Skinship

1830 Words
Chua: Skinship "HAHAHA!" Gue sama Lucky tertawa paling kencang. Iya, kita berdua sedang menertawakan kebodohan Aree karena berani-beraninya menggoda gue—yang ternyata usia kita terpaut hingga lima tahun. Aree—cowok berusia dua puluh dua tahun itu tampak memberengut, tapi pasrah begitu aja menjadi bahan objek tertawaan gue sama Lucky. Lucky yang memang dasarnya receh, kayaknya enak aja gitu ketawanya sambil menepuk-nepuk lengan gue heboh. Gue masih tertawa, bayangan sok ganteng Aree waktu ngajak gue kenalan, sampe dengan beraninya bilang ke Lakka secara langsung mau deketin gue, jadi bikin gue geli sendiri. Astaga, ya ampun. Cowok yang nekat deketin gue di depan Lakka ternyata usianya semuda itu. "Tangan lo." tawa gue masih membludak karena raut wajah Aree yang kelihatan nelangsa banget. Nggak peduli sama Lakka yang menepis tangan Lucky di lengan gue. "Lama-lama gue iket tangan lo biar lebih diem." omel Lakka menatap horor Lucky. Saking kerasnya tertawa, gue sampe nggak sadar mata gue basah. Lucky seolah nggak menghiraukan abangnya yang masih menatap kita berdua sinis. "Sampe nangis loh, Kak Chua," Lucky menunjuk mata gue dengan satu jarinya. Jari-jari gue bergerak mengusap area mata. Dan bener aja, mata gue basah karena terlalu kencang tertawa. "Basah, anjir!" kata gue balas memukul lengan Lucky nggak kalah heboh. Dua orang dengan berbeda ekspresi itu tampak memandangi gue sama Lucky. Kalau Lakka masih kayak biasanya. Datar-datar aja, tapi gue lihat dia sempat menahan senyum geli waktu Lucky memperkenalkan Aree ke gue sama Lakka sebagai temannya. Ya, kalau Aree teman sekampus Lucky, berarti usia mereka nggak beda jauh dong? "Gue sama Aree tuaan gue, Kak!" seru Lucky menunjuk Aree yang memasang wajah masam sekarang. "Masa?" balas gue ke Lucky, lalu beralih ke Aree. "Seriusan?" Aree cuma melengos. Sambil menertawakan temannya, Lucky lagi-lagi menjelaskan tentang Aree, bahkan sampe detail ke tanggal lahir sama bulan lahir cowok berwajah kebule-bulean itu. Lucky sama Aree lahir di tahun yang sama, cuma bulannya doang yang beda. Biarpun hanya beda enam bulan, Lucky merasa bangga karena dia lebih tua dari Aree. "Dia mah cakep-cakep boros!" Lucky masih saja memborbardir Aree, "Gue yakin waktu dia ngajak lo kenalan, lo pasti ngira dia lebih tua dari lo." Gue mengangguk, mengiakan kata-kata Lucky. Waktu Aree nyamperin gue dan ngajak kenalan, gue pikir dia lebih tua dari gue, atau paling nggak, dia seusia Lakka. Gue sama sekali nggak mengira kalau usia Aree masih semuda itu. Bahkan usia adek gue di kampung lebih tua dari Aree, seriusan. "Udah kenapa, sih! Dibahas mulu!" keluh Aree dengan wajah cemberut, "Lo, Ky, kayaknya seneng banget gue dinistain sama pacar Abang lo." "Lah, emang iya!" Lucky menyahut, kemudian tertawa lagi. "Jadi playboy asal-asalan sih!" "Ya mana gue tahu kalau Chua—eh, Kak Chua itu pacar Abang lo." "Yang bikin gue nggak berhenti ketawa tuh bukan karena lo ngajak kenalan Kak Chua, tapi berani-beraninya lo gangguin pacar Abang gue, Ar! Lo punya nyawa berapa?" Aree mengerutkan dahi, juga gue yang ada di samping Lucky. Gue udah berhenti tertawa, tapi nggak lama gue nyengir mendengar Lucky yang nggak ada habisnya mengejek Aree. "Mana Kak Chua lebih tua dari lo lagi umurnya!" Lucky cekikikan. Aree cemberut berat. "Ini gue yang kemudaan, atau lo aja yang terlalu boros, Ar?" sahut gue menatap dua cowok muda di kanan sama depan gue. Tawa Lucky menyembur lagi, nggak lupa sama tangannya yang nangkring di lengan gue. "Tangannya, Ky!" seru Lakka melempar sebuah majalah ke arah Lucky, tapi berhasil dihindari cowok itu. "Kebiasaan banget ketawa pasti mukul-mukul orang." dumel Lakka yang dibalas cengiran lebar dan dua jari yang dibentuk huruf V. "Maaf ya, Kak Chua, Bang...," Aree menoleh ke Lakka lalu berpindah ke Lucky. "Nama Abang lo siapa?" tanyanya kelewat polos. "Lakka!" sahut Lucky. "Iya, Bang Lakka, maaf ya. Gue mana tahu kalau lo abangnya si Lucky, gue juga nggak tahu kalau Kak Chua lebih tua dari gue ternyata." "Iya." respons Lakka cuma 'iya' doang. Lucky nyengir, cowok itu menarik tas di samping lalu mencangklengnya. "Ayo, Ar," ajaknya ke Aree. Aree mengerutkan dahinya bingung. "Ke mana?" Lucky berdecak, "Lo masih mau di sini? Kita ada kelas sejam lagi, b**o!" "Ah, iya." Aree bangkit berdiri dan melakukan hal yang sama kayak Lucky. Cowok ganteng itu pamit sama gue dan Lakka untuk pergi ke kampus. "Maaf sekali lagi, ya, Bang," gumam Aree, kalau dilihat dari mukanya sih tulus. "Tapi, kalau lo putus sama Kak Chua... lo bisa hubungin gue kapan aja." "HAHAHA!" sontak gue sama Lucky tertawa lagi. "Aree nggak sayang sama nyawa kayaknya," kata Lucky geleng-geleng kepala. Gue tahu Aree bercanda, nggak serius sama kata-katanya tadi. Ya kali dia masih mau deketin gue yang jelas-jelas lebih tua dari dia. Gue lihat Lakka juga santai, wajahnya datar-datar aja, nggak menunjukkan sama sekali kalau lagi marah atau cemburu. Ngapain juga cemburu sama anak kecil. "Lain kali gue boleh main ke sini ya, Bang," Aree mencerocos di belakang Lucky. Ini bocah mau ngajak ribut apa gimana, sih? "Ya ke sini aja," Lakka memberi respons santai. "Cuma main, kan?" Aree mengusap rambutnya ke belakang. "Iya. Tapi kalau dibolehin sekalian sama ngapelin Kak Chua," Dukkkk. "Sakit, anjir!" ringis Aree memegangi kakinya. Yang barusan bukan Lakka yang nendang Aree, tapi Lucky. Cowok itu kayaknya udah jengkel setengah mati sama kelakuan temennya yang hobi ngerdus. "Awas aja kalau ngerdusin Kak Chua, lagi!" ancam Lucky, tapi kelihatan banget lagi menahan tawanya. *** Apartemen sepi. Gue lagi duduk di sofa memandangi acara televisi. Gue sesekali cekikikan menonton sekumpulan para pelawak di dalam layar. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam lewat. Lakka udah tidur dari jam tujuh tadi setelah mengeluh badannya pegel. Nggak tahu deh abis ngapain si Lakka sampe mengeluh badannya pada pegel-pegel. Gue ketawa lagi melihat setiap adegan yang dilakukan para pelawak yang menurut gue lucu parah. Kerja jadi pelawak enak kali, ya? Udah kerjaannya bikin seneng orang, ketawa-tawa mulu, dibayar mahal lagi. Apa... gue banting setir jadi pelawak aja supaya gue cepet kaya? "Wa..." Kepala gue yang tadinya lagi mendongak saat menumpahkan remahan snack ke dalam mulut jadi menoleh ke belakang. Sambil mengunyah, gue menatap Lakka yang lagi berdiri bersandar ke pintu. "Ngapain bangun? Masih jam sembilan," Lakka menghampiri gue dan ikutan duduk di sofa. Gue melirik Lakka sebentar kemudian fokus ke layar televisi. "Tawa lo ganggu banget." keluhnya. Gue merasakan Lakka meletakkan kepalanya di paha gue. Cowok itu memejamkan matanya sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. "Ya abisnya gue nonton lawak, ya gue ketawa." kata gue membela diri. Namanya juga nonton acara lawak, ya wajar kalau gue ketawa dong. Kalau gue nonton lawak sambil nangis ya gue aneh berarti. Lakka nggak ngomong apa-apa lagi, kayaknya dia ketiduran deh. Gue biarin ajalah, mungkin dia emang masih ngantuk, tapi kebangun gara-gara suara tawa gue yang emang kenceng banget. Nggak salah kalau Lakka jadi terganggu tidurnya. Samar-samar gue merasakan tubuh Lakka bergerak, dia berubah jadi miring menghadap ke perut gue. Gue melirik Lakka sekilas, lalu balik ke acara televisi. "Kka," gue memanggil Lakka, tapi pandangan gue masih fokus ke acara lawak. Gue meringis geli. Cowok itu melingkarkan kedua tangannya sampai ke pinggang, dan sengaja menggesekkan hidungnya ke perut gue, bikin gue segera protes. "Kka, geli! Hidung lo." keluh gue pada Lakka. Cowok gue ini emang suka random kadang. Seharian ini dia nggak banyak ngomong, tahu-tahu dia berubah jahil sekarang. Lakka nggak menggubris, cowok itu semakin mengeratkan pelukannya di pinggang gue hingga membuat wajahnya benar-benar tenggelam di perut gue. "Kka, hidung lo nempel banget di perut ah. Geli, bego." Dia mengangkat kepalanya, matanya yang lagi nggak pake kacamata menyipit menatap gue. "Masa?" katanya terdengar mengejek. "Sana!" gue refleks mendorong kepalanya sampe nyaris aja jatuh kejungkal, untuk aja gue bergerak cepat menarik bahu cowok itu sampe balik tiduran di paha gue. "Lo sih, ah!" Lakka cemberut, dan nggak lama dia kembali memeluk perut gue, melakukan hal sama kayak tadi. Gue biarin aja deh ya. Jarang-jarang dia kayak gini, dan gue yakin Lakka nggak bakal aneh-aneh. Lakka sok-sok bersikap manja kayak sekarang pasti cuma mau ngejahilin gue doang. "Makan keluar yuk, Wa," Gue melirik ke jam di dinding. "Mau makan ke mana malem-malem gini?" "Nggak usah jauh-jauh. Makan di kaki lima deket gedung aja," Ini bukan pertama kalinya Lakka mengajak makan—padahal tadi dia udah makan sebelum tidur. Cuma, tumben-tumbenan dia ngajak makan di luar. "Mau makan apa emang?" tanya gue sembari memainkan bulu matanya yang panjang. "Nasi goreng? Sate ayam? Atau... Soto?" Sebutin aja, Kka. Sebutin aja semua makanan yang gue suka. Dia sengaja mau bikin gue gendutan kayaknya. Padahal itu kan misi gue buat Lakka. Kepala gue menunduk memperhatikan pipi Lakka yang lebih isi daripada kemaren. Walaupun berat badannya nggak naik banyak, tapi kalau dilihat dari bentuk pipinya yang lebih berisi, gue jadi seneng sendiri. Itu artinya gue berhasil bikin Lakka gemukkan. Malahan, beberapa hari yang lalu Lakka cerita ke gue, katanya, temen-temennya pada nanya kenapa Lakka bisa gendutan? Gue refleks ketawa, ya lucu aja sih. Lakka cerita kayak gitu dengan ekspresi mirip anak kecil. Dia nggak marah atau pun mengeluh mengenai berat badan dia yang mulai naik. Malah, si Lakka dengan pedenya bilang ke gue, "Gue tambah cakep ya, Wa," katanya, polos. Berasa kayak anak kecil banget pacar gue, astaga. "Ayo, Wa!" seru Lakka yang tahu-tahu udah berdiri di depan gue. "Sebelum gue berubah pikiran nih." Gue nyengir. Sebelum gue beranjak dari sofa, gue mematikan televisi lebih dulu lalu menyusul Lakka yang sedang mengambil kacamata dan dompet di kamarnya. *** "Masih panas nggak badannya?" tanya Lakka meletakkan punggung tangannya di kening gue. Gue menggeleng lemah. Tangan Lakka yang menempel di kening gue, lagi gue pegang. "Udah mendingan," Lakka mendecakkan lidah, kemudian duduk di pinggiran sofa. Dia masih membiarkan tangannya gue pegangi, biar dia tahu badan gue udah nggak sepanas kayak semalam. "Kebanyakan begadang sih. Gue bilang juga apa, kalau waktunya tidur ya tidur, Wa!" Gue cemberut, terus gue lepasin tangan Lakka yang dari tadi gue pegang. Gue lagi sakit bukannya disayang-sayang tapi malah diomelin. "Mana gue lagi ada kerjaan lagi." gerutu Lakka menatap gue, "Gue tinggal bentar nggak apa-apa ya, Wa? Nggak lama kok. Sore gue usahain udah pulang." "Gue bukan anak kecil, Kka," balas gue menatap Lakka balik. "Kan gue biasa lo tinggal. Kenapa jadi sedih gitu muka lo?" Lakka mengembuskan napas panjang. Sebelah tangannya bergerak mengusap puncak kepala gue lembut. "Kalau ada apa-apa telepon gue, ya?" gue manggut-manggut. "Gue telepon Lucky deh, supaya bisa nemenin lo selama gue pergi." "He-eh." gue mengangguk lagi. Lakka kelihatan berat ninggalin gue yang lagi demam sejak semalam. Gue yang sakit, dia yang heboh. Ah, nggak heboh juga. Tapi lebih ke khawatir aja. Semalaman dia bolak-balik masuk ke kamar cuma buat ngecek keadaan gue, sampe dia bikin kompresan biar panas gue turun. "Gue jalan dulu ya, Wa," Lakka meneteng jaket sama tasnya. "Telepon gue kalau ada apa-apa," dia bilang kayak gitu udah lebih dari tiga kali kayaknya. "Nanti pulangnya mau dibawain apa?" "Es campur, ya?" Lakka menggeleng, cowok itu menolak. "Gue pengin yang manis-manis, Kka!" "Gula di dapur tuh, manis." sahut Lakka ketus. Bibir gue mencebik, kesal. "Ya udah nggak usah dibeliin apa-apa! Ngapain nanya kalau gitu." gue balik badan lalu menarik selimut sampai ke kepala. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD