Beberapa bulan berlalu. Ayudia sibuk dengan prosesi menjelang sidang akhir. Ia masih menyempurnakan skripsinya juga mencermati hasil penelitiannya. Mungkin saja ada yang kurang. Tapi sejauh ini sudah oke. Ia juga sedang sibuk menghubungi dosen penguji. Rempong sekali urusannya. Tapi begini lah mumetnya menjadi mahasiswi tingkat akhir. Ada rasa haru karena Akan menyelesaikan perkuliahan. Tapi juga rasa tak ingin berpisah dari teman-teman yang selama ini menghabiskan waktu bersama. Namun bagaimana pun, waktu terus berjalan. Ayudia harus menghadapi segala hal di masa depan. Termasuk meladeni mantan yang masih belum kapok mengajaknya untuk balikan.
Azka dan Ifah kompak menyenggol lengan kanan dan kirinya. Keduanya berdeham lantas berjalan duluan dari Ayudia yang hanya menghela nafas. Sejak pulang dari Karimunjawa, lelaki ini kembali mengejarnya. Ayudia tak mengerti kenapa Haykal menjadi bebal sekali. Padahal, ia sangat marah ketika itu dan ia pikir, Haykal tak akan berani datang padanya lagi.
"Congrats," ucapnya sembari memberikan serangkai bunga mawar putih kesukaan Ayudia. "Aku dengar kamu mau sidang minggu depan," lanjutnya. Ayudia hanya menghela nafas. Ia tak tahu Haykal mendapatkan informasi dari mana. Tapi ia memang sudah dijadwalkan untuk sidang. Hanya saja, masih belum mendapat dosen penguji. Jadi ada kemungkinan akan sidang minggu depan dan ada ketidakmungkinan juga. "Makan yuk," ajaknya. "Aku sengaja datang ke sini biar bisa ajak kamu makan bareng," lanjutnya. Ia menawarkan permintaan dengan ketulusan. Namun lagi-lagi Ayudia hanya menghela nafas. "Aku tahu, Di," akuinya. "Aku tahu kalau kamu masih marah. Kamu mungkin gak bisa maafin aku. Tapi please, jangan menjauh dulu, oke?" pintanya dan untuk ke sekian kakinya Ayudia menghela nafas. Ia selalu kalah ketika Haykal sudah berbicara seperti ini dan mengulurkan tangan. Akhirnya, acara makan bersama itu pun dikabulkan Ayudia.
Dari kejauhan sana Azka berseru. "Yeee! Lo berdua kudu traktir gueee!"
Ifah dan Dilla kompak bermuka masam. Tadi mereka bertaruh kalau Ayudia tidak akan pergi bersama Haykal tapi ternyata salah dan yang menang tentu saja Azka.
"Dia itu masih suka sama Haykal, percaya deh. Secara, mereka itu pacaran lama. Gak mungkin secepat itu Dia ngelupain Haykal," tutur Azka yang merasa besar kepala karena kemenangan kali ini.
Ifah mengambil sambal kemudian menaruhnya di atas piringnya. "Tapi lo juga harus tahu kalau Dia sama Fatir itu masih saling berhubungan sampai sekarang."
"Tahu dari mana lo?"
"Hapenya Dia lah," ungkap Ifah yang membuat Dilla terkikik-kikik. Sebetulnya, yang ahli membobol password ponsel Ayudia kan Dilla. "Dan lagi, pesan Haykal juga jarang dibalas. Maksud gue, Dia juga menanggapi tapi yang sewajarnya. Dia kan anaknya gak enak hati sama orang. Mau udah disakiti sedemikian dalam sama mantan juga tetap aja mau maafin."
"Maafin tapi bukan mau ngelupain kali, Fah," sahut Dilla.
"Iya lah. Itu dua suku kata yang berbeda makna."
"Tapi ending-nya menurut lo akan sama siapa?" tanya Azka.
Kedua sahabatnya kompak menggeleng. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
"Lagi pula, si Fatir kayaknya gak jelas gitu deh," tutur Ifah yang berkata berdasarkan analisanya. "Maksud gue, yaaa hanya sekedar jalan dihape dan Dia juga gak pernah tahu gimana itu anak di kampus. Bisa aja kan, punya cewek di sana dan tetap menghubungi Ayudia."
"Itu kan asumsi lo."
Ifah mengangguk. Itu memang cuma asumsi dan ia bisa mengategorikannya sebagai dugaan.
"Dan lagi, mendingan Dia sama yang pasti-pasti aja lah," sahut Azka. Ia bukannya mau mendukung Ayudia bersama mantan. Tapi yang tampak selalu perhatian ya cuma Haykal.
@@@
Dan acara makan siang itu berlanjut menjadi panjang. Tentu saja tak hanya sekedar itu tapi Haykal juga mengajaknya menonton bioskop dan berakhir dengan main game bersama di Timezone. Ia tahu kalau Ayudia mungkin mumet dengan urusan skripsi. Ia juga sama hanya saja, ia masih meluangkan waktu untuk bepergian ke mana pun. Dan dikala seperti ini, Ayudia kesulitan membedakan hatinya. Oke, ia merasa tertarik dengan kepribadian Fatir kala itu. Tapi ini?
"Selesai kuliah, kamu akan ke mana?" tanya Haykal saat keduanya sudah duduk di foodcourt. Haykal membelikannya es krim tadi.
"Kerja."
"Stay di Jakarta?"
Ayudia hanya mengangguk. Ia tak terlalu memerhatikan Haykal karena sibuk memakan es krimnya.
"Kamu gak nanya aku?" tanyanya. Mendengar pertanyaan itu, membuat Ayudia mendongak. Wajah Haykal cukup serius.
"Nanya?"
Lelaki itu mengangguk. "Setelah lulus akan ke mana."
Aaaah. Ayudia mengangguk-angguk. "Ke mana?"
Haykal tersenyum kecil mendengarnya. "Kamu masih ingat mimpiku yang pernah aku ceritakan?"
Kening Ayudia mengerut lantas tampak berpikir. Haykal berdoa semoga gadis ini masih ingat. "Kerja di luar negeri?" tebaknya dan disambut anggukan kepala milik Haykal.
"Aku kemarin penelitian sebulan di sana."
"Oh ya?"
Haykal mengangguk lagi. Ayudia agak kaget. Tentu saja ia tak tahu. "Berangkat abis dari Karimunjawa waktu itu," tuturnya. "Sejujurnya, aku mau bilang ke kamu tapi kamu masih marah."
Aaaah. Ayudia mengangguk-angguk. Ya memang ia masih marah kala itu. Makanya, terakhir ia berani sekali berbicara kuat dan kasar pada Haykal. Kalau sekarang?
"Terus?"
"Beberapa hari kemarin, aku ditelepon pembimbing di sana. Mereka mau merekrutku."
Aaah. Ayudia mengangguk-angguk. Tapi kemudian ia agak kaget ketika Haykal mengulurkan tangannya dan mengambil tangan kirinya. Lelaki itu menatapnya dengan serius.
"Aku berencana untuk menerima tawaran itu, Di."
Aaah. Ayudia mengangguk-angguk. Bagus kalau begitu, pikirnya. Kemudian Haykal menarik nafas dalam.
"Aku akan kerja keras," tuturnya dengan senyuman kecil. "Perpisahan kita terakhir membuatku banyak berpikir tentang hal yang sebelumnya gak pernah aku pikir."
Ayudia mengangguk-angguk lagi. Bagus lah kalau begitu, pikirnya.
"Aku ingin mewujudkan semua impianku."
Ayudia tersenyum kecil. Ia turut senang mendengarnya. Oke, ia memang tahu kalau katanya Haykal sudah tak bersama perempuan itu lagi. Tapi bukan itu masalahnya. Baginya apapun.....
"Kamu mau ikut aku kerja di sana?" tawarnya dengan begitu serius.
Ayudia mematung mendengar kata-kata itu. Sementara Haykal tersenyum kecil.
"Setidaknya dengan kita bersama, aku tidak terlalu kesepian, Di." Ia menarik nafas dalam. "Aku ingin menebus segalanya. Aku tidak ingin mengungkit apa yang pernah terjadi karena ketika dibicarakan lagi pun, aku tidak bisa mengembalikan semuanya. Aku tidak bisa menghapusnya. Semua sudah terlanjur terjadi. Satu-satunya hal yang bisa aku upayakan adalah memperbaikinya dan menggantinya dengan lebih baik, Di. Aku tahu, kamu mungkin masih berat untuk bersamaku lagi dengan apa yang pernah terjadi di antara kita. Aku juga gak mau memaksa kamu, Di. Aku bersedia menunggu."
@@@
Hei, Di!
Sapaan khas itu membuat Ayudia menoleh. Ia fokus mempelajari hasil penelitiannya.
Hei
Rasanya hampir dua minggu, Fatir tak pernah menghubunginya lagi. Ia tak tahu apa kesibukan Fatir selain sibuk dengan penelitiannya.
Sibuk sekali sepertinya
Ayudia terkekeh.
Ya. Bukannya kamu juga?
Fatir terkekeh.
Aku baru saja wisuda hari ini.
Mata Ayudia terbelalak membacanya.
Oh ya? Selamat!
Hanya selamat?
Memangnya ada yang lain?
Fatir menggaruk tengkuknya, agak-agak malu. Lelaki itu sedang duduk di atas tempat tidur sembari menatap koper besar di hadapannya. Ia sebetulnya lelah karena sepulang wisuda dari Bandung, ia dan keluarganya langsung kembali ke Jakarta.
Boleh ketemu, Di?
Kening Ayudia mengerut. Fatir tak pernah mengajaknya untuk bertemu. Lantas ini?
Kenapa?
Pertanyaan itu membuat jiwa Fatir menciut. Ia tak pernah bisa menebak bagaimana perasaan Ayudia padanya.
Hanya ingin bertemu. Barangkali merindukanku.
Ayudia terbahak. Pikirannya dengan sempurna teralihkan dari laptop di pangkuannya. Kemudian menyingkirkan laptop itu dan menggulingkan tubuhnya hingga tengkurap di atas tempat tidur.
Aku agak sibuk beberapa hari ini
Jawaban itu membuat Fatir semakin ciut. Walau ia berupaya menguatkan diri.
Oke. Penelitianmu sudah sampai di mana?
Ayudia tercenung membacanya. Ia kembali membaca balasan sebelumnya kemudian menepuk-nepuk kening. Bodoh, pikirnya.
Aku besok akan sidang akhir, Fatir
Aaah pantas saja. Fatir mengangguk-angguk. Ia kembali tersenyum kecil.
Aku boleh datang?
Ayudia tentu terbelalak membacanya.
Kamu tidak sedang di Bandung?
Aku sudah di Jakarta. Semua urusan sudah selesai di Bandung.
Aaaah. Ayudia mengangguk-angguk. Ia tak tahu. Lelaki ini pun tak bilang kalau sudah menyelesaikan kuliahnya. Tak bilang juga kalau hari ini wisuda. Lantas kalau lelaki ini memberitahu, akan kah Ayudia bersedia datang? Ia juga tak yakin menilik esok hari akan sidang. Dan lagi, ia siapa nya Fatir hingga harus ikut wisuda Fatir? Halu kamu, Di, ledek hatinya.
Bagaimana, Di?
Lelaki itu bertanya karena Ayudia tak kunjung membalas pesannya padahal pesannya sudah dibaca dan gadis itu sedang online.
Kalau tidak sibuk, datang saja, Fatir.
Kamu tidak keberatan?
Justru aku takut kamu yang keberatan.
Fatir tersenyum kecil.
Kalau begitu, aku akan datang.
Ayudia terkekeh.
Kamu tahu kampusku kan?
Aku pernah ke sana beberapa kali.
Ngapain?
Jogging.
Ayudia terkekeh.
Sampai jumpa besok kalau begitu?
Tentu. Kamu sedang sibuk bukan?
Ya. Aku masih harus belajar, Fatir.
Selamat belajar. Dan jangan lupa istirahat, Di. Besok adalah hari bersejarah yang akan kamu ingat seumur hidupmu.
Tengkyu, Fatir.
Fatir tersenyum tipis. Saat ia mendongak, ia baru tersadar kalau ibunya berkacak pinggang di dekatnya dan dua saudaranya terbahak di pintu kamarnya yang terbuka. Kapan mereka masuk? Kenapa ia tak mendengar apa-apa?
"Apa yang Mama sudah pernah katakan padamu, Fatir?"
Fatir menggaruk tengkuknya. Ibunya sih tidak mengambil ponselnya seperti dulu. Kali ini, hanya mengomel dan lagi-lagi Fatir tak terlalu menanggapinya. Hati yang tengah diselimuti kabut asmara memang begitu. Susah dibuat berpaling.
"Mama itu bawel untuk kebaikan kalian juga. Dengar ini! Bukan hanya Fatir!" omel Mamanya yang sudah berjalan menuju pintu. "Sedari kecil, kalian Mama didik untuk paham agama dan juga menerapkannya dengan baik. Oke, Mama tahu kalau kalian masih muda tapi masa muda kalian itu akan menentukan langkah kalian dimasa tua nanti, Fatir."
Fatir menghela nafas. Ia menatap Mamanya yang begitu serius. Mamanya memang sangat ketat jika urusannya perempuan. Ini lah yang membuat Fatir tak berani begitu nekat mengejar perempuan. Ia takut ketahuan oleh Mamanya.
"Lebih baik kamu urus urusanmu di Belanda nanti, Fatir. Banyak yang ingin mendapatkan kesempatan sepertimu. Kamu yang mendapatkan kesempatan emas itu, jangan sekali-kali membuangnya."
Fatir hanya menghela nafas lantas merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur begitu Mamanya menutup pintu.
@@@
"Kamu bisa, Di," tutur Haykal. Lelaki itu tentu saja tak ketinggalan. Ayudia tersenyum lantas pamit pada teman-teman yang lain untuk masuk ke dalam ruang sidang. Ifah ikut dengannya karena gadis itu akan berperan sebagai operator yang akan mengendalikan power point-nya hari ini. Sementara Azka dan Dilla duduk di depan ruang sidang itu bersama Haykal.
"Gue dengar-dengar dari si Danang, lo bakal ke Jepang, Kal," ungkit Azka.
Haykal mengangguk. Urusannya di kampus hanya tinggal menunggu waktu wisuda.
"Serius, Kal?" tanya Dilla. Ia juga terobsesi untuk bekerja di luar negeri. Maklum saja, gajinya menggiurkan. Apalagi di Jepang. "Harus bisa bahasa Jepang?"
"Untuk posisi tertentu iya."
Aaaah. Azka mengangguk-angguk bersama Dilla. "Lo sih jago ya bahasa Jepang."
Haykal terkekeh. Ia memang menguasai bahasa itu sejak dulu karena kecintaannya pada anime-anime Jepang. Sementara di dalam sana, Dia sudah memulai presentasinya. Gadis itu tampak tegang saat memulai tapi kemudian mulai santai menghadapi para dosen yang ada di hadapannya. Ia juga melakukan presentasi dengan sangat lancar dan fokus. Sementara itu....
"Kasih tahu kalau Mama udah pulang," teriak Fatir. Cowok itu baru saja menyalakan mesin mobil kemudian kabur. Kakak laki-lakinya yang sadar kalau mobil yang dibawa Fatir adalah miliknya lantas berlari ke pintu depan.
"KALAU BENSINNYA GAK DIISI, GUE BILANG MAMA!" teriaknya tapi hanya dibalas Fatir dengan kekehan.
Cowok itu mengemudikan mobilnya menuju Depok. Perjalanan kurang lebih hanya memakan waktu kurang dari satu jam. Di perjalanan, ia mampu sebentar ke minimarket untuk membeli makanan dan juga minuman. Ia teringat teman-teman Ayudia. Mereka pasti menunggui Ayudia di luar ruang sidang. Kemudian ia mampu lagi ke salah satu toko bunga untuk membeli bunga. Terakhir, ia mampu lagi untuk membeli kue kecil, merayakan kelulusan sidang Ayudia hari ini.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju kampus Ayudia. Setengah jam kemudian, ia tiba di sana. Perjalanan yang seharusnya ditempuh satu jam kurang itu malah agak molor. Ayudia bahkan sudah keluar dan sedang menunggu para dosen di dalam untuk berdiskusi mengenai kelulusannya. Ia disambut pelukan teman-temannya. Tentu saja ia masih gugup. Tak lama, dosennya memanggilnya kembali untuk masuk ke dalam ruangan. Sementara Fatir baru saja turun dari mobil sembari membawa semua yang dibelinya. Lelaki itu celingak-celinguk mencari sosok teman-teman Ayudia. Ia hanya hapal wajah mereka dan hampir lupa namanya kecuali Dilla karena gadis itu kerap menyapanya di i********:.
Ia sempat bertanya pada beberapa mahasiswa. Ia menanyakan ruang sidang dan tentu saja para mahasiswa ini bingung. Karena di fakultas ini memang hanya menjadikan ruang kelas sebagai ruang sidang. Akhirnya, ia melanjutkan langkah. Ia hendak menelepon Ayudia tapi rasanya tak etis. Karena gadis itu pasti sedang sibuk dengan persidangannya. Kemudian ia memutuskan untuk berjalan lagi.
Beberapa menit setelah ia berjalan dan mengitari fakultas, ia melihat teman-teman Ayudia yang tampaknya mempersiapkan kejutan. Ayudia yang baru keluar kelas dengan wajah sumringah tentu tersenyum lebar. Ia disambut dengan pelukan sahabat-sahabatnya dan juga ucapan-ucapan selamat. Fatir mempercepat langkahnya. Ia datang diwaktu yang sangat tepat karena gadis itu baru keluar dari ruang sidang. Namun sayangnya, kakinya tiba-tiba berhenti melangkah. Matanya hanya menatap lurus ke depan, di mana ada seorang laki-laki yang baru saja berlutut di hadapannya Ayudia dan memberikan bunga yang sangat besar untuk gadis itu. Lebih menyedihkannya lagi adalah Fatirharus menyaksikan bagaimana wajah Ayudia yang sumringah menerima bunga itu dari lelaki yang pernah ia lihat di Karimunjawa waktu itu.
@@@