Hari ini Kimmy mulai diperkenalkan ke perangkat desa, juga dibawa ke satu-satunya paguyuban kesenian yang dimiliki Desa Gayam. Ternyata semua diperkenalkan padanya rata-rata telah sepuh. Bukan hanya perangkat desa atau pejabat yang bertugas di desa ini, para penari dan pelakon seni lainnya juga kebanyakan telah berumur. Hanya ada beberapa gelintir yang masih kecil atau remaja, termasuk Dini, anak Pak Lurah.
“Apa hanya sejumlah ini penari di desa kalian?” bisik Kimmy pada Dini.
Dia melakukannya sambil tersenyum canggung pada lima orang yang tengah menatapnya takjub. Mungkin mereka mengira Kimmy adalah boneka, berkat rambut coklat kepirangan gadis itu, juga mata biru cerahnya.
Dini mengangguk. “Mereka penari, juga sinden, juga yang lain. Pokoknya bisa semuanya, Kak Kimmy,” jelas Dini. Gadis cilik ini sangat cerdas untuk seusianya.
Kimmy merasa trenyuh. Dulu Desa Gayam sangat tersohor, bahkan legendaris, karena kesenian tari ronggeng yang fenomenal. Tapi kini ... parah sekali! Seakan ada hanya sekedar formalitas. Hidup tidak, mati segan. Kimmy bertekad menghidupkan kesenian tari di desa ini!
“Baiklah, tak masalah. Dari sedikit kita akan berkembang menjadi hebat! Kalian pasti mau, kan, kesenian tari di desa ini kembali terkenal?” tanya Kimmy antusias.
Dia menghela napas panjang. Boro-boro menjawab antusias keinginan maju bersama, mereka malah menatap bengong Kimmy. Seakan tak paham maksud gadis itu. Beberapa malah bingung memegang rambut Kimmy.
“Mbak, rambute niki asli? Apa diwarnai kanggo kunyit?” tanya seorang perempuan gendut berkulit hitam manis. Namanya Linduk, dia berusia 26 tahun. Di desa, usia segitu sudah dianggap perawan tua.
Kimmy tersenyum rikuh. “Asli, Mbak. Dan ini rambut, bukan jajan yang bisa diwarnai dengan kunyit.”
Linduk ternganga, takjub. Dalam hati, dia telah menjadikan Kimmy sebagai idolanya. Dia menganggap Kimmy titisan bonekanya yang dulu hilang, terbawa aliran sungai.
==== >(*~*)
Malamnya, saat makan bersama keluarga Pak Lurah, Kimmy diberondong pertanyaan dengan kegiatannnya hari ini.
“Jadi, apa Nak Kimmy suka paguyuban kesenian di desa kami?” tanya Bu Pertiwi, istri Pak Lurah Sudarsono.
“Saya belajar menyukai apa yang menjadi tugas saya, Bu. Tapi puas belum. Saya ingin kesenian tari di desa ini kembali semarak.” Kimmy mengucapkannya dari dalam hatinya yang tulus. Semua bisa melihat hal itu.
“Kak Kimmy hebat hari ini. Kami semua diajari tarian baru. Bagus! Ndak seperti yang lalu. Tarian cuma satu, wes gitu jelek lagi,” timpal Dini.
Pak Lurah mengangguk puas. Tak salah dia mengizinkan gadis ini melakukan penelitian tugas akhir disini. Kehadirannya membawa hawa segar di desa ini. Semoga paguyuban kesenian di desanya bisa kembali bangkit.
“Saya senang Nak Kimmy betah disini dan berniat memajukan kesenian kami. Tapi Nak, masih ada kesenian lain selain tari. Ada ludruk, nyanyi, gamelan, wayang, dan yang lain. Tolong Nak Kimmy jangan hanya fokus pada tari. Dan satu hal lagi, bukan tari ronggeng. Tarian itu dilarang di desa kami, Nak. Masih ingat, kan?”
Kimmy mengangguk lesu. Dia hanya diberitahu bahwa tari ronggeng dilarang, namun tak ada alasan penyebab larangan itu. Dia bertekad akan mendapatkan jawaban atas larangan itu!
Dan tanpa setahu mereka, gerakan tari sederhana yang diajarkannya di paguyuban kesenian tadi adalah dasar gerakan tari ronggeng!
==== >(*~*)
Tengah malam, Kimmy terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Dia keluar dari kamarnya untuk mengambil minuman di dapur. Dapur rumah tempatnya tinggal sementara ini terletak di paling belakang. Di sebelahnya ada halaman luas, yang lebih mirip kebun tak terawat.
Kimmy mengambil air segar dari kendi, dan menuangkannya ke dalam cangkir enamel blurik. Lantas meminumnya sekali tegukan. Segar sekali, air putih ini terasa dingin meski tak dimasukkan ke dalam kulkas. Suatu hal yang tak bisa ditemukannya saat hidup di kota. Juga cangkir bermotif blurik ini, amat langka di kota. Kimmy mengamati motifnya. Lucu juga, Kimmy tersenyum sambil menimang-nimang cangkir itu.
Mendadak matanya menangkap bayangan serba putih di kegelapan malam. Kimmy tersentak, kaget. Apakah itu? Tak sadar dia menjatuhkan cangkirnya dan bergegas menghampiri sosok itu.
“Siapa?” teriak Kimmy.
Tak ada yang menjawabnya. Kimmy hanya menemui tempat kosong, dengan angin semilir yang membawa bau bunga melati. Bulu kuduknya meremang seketika. Apakah yang dilihatnya tadi makhluk halus?
“Siapa kamu? Manusia atau hantu?” gumam Kimmy.
Hanya desiran angin yang menjawabnya. Dedaunan bergoyang gemulai seakan mengangguk-angguk membenarkan dugaan Kimmy. Mata Kimmy berkeliaran mengawasi sekelilingnya, tak ada apapun. Namun ada suara, sayup-sayup terdengar seiring bunyi angin berhembus.
Teruskanlah ... bantu aku ... tuntaskan dendamku ....
Pelan sekali, Kimmy nyaris tak dapat mendengarnya kalau dia tak berkonsentrasi. Namun dia yakin tak salah mendengarnya, juga bukan halusinasi! Seseorang mengajaknya bicara.
“Siapa kamu?” tanya Kimmy lirih. Kali ini dia memejamkan matanya, supaya bisa lebih fokus mendengar suara tak berwujud itu.
Dendam di masa lalu ....
Suara itu kembali terdengar seiring angin yang semakin kencang. Kimmy semakin penasaran dibuatnya.
“Dendam? Dendam pada siapa? Mengapa?” tanya Kimmy mengejar.
Deru angin semakin keras, hingga menerbangkan gaun tidur Kimmy. Namun kali ini tak terdengar jawaban suara misterius itu.
“Tolong jawab, jawab aku!” pinta Kimmy, mendesak. Dia semakin gusar karena tak mendapat jawaban yang dinantinya. Dengan mata tetap terpejam, Kimmy terus mendesak.
“Ayo, bersuaralah! Jangan diamkan aku. Kalau tidak, aku tak akan peduli atau membantumu!”
Kali ini terdengar dehaman dingin, namun suaranya berbeda. Lebih berat dan nyata. Penasaran, Kimmy membuka matanya. Pandangannya terkunci di manik mata kelam seorang lelaki berkulit gelap. Mereka saling menatap di kesunyian malam, dengan jarak semakin menipis, hingga akhirnya tinggal sejengkal.
“Kau baru datang?” tanya Kimmy menyelidik. Dia yakin suara di kegelapan malam yang didengarnya tadi bukanlah milik Satryo.
“Cukup lama,” jawab Satryo singkat.
“Berarti bukan kamu yang bicara padaku tadi,” kata Kimmy menyimpulkan. “Apa kau juga mendengar suara halus seiring desiran angin?”
Satryo menatap Kimmy seakan gadis itu adalah makhluk alien yang tersesat ke bumi. Kimmy menyengir kuda.
“Astaga, pasti kau menganggapku aneh. Tapi sumpah, tadi aku mendengarnya! Kau melihatku berbicara pada sesuatu yang tak tampak, kan?”
“Kamu berdiri, memejamkan mata, dengan gaun trasnparan ditiup angin.”
Itu kalimat panjang pertama yang diucapkan Satryo padanya. Mendadak Kimmy merasa terintimidasi. Tatapan mata Satryo tampak berkabut, diwarna gairah. Kimmy baru menyadari keadaannya yang tak layak menerima tamu, apalagi jika tamunya lelaki muda!
Sial! Mana dia tak pakai bra!
Kimmy melipat tangannya ke d**a untuk menutupi ujungnya yang menegang menyadari Satryo menatapnya lekat.
“Awas, matamu! Kucolok baru tau rasa!” ancam Kimmy untuk menatapi rasa jengahnya.
Bukannya takut, Satryo justru menatapnya semakin tajam. Kimmy balas mendelik. Adu delik mereka berakhir ketika mendadak Satryo memondongnya bagaikan karung beras.
“Auw! Ap-“
Pemuda itu membekapnya erat hingga Kimmy tak bisa melanjutkan kalimatnya.
OMG! Apa yang dilakukan pemuda gelap ini padanya?
==== >(*~*)
Bersambung