pernikahannya. Namun keinginan Nathan langsung ditentang oleh pihak agensi. Menurut pendapat mereka, karir Nathan akan lebih mulus jika dia berstatus single. Nathan pun sempat berontak dan ingin hengkang dari agensi itu, tapi kemudian mbak Yessy datang membujuk Hana. Sang CEO membeberkan banyak hal yang akhirnya membuat Hana menurut. Hana bahkan ikut membujuk sang suami untuk menyetujui ide itu. Benar saja. Karir Nathan memang langsung melejit, tapi sekarang keadaan itu malah membuat Hana tercekik.
Kebohongan yang mulanya kecil kini bergulir bagai bola salju. Semua mulai terasa menganggu dan membelenggu. Hana berusaha keras menahan diri untuk tidak melakukan hal yang bodoh, tapi tidak lama kemudian dia memutukan untuk mandi dan segera bersiap-siap.
Hana berpakaian dengan tergesa-gesa. Dia juga mengikat rambutnya yang masih basah. Sorot matanya kini memancarkan sebuah tekad. Sepertinya inilah batas kesabarannya. Hana tidak bisa lagi menahan diri. Dia menatap bayangannya di kaca, lalu mengangguk pelan.
“Kalau dia tidak bisa mendatangi aku... maka aku yang akan mendatangi dia!”
_
Bersambung...