Problem

1781 Words
Lakka: Problem Seharian ini gue nggak berhenti memikirkan Chua yang gue tinggal sendirian di apartemen. Cewek itu demam dari semalam, badannya panas banget sampe bikin gue jadi bolak-balik masuk ke kamar cuma buat ngecek panasnya udah turun atau belum. Chua nggak memperlihatkan kalau dia sedang sakit. Nggak ada bedanya saat Chua sakit atau nggak. Cewek gue itu masih bisa nyengir, bahkan ngemil keripik singkong di atas ranjang. Punya pacar kayak Chua ternyata nggak buruk-buruk amat. Gue sempat merasa nggak yakin sama Chua. Bisa nggak, gue bertahan pacaran sama cewek itu. Kira-kira, Chua sama kayak ekspetasi gue selama ini? Jawabannya, iya. Bertemu sama Chua nggak berhenti membuat gue bersyukur kayaknya. Aneh, sih. Kadang gue suka ketawa sendiri setiap memikirkan hubungan gue sama dia yang udah jalan hampir dua bulan. Nggak pernah tuh kita berantem, cemburuan nggak jelas kayak pasangan labil. Chua juga nggak pernah protes setiap kali gue pulang malem, atau lupa ngabarin dia karena terlalu sibuk sama pekerjaan. Kalau boleh gue bilang, Chua adalah pacar paling pengertian di dunia ini. Chua nggak pernah posesif, melarang gue temenan sama cewek atau pun cowok. Malah gue seringkali cerita sama dia setiap kali ada cewek—entah itu temennya, temen gue, atau cewek yang gue temuin di tempat umum—minta nomor atau ngajak kenalan. Reaksi Chua kelihatan santai, dia mendengarkan keseluruhan cerita gue sampe kelar, baru dia nanya, "Terus, lo kasih nomor ke dia?" dia nanyanya biasa-biasa aja, seriusan. Nggak ada reaksi cemburu atau semacamnya. Sebagai jawaban, gue mengangguk, lalu menambahkan. "Iya, gue kasih." Chua mengangguk-angguk, sepasang matanya yang hitam itu fokus ke gue. "Nomor lo tapi." dalam hitungan detik, tawa Chua menggelegar. Chua ketawanya lebar, banget. Mungkin bagi cowok lain bisa bikin ilfeel, buat gue nggak sama sekali. Tawa si Chua, tuh, menular. Dia cuma nyengir sampe matanya menyipit aja udah bikin gue ikutan senyum. Semenyenangkan itu punya pacar kayak Chua. Sekitar jam delapan malam gue baru aja sampai di apartemen. Setelah mengambil barang bawaan gue di jok belakang, gue turun dan bergegas menemui Chua. Gue menekan tombol password buru-buru. Rasanya ada yang beda sekarang. Dulu gue suka malas-malasan kalau udah nyampek apartemen. Gue bakal kesepian lagi. Ketemu sama bantal, guling, selimut, dan perabotan yang jelas nggak bisa gue ajak ngobrol. Tapi, setelah ada Chua, kadang bikin gue nggak sabaran untuk nyampek apartemen dan lihat dia lagi lesehan di lantai sambil mengerutkan dahi memandangi kayar laptopnya. Lampu di ruang tamu tampak terang, gue lihat Chua berbaring di atas sofa dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke leher. Kok, Chua tidur di sofa? Gue meletakkan punggung tangan gue ke kening Chua. Ah, ternyata demamnya udah turun. Gue menengok ke atas meja di dekat sofa. Di sana ada mangkuk, piring, gelas, sama obat penurun demam. Chua bergumam panjang, matanya masih terpejam. Dengan iseng, gue menempelkan kantong plastik kecil yang isinya es campur ke pipi cewek itu. "Apaan nih?" Chua langsung bangun. Matanya merah, tapi wajahnya pucat. Dia kelihatan manusiawi sekarang. Chua bisa sakit juga ternyata. Haha! "Es campur." jawab gue melepaskan jaket lalu meletakkannya di atas kepala sofa. Gue duduk di lantai, menatap dia selama beberapa detik. "Kok tidur di sini? Lucky mana?" Chua membuka kantong plastiknya, kemudian menolehkan kepalanya ke belakang—tepat ke pintu kamar yang terbuka setengah. "Tidur, tuh. Di kamar." Gue menghela napas panjang. Lucky gue suruh kemari supaya bisa jagain Chua yang lagi sakit. Bukannya malah pacar gue yang jagain si Lucky tidur. "Udah dari tadi?" tanya gue. Chua mau bangun dari sofa, tapi gue menahannya sembari menggelengkan kepala. "Gue aja." kata gue. "Mau ambil mangkuk, kan?" Chua manggut-manggut. Gue segera bangun lalu pergi ke dapur untuk mengambil mangkuk buat tempat es campur punya Chua. Cewek itu tampak sumringah waktu melihat isi kantong plastik yang dia minta dari lagi sampe ngambek karena nggak gue turutin. "Gue bangun Lucky, ya," gue meletakkan mangkuk di atas meja. Chua menarik tangan gue, lalu menggeleng. "Jangan." kepalanya menggeleng. "Kasian Lucky dari tadi udah jagain gue, Kka," Cewek gue ini, ya ampun. Biar kata modelannya kayak preman, tapi sayang dan perhatiannya sama orang-orang sekitar kadang suka bikin gue terharu. Bukan cuma sama Lucky aja, saat awal-awal sama gue dulu juga gitu. Baru tinggal dua hari, gue sakit, dia jagain gue bener-bener. Gue suruh ngusap kening gue sampe semalaman, sampe dia ketiduran di samping gue, paginya masih mau-mau aja bikinin gue sarapan. Berasa kayak nemu harta karun gue. "Kalau Lucky tidur di kamar, lo mau tidur di mana?" gue ikutan duduk di lantai sama Chua. Gue menarik selimut dari atas sofa, kemudian meletakkannya di atas paha Chua. Cewek itu nyengir sambil mengunyah potongan nanas dan roti di dalam mulutnya. "Ya di sini, Kka, di mana lagi?" katanya, cekikikan. "Lo tidur sama Lucky aja di kamar. Gue nggak apa-apa kali. Jangan manjain gue gitu, ah." "Tapi lo lagi sakit, Wa," "Nggak apa-apa. Gue udah biasa. Jadi biarin Lucky tidur di kamar lo." Kalau Chua udah ngeyel begini, gue cuma iya-iya aja. Berdebat sama Chua nggak bakal ada habisnya. "Lo udah makan?" Chua menyereput air dari es campur yang mencair. "Udah. Tadi Lucky beliin gue bubur ayam," Bagus. Seenggaknya Lucky berguna jadi adek gue. "Lo udah makan juga?" ganti Chua yang nanya ke gue. "Udah kok." jawab gue, dia manggut-manggut doang. Selesai menghabiskan semangkuk es campurnya sendirian, cewek itu membereskan bungkusan plastik, mangkuk, piring, dan gelas untuk dibawa ke dapur dan dia cuci. Gue sempat melarang Chua, tapi cewek itu buru-buru mengangkatnya lalu jalan ke dapur dengan langkah pelan. Sambil menunggu Chua selesai mencuci piring di dapur, gue masuk ke kamar dan mendapati Lucky berbaring di atas ranjang sambil tengkurap. Gue menggelengkan kepala, lantas mengambil bantal dan guling di atas ranjang lalu gue keluar lagi ke ruang tamu. Ternyata Chua udah selesai mencuci piring, dia lagi duduk di lantai sambil mengganti chanel televisi. "Nggak tidur?" tanya gue, kemudian ikut duduk di samping Chua. Chua menguap, "Seharian gue tidur mulu kayaknya, tapi kenapa masih ngantuk, ya?" keluh Chua. "Efek obat mungkin ya, Kka..." gumam cewek itu, lagi. Chua masih asyik menonton acara televisi, beberapa kali gue perhatiin Chua nguap, matanya memerah seolah menahan kantuk. Gue tarik remote dari tangan Chua, lalu mematikan televisi. "Kok dimatiin sih, Kka?!" protes Chua. "Tidur!" "Masih jam sembilan kurang, Kka!" "Lo lagi sakit, Wa. Nurut kenapa sih?" "Lo aja belum tidur kok." sungut Chua melipat kedua tangannya di depan d**a. "Gue tidur di sini, nemenin lo." gue berdiri dan membersihkan sofa agar bisa ditiduri Chua. "Tidur sama Lucky sana." Gue pura-pura nggak dengar, malah sibuk menata bantal di atas sofa. "Pura-pura b***k, pasti." sindirnya, bikin gue menahan senyum geli. "Kalau lo nemenin gue tidur, lo mau tidur di mana? Masa kita tidur dempet-dempetan di sofa sih! Apa lo mau tidur di lantai?" "Ya udah, nggak apa-apa. Gue bisa tidur di bawah. Gue punya kasus lantai, tuh." Bisa gue dengar Chua ngedumel di belakang, gue masih aja cuek dan jalan ke kamar untuk mengambil kasur lantai lantas balik ke ruang tamu lagi. "Ngapain di situ?" tanya gue waktu lihat Chua tiduran di lantai. "Tidur." jawab dia, ketus. "Bangun dulu, mau gue pasang kasurnya." Dia menurut, lalu bangun. Gue memasang kasur lantai dan meletakkan bantal, guling, serta selimut. Baru gue mau menengok, memastikan Chua berbaring di sofa, cewek itu tahu-tahu berbaring di atas kasur yang barusan gue pasang di lantai. "Tidur di sofa, Wa!" "Nggak mau." Chua menolak, cewek itu merebut guling dari tangan gue. "Kasian lo tidur sendirian di lantai." "Nggak apa-apa, gue kan cowok. Lagian ada kasurnya nih." Chua nggak membalas, cewek itu berbaring miring memandangi gue, terus nyengir lebar. "Mata lo, nih ya..." jari-jari Chua mengusap kening, kemudian turun ke area mata gue. "Cantik banget, sih." Mau nggak mau gue ikutan nyengir. "Rasanya jadi cowok cakep, gimana, Kka?" tanyanya, terdengar random. "Ya nggak gimana-gimana, Wa," "Enak nggak dikejar-kejar sama banyak cewek?" tanyanya. "Cantik-cantik pasti ya, Kka?" Gue mendengus, mengusap wajah Chua sampe bikin dia memberengut. "Tidur. Jangan ngoceh mulu. Pusing gue dengerinnya." Chua terkekeh, kayaknya dia selalu seneng kalau lihat gue lagi jengkel. Nggak lama, Chua memejamkan matanya. Bisa gue dengar dengkuran halus pacar gue ini, gue usap puncak kepala Chua, kemudian gue tarik dia ke dalam pelukan gue. *** Suara dering ponsel di atas meja benar-benar menggangu tidur gue. Gue masih ngantuk, nggak tahu sekarang udah jam berapa. Gue mendengus kesal, pelan-pelan gue memindahkan kepala Chua dari lengan gue ke atas bantal. Mama. Mama? Kenapa Mama telepon gue? Perasaan baru dua hari lalu gue teleponan sama Mama untuk memberi kabar kalau gue di sini baik-baik aja walaupun jauh dari keluarga. "Baru bangun, Bang?" Gue menengok ke belakang—tepat di depan pintu kamar, Lucky berdiri di sana. Adek gue satu-satunya itu tampak mengenakan kaus dan celana punya gue. "Mama, ya?" Lucky nyengir, kemudian jalan ke meja makan. "Halo, Ma..." "Lakka!" Kening gue berkerut. Pagi-pagi Mama telepon, pas diangkat, kenapa malah marah-marah, sih? "Kenapa sih, Ma—" "Siapa cewek yang kamu peluk-peluk di foto?!" sembur Mama gue. "Foto? Foto apa, Ma?" tanya gue, bingung. "Itu, foto kamu sama cewek lagi peluk-pelukkan pas tidur yang dikirim Lucky di grup keluarga! Maksudnya apa, Kka?!" Oke. Jadi biang keroknya si Lucky. Gue melirik Lucky asyik makan sereal di meja makan sesekali cekikikan kayak orang nggak punya dosa. Gue berusaha mencerna kata-kata Mama. Foto? Memangnya Lucky mengirim foto ke grup yang kayak gimana, sih? Sama cewek pula. Siapa ceweknya? "Pulang ke Bandung sekarang!" Klik. Mama memutuskan sambungan telepon secara sepihak, nggak pake salam atau ungkapan kasih sayang yang biasanya Mama bilang ke gue setiap kali selesai teleponan. "Lo ngirim foto apaan di grup keluarga, Ky?" gue menghampiri Lucky, menarik kursi di samping adek gue. "Lo sama Kak Chua." jawabnya, santai. "Biar Mama sama Papa tahu kalau lo punya pacar." Cowok berusia dua puluh dua tahun itu kelihatan santai. Nggak kelihatan merasa bersalah biarpun udah bikin keluarga di Bandung pada heboh gara-gara foto yang dia kirim. "Ky," "Apa?" Lucky mendorong kursinya ke belakang, cowok itu siap beranjak. "Gue sengaja emang. Supaya Mama sama Papa batalin perjodohan lo." kata Lucky mengangkat mangkuknya. "Mama nyuruh gue pulang ke Bandung." "Ya bagus," sahut Lucky, enteng. "Lo jelasin deh tuh ke Mama sama Papa kalau lo udah menemukan cewek yang pas buat lo. Kalau perlu ajak Kak Chua sekalian." Setelahnya, suara Lucky terdengar samar-samar karena cowok itu ada di dalam dapur, mencuci mangkuk bekasnya. "Nggak segampang itu, Ky. Lo tahu sendiri gimana Mama sama Papa." Lucky menolehkan kepalanya ke gue, "Ya tinggal usaha lo aja meyakinkan Mama sama Papa," kata Lucky menggosok mangkuknya dengan sabun. "Jangan mau kalau disuruh putusin Kak Chua. Gue pendukung lo nomor satu!" lalu, cowok itu kembali nyengir. Nggak tahu aja gue udah pusing banget. Bisa-bisa Lucky sesantai itu, padahal gue sibuk memikirkan kemungkinan apa aja kalau gue ngotot mempertahankan Chua ke Mama sama Papa gue.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD