Karimunjawa I'm In Love : Part 7

2071 Words
Aku kira kamu akan datang, Fatir. Nyatanya, Ayudia agak kecewa karena Fatir tidak datang. Ia sudah menunggu-nunggu tapi tak ada hasilnya. Teman-temannya tak terlalu memerhatikan raut wajahnya. Mereka sibuk bereforia dengan kelulusan Ayudia dan membawa gadis itu ke kantin untuk makan-makan bersama. Setelah itu, Ayudia pamit pulang. Gadis itu kehilangan mood-nya. "Aku antar, Di," tutur Haykal. Cowok itu sudah menarik tangannya. Ayudia bergeming. Gadis itu hanya melihat ke arah tangannya yang ditarik Haykal. "Aku antar," ulangnya sementara Azka, Ifah dan Dilla bersiul-siul meledek keduanya di belakang sana. "Apa gue bilang? Pasti balikan!" seru Azka. Ia yang paling bersemangat dengan hubungan sahabatnya. "Gak ada salahnya balikan sama mantan tauk!" Dilla mendengus sementara Ifah masih memandang Ayudia dan Haykal yang berjalan berdampingan itu. Ia tersadar kalau sudah ditinggal kedua sahabatnya saat Dilla memanggilnya. "Ya emang gak ada salahnya sih," tutur Dilla. "Tapi lo aja gak mau balikan sama mantan!" "Tau tuh!" Kedua gadis itu malah bersekongkol. "Heh! Gue beda cerita ya!" tutur Azka sambil berkacak pinggang. "Ya kali gue balikan sama mantan yang udah nikah!" lanjutnya yang membuat kedua sahabatnya terpingkal. "Kamu kenapa?" tanya Haykal. Cowok itu melihat Ayudia yang termenung menatap jalanan. Ditanya begitu, gadis itu hanya menggelengkan kepala. "Kalau gak kenapa-napa, mukanya kok cemberut?" Ayudia hanya menghela nafas. Gadis itu menoleh ke arah Haykal yang tampak mengayunkan kepala mengikuti irama lagu sembari fokus menyetir. Sebetulnya ada hal-hal yang dipikirkan Ayudia tentang lelaki ini. Ia tahu kalau Haykal berupaya berubah menjadi lebih baik. Lelaki itu ingin bersama dengannya lagi. Tapi Ayudia belum memiliki keinginan yang sama. Walau ia juga tahu, dari pada seseorang yang tak pasti kejelasannya, lebih baik mengambil apa yang ada di depan mata bukan? Namun hatinya masih bimbang. Ini bukan persoalan memaafkan masa lalu yang pernah terjadi. Bukan itu. Masa itu sudah lewat. "Di!" panggilnya karena gadis itu tak menjawab pertanyaannya. Ayudia berdeham. Ia kembali melihat ke arah jalanan di depan sana. "Aku gak mau ngasih harapan apapun." Kata-kata itu membuat Haykal menoleh. Ia tentu saja agak kaget karena Ayudia tiba-tiba membahas itu. "Saat kamu bilang ingin ke Jepang untuk bekerja di sana dan mengajakku.....," ia menghela nafas. "Aku gak bilang apapun kan?" Haykal mengangguk-angguk pelan. Ia berupaya untuk tetap berkonsentrasi pada mobilnya. "Aku gak tahu ke mana hatiku, Kal." Haykal berdeham. Lelaki itu melirik sekilas ke arahnya. "Aku bisa menunggu, Di. Kamu layak ditunggu," tuturnya mantap. Namun hanya terdengar helaan nafas dari Ayudia. "Aku tahu kesalahanku sulit untuk diterima. Ini bukan soal memaafkan karena kamu sudah melakukan lebih dari itu. Kamu mungkin juga takut aku akan kembali mengkhianatimu. Dan ada banyak hal lain yang kamu pikirkan, Di. Aku memahami itu." Ya, sedari dulu lelaki ini memang pandai memahaminya. Meski diam-diam juga mengkhianatinya. Tapi tampaknya sekarang tak lagi? Atau hanya di depan Ayudia saja? "Khilaf mengatakannya terlalu mudah. Meski kenyataannya demikian. Namun kekhilafan ini sungguh bukans sesuatu yang mudah dimaafkan dalam realitanya. Aku gak mau memposisikan diri untuk dimaafkan dan diterima secepat mungkin. Aku tahu kalau semua butuh proses, Di. Dan aku bersedia menerima proses itu," lanjutnya lantas menatap Ayudia dengan senyuman tipis. "Aku gak maksa kalau kamu gak mau berangkat ke Jepang bersamaku." Ayudia hanya berdeham. Ia tak tahu bagaimana harus menanggapinya. "Kita mungkin akan jalan masing-masing dengan kehidupan masing-masing pula. Tapi aku berusaha sebisa mungkin untuk tetap menjaga hatiku untukmu, Di." "Waktu bisa membuat siapa saja berubah, Kal." "Ya, termasuk urusan perasaan. Tapi gak ada salahnya kan jika memilih untuk menetap dan tinggal pada perempuan yang sama? Karena pada akhirnya, aku hanya akan hidup bersama dengan satu perempuan." "Gak ada yang tahu masa depan, Kal." Haykal tersenyum kecil mendengarnya. Memang benar kalau tak ada yang tahu masa depan. Sementara itu.... "Gue gak akan biarin Haykal deketin Dia lagi kalo dia hanya akan mengkhianati Dia untuk ke sekian kali," tutur Azka. Ia berbicara sangat serius di atas motor sambil membonceng Ifah dan Dilla. Kedua gadis itu menebeng dan meminta diantarkan pulang ke kosnya. Sementara Azka akan pulang ke rumah. Ia satu-satunya anak yang berasal dari Depok dan tinggal di rumah orangtua yang tak begitu jauh dari kampusnya. "Begitu?" Azka mengangguk sementara Ifah menarik nafas dalam. Ia sebetulnya tak masalah Ayudia dengan lelaki mana saja asal tidak menyakitinya. "Tapi menurut lo, Dia masih suka sama Haykal?" tanya Dilla. Biasanya tebakan dan perkiraan Azka tentang persoalan asmara orang lain jarang meleset. "Pacaran sekian tahun, pasti masih ada rasa, Dil. Kebetulan aja ada yang deketin dan berpaling tapi belum tentu rasa itu berkembang jauh." "Hanya sesaat gitu maksud lo?" potong Ifah. "Bisa jadi!" Azka tidak memberikan jawaban jelas. Dilla mengerucutkan bibirnya sebagai pertanda ia masih mencerna semua hal yang terjadi. Rasanya agak sulit membedakan perasaan juga hati Ayudia. Gadis itu tak tertebak. "Dan lagi, si Fatir itu gak terlalu serius. Ya gue sih memang gak tahu seberapa dalam hubungan mereka. Tapi kalo gak ada perkembangan ya mendingan ditinggal aja. Ada cowok yang lebih pasti kenapa harus menunggu yang tidak pasti?" "Kadang cewek itu menyukai tantangan, Ka," sahut Dilla santai. "Lo lupa kalo gue korban tantangan?" tuturnya yang membuat kedua sahabatnya tergelak. "Makan tuh bad boy! Mendingan juga nyari yang good boy. Alasan basi kalo ada orang bisa mengubah orang lain. Karena apa? Karena gak ada gunanya. Apalagi kalo orang itu memang gak ada niatan untuk berubah!" Dilla dan Ifah kompak terbahak di belakangnya. "Curhat, Buk?" @@@ Hei! Kamu sibuk? Padahal aku menunggumu. Itu ungkapan jujur. Tapi sayangnya, hanya dibaca oleh Fatir. Ya, hanya dibaca tanpa dibalas. Cowok itu melempar ponselnya ke atas tempat tidur kemudian berjalan menuju lemari. Ia membuka pintu lemarinya lebar-lebar. Kemudian mengambil koper besar dan memasukkan baju-bajunya ke dalam sana. "Wesss! Wess!" seru lelaki yang baru saja membuka pintu kamarnya. Fatir hanya menoleh sekilas kemudian fokus lagi pada baju-bajunya. "Gue dengar lo mau S2 ke Belanda, Tir. Bener ya ternyata?" tutur Wayan. Dokter muda itu sepupunya. Lelaki itu baru disumpah sebagai dokter beberapa minggu yang lalu. Fatir hanya berdeham. Kabar ini tentu saja sudah menyebar dalam keluarga besar mereka. Mama dan Papanya teramat bangga dengan ia yang bisa meraih beasiswa S2 ke Belanda. Tapi Fatir tak bangga-bangga amat. Kenapa? Karena kampusnya memang memiliki kerja sama dengan kampus yang ada di sana. Yang mendapat beasiswa bukan hanya dirinya. Baginya, tak ada yang spesial. Kebetulan saja ia beruntung mendapatkan kesempatan itu. "Yan! Yang bokapnya masuk penjara itu, bokapnya temen lo?" tanya kakak ketiga Fatir. Cowok itu sedang berjalan ke arah kamar Fatir. Wayan masih berdiri di pintu. "Itu udah lama kasusnya." "Iya. Tauk. Tapi gus dengar-dengar dia mau ngajuin pengurangan masa tahanan." Wayan hanya mengendikan bahu. Ia tak tahu menahu. Fatir pun sudah tak mendengar suara kedua lelaki itu. Karena keduanya memang sudah bergerak jauh dari kamarnya. Barangkali ke lantai bawah karena suara ibunya sangat heboh. Ia yakin kalau yang dibicarakan oleh keluarganya tak jauh dari persoalan politik. Di keluarga ini, ia adalah satu-satunya yang tak tertarik dengan hal semacam itu. Usai memberesi dua koper, ia merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Kemudian menutup mata sebentar. Tak lama, terdengar suara ibunya yang memanggil, menyuruhnya makan. Kadang, ia sering kesal ketika dipanggil-panggil seperti ini. Kenapa? Karena ia merasa seperti kanak-kanak. Ia sudah dewasa namun seluruh keluarganya tetap saja memperlakukannya bagai anak kecil yang tak tahu apa-apa. Bahkan keberangkatan ke Belanda ini pun, keluarganya akan ikut juga. Sungguh pusing kepalanya. "Bentaaar!" ia balas berteriak. Kemudian terduduk dan kembali meraih ponselnya. Ada panggilan tak terjawab dari Ayudia. Hal itu membuat Fatir kembali melempar ponselnya. Lalu ia melirik bunga yang teronggok di tempat sampah di sudut kamarnya. Dalam hati, ia membenarkan kata-kata mamanya. Kata-kata apa? "Lebih baik kamu fokus untuk hal lain, Fatir. Masa depan lebih penting dibanding mengurusi urusan asmara. Lagi pula, kamu masih terlalu muda. Mama juga tak ingin kamu berhubungan dengan perempuan manapun. Jatuh cinta boleh tapi hubungan tidak. Dan lagi, kamu tahu kan apa pesan Mama sedari dulu?" Biasanya, Fatir tak pernah mendengar nasehat itu. Ia dengan otomatis sering membantah. Tapi kata-kata itu akhirnya melekat erat dikepalanya sejak kemarin. Kemudian ia beranjak sembari menghela nafas. Hatinya membenarkan ucapan Mamanya. Begitu pula dengan mulutnya. "Lebih baik fokus pada hal lain yang disebut dengan masa depan, Fatir." @@@ Tidak satupun panggilannya yang dijawab. Pesannya juga bernasib sama. Ayudia hanya bisa menatap lesu layar ponselnya kemudian merebahkan kepalanya di atas kusen jendela. Ia hanya bisa menatap kerlipnya malam dalam kesendirian. Ia hanya ingin tahu kenapa pesannya tak dibalas padahal sudah dibaca. Ia juga ingin tahu kenapa lelaki itu tak mengangkat teleponnya atau meneleponnya kembali. Ia menghela nafas panjang. Urusan ini sungguh rumit. "Di!" panggil Mamanya. Pintu kamarnya terbuka. Ia menoleh ke belakang di mana Mamanya berdiri di sana. "Ada Haykal!" Haaah. Ayudia menghela nafas. Ia baru ingat kalau ada janji dengan lelaki itu. Berjalan-jalan sebentar sebelum cowok itu berangkat ke Jepang. "Wah, bagus itu nak Haykal. Jepang itu negara maju. Upahnya juga tinggi. Para pekerjanya juga dihargai," begitututur kata Papanya ketika Ayudia baru keluar dari kamarnya. Suara lelaki itu tentu saja terdengar ke seisi rumah. Haykal tersenyum bangga. Tentu saja bangga karena ia mendapat pekerjaan dengan begitu cepat. Saat Ayudia muncul, gadis itu berdeham. Tak lama, keduanya pamit pada orangtua Ayudia. "Mama dan Papa kamu belum tahu kalau kita sudah putus?" tanya Haykal begitu Ayudia masuk ke dalam mobilnya. Ayudia menoleh ke belakang, ke arah Mama dan Papanya yang berdiri sambil tersenyum, menyimak kepergian mereka. Kemudian ia kembali menoleh ke depan dengan helaan nafas. Ia memang tak berbicara apapun pada kedua orangtuanya. Toh suatu saat nanti, keduanya pasti akan tahu. "Kenapa?" Kening Haykal mengerut. "Apanya yang kenapa?" "Kenapa aku harus memberitahu mereka." Haykal tersenyum kecil. Baginya, jawaban itu bagai memberikan sebuah harapan. "Nanti juga mereka akan tahu." Haykal mengangguk-angguk. "Jadi kamu akan memberitahu?" Ayudia menggelengkan kepala. "Tidak penting, Kal." "Hubunganku denganmu tidak penting?" "Apa yang terjadi sekarang, tidak penting." "Tapi bagiku sangat penting. Melihat orangtuamu yang masih begitu baik dan kamu yang bersikap seperti ini, membuatku berpikir semakin jauh." "Jangan terlalu dalam terbawa arus. Nanti kamu akan hanyut dengannya." "Aku tak masalah jika itu urusannya dengan perasaanmu." Ayudia berdesis sementara Haykal terkekeh. "Kamu janji untuk tidak membicarakan hal ini." Haykal tertawa. Lelaki itu mengangguk-angguk. Memang benar. "Oke," sahutnya sembari melirik Ayudia sebentar. "Kita akan ke mana?" "Terserah." "Apa perempuan tidak bisa berhenti bicara terserah?" "Itu terserahku." Haykal tertawa. "Terserah yang memaksa dan ujung-ujungnya memilih?" ledeknya dan disambut dengan tawa oleh Ayudia. Bagi Haykal, tawa itu bagai penawar rasa sakit atas apa yang terjadi tadi. Maksudnya, kata-kata Ayudia meski ia berusaha untuk tidak ambil hati dalam urusan itu. Keduanya hanya makan sebentar di restoran Jepang. Haykal mengatakan alasannya kenapa ia mengajak Ayudia ke sana padahal ia akan berangkat ke Jepang. "Itu karena kamu tidak bisa ikut denganku." Dan Ayudia hanya diam mendengar ucapan itu. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih karena Haykal masih ingin dengannya. Ia sangat menghargai perasaan itu. Namun di sisi lain, ia masih ingin sendiri dan tak ingin terikat dengan mantan. Mungkin kalau ada lelaki lain.... Haaah. Ia menghela nafas. Ia berusaha melupakan seseorang yang tak lagi menggubrisnya. Yak! Kalo dia udah gak balas begitu, gak telepon lo balik dan gak perduli ya cuekin aja lah, Di. Banyak cowok yang mau sama lo kok. Bukan cuma dia doang. Eeehitu pun kalo dia beneran suka. Ayudia menyimpan ponselnya usai membaca pesan dari Azka. Usai makan dengan Haykal, ia menelepon sahabatnya itu. Biar pun Azka agak rusuh, untuk urusan curhat sih masih aman. Dan gadis itu selalu memberikan solusi meski terkadang dengan emosi. Kini Ayudia dalam perjalanan menuju bandara dengan menumpangi taksi. Ia hendak mengantar Haykal yang akan berangkat ke Jepang hari ini. Lelaki itu menungguinya di pintu keberangkatan. Ayudia tiba tepat waktu. Gadis itu membawa beberapa hadiah, titipan dari kedua orangtuanya untuk Haykal. Berhubung tak bisa ikut mengantar, jadi barang-barang itu dititipkan pada Ayudia. Dan tak lupa, Ayudia juga sudah mengatakan kalau ia dan Haykal sudah tak memiliki hubungan apapun pada kedua orangtuanya. Hal yang tentu saja membuat kedua orangtuanya bertanya-tanya. Tapi Ayudia enggan menjawab. Ia biarkan saja kedua orangtuanya berspekulasi kalau itu disebabkan oleh kepergian Haykal ke Jepang. "Di!" panggil lelaki itu. Wajahnya langsung sumringah melihat perempuan yang baru saja turun dari taksi. Ayudia hanya tersenyum kecil seraya menghampiri. Tentu saja ia juga menyalami ibunya Haykal. Wanita single parent yang harus membesarkan tiga anak. Haykal adalah anak pertama. Cowok itu harus membantu ibunya membesarkan kedua adik perempuan kembarnya. "Hati-hati. Safe flight," pesannya sebelum akhirnya melepaskan Haykal di pintu keberangkatan. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD