01. Prolog : Nyai Ronggeng
Desa Gayam, Jawa Barat. 2001.
Suara gamelan dan musik tradisional lainnya bergaung meramaikan suasana di malam hari. Biasanya sunyi dan dingin di desa kaki gunung ini, hari ini terasa semarak dan panas. Tentu saja, semua ini berkat penampilan beberapa penari ronggeng yang sedang berjoget di tengah kerumunan para p****************g yang sengaja datang untuk mencari hiburan.
Gerakan gemulai namun bertenaga dari para penari yang mengenakan busana tari ketatnya membakar pria-pria haus hiburan itu, mata mereka menatap nyalang pada penari-penari yang mengenakan pakaian sensual hingga menunjukkan lekuk-lekuk tubuh indahnya. Diantara mereka, tampak mencolok seorang perempuan yang mengenakan kain merah yang membebat d**a montoknya. Kulitnya yang putih bersih nampak semakin cemerlang karena merahnya busana yang dikenakannya, membuat kecantikannya semakin mencolok. Wajahnya yang mengkilap karena peluh yang mendera justru mengorbitkan keeksotisan kecantikan ala timurnya.
Dia adalah Nyai Ronggeng. Entah siapa nama aslinya, semua orang menjulukinya demikian karena dia begitu menjiwai tariannya, seakan nyawanya disana. Usianya tak semuda para penari ronggeng lainnya, tapi pesonanya jauh melampaui mereka semua. Siapa pria yang terjerat dalam pesonanya begitu bertemu pandang dengannya? Ada yang bilang dia memakai susuk pengasih, pelet dan sebangsanya. Tak ada yang tahu pasti, bisa jadi itu hanya rumpian sirik orang yang iri padanya. Yang jelas Nyai Ronggeng begitu misterius, membuat para pria semakin penasaran padanya.
“Malam ini aku harus mendapatkannya!” gumam Juragan Wardoyo sembari menatap nyalang pada Nyai Ronggeng yang tengah menari di tengah kerumunan.
“Apa Nyai berkenan? Kita semua tahu, dia itu jinak-jinak merpati. Disentuh mau, diajak nari dan minum ndak masalah. Tapi kalau kelon .. “ Sumanto yang duduk disebelah Juragan Wardoyo, menggeleng ragu. “Sepertinya belum ada yang berhasil menidurinya.”
“Justru itu, Man! Aku yang pertama akan melakukannya, baik Nyai suka atau ndak! Dan kamu boleh ambil giliran kedua,” kekeh Juragan Wardoyo.
Mereka berdua sahabat dekat yang sering berpesiar bersama perempuan-perempuan penghibur. Malam ini sepertinya mereka tengah mabuk berat. Mata mereka merah dan mengoceh ngalor-ngidul ndak ada juntrungannya.
“Wah, ada yang nyelonong!” geram Juragan Wardoyo saat melihat ada seorang lelaki yang mendekati perempuan incarannya. Dia memberi kode pada centengnya, tukang pukulnya itu segera mendekati kerumunan. Dan menarik kasar lelaki yang sedang menari bersama Nyai Ronggeng. Lelaki itu berniat melawan, namun kalah hawa. Dia didorong kasar hingga tersungkur di tanah, beberapa centeng Juragan Wardoyo lainnya menyeretnya keluar kerumunan. Entah apa yang akan dialaminya, mungkin ia akan kenyang bogem mentah dari para tukang pukul itu.
Kini giliran Juragan Wardoyo yang akan menggoda. Dengan langkah sok jagoan, pria diambang empatpuluh tahunan itu mendekati targetnya. Dia menyingkirkan kasar beberapa pria di sekitar Nyai Ronggeng, lantas berdiri didepan sang primadona dan menari bersamanya.
“Juragan Wardoyo, sungguh tadi adalah pertunjukan awal yang menarik,” sindir Nyai Ronggeng dengan senyum menggoda. Dia memang sinis, tapi menyampaikannya dengan memikat hingga tak ada pria yang bisa marah padanya.
“Senang Nyai menikmatinya toh, sebab setelah ini kita akan menciptakan pertunjukan sendiri,” sahut Juragan Wardoyo penuh arti.
Tak! Blengtak! Blengtak!
Seiring musik menghentak, Nyai Ronggeng menari dan membalikkan badannya membelakangi lelaki yang sedang menggodanya. Penasaran, Juragan Wardoyo semakin merapatkan tubuhnya hingga dadanya bersentuhan langsung dengan punggung Nyai Ronggeng. Wewangian melati menyerbu lubang hidungnya, Juragan Wardoyo menyesapnya dalam-dalam.
“Wangi sekali kamu, Nyai. Pasti wanginya semakin terasa kalau kamu telanjang bulat dalam pelukanku.”
Nyai Ronggeng hanya tersenyum genit, tapi sikutnya menyenggol keras pinggang lelaki kurang-ajar di belakangnya. Tak sadar Juragan Wardoyo memekik keras, hingga menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka. Dia gusar, tariannya semakin kasar dan mendesak. Dengan lancang, tangan Juragan Wardoyo terulur kedepan untuk meremas p******a gempal Nyai Ronggeng. Diperlakukan ndak senonok seperti itu didepan umum, Nyai Ronggeng mendelik kesal.
“Juragan, tolong singkirkan tangan sampean,” pintanya menahan kesal.
“Kalau aku ndak mau bagaimana?” tantang Juragan Wardoyo. Napasnya yang bau tuak sontak membuat Nyai Ronggeng mengernyitkan hidungnya.
“Napa toh? Jangan sok baik, kamu itu l***e! Aku sanggup membayarmu mahal, memiara kamu jadi gendakan. Jadi ndak usah sok jual mahal sama aku.”
Bibir Juragan Wardoyo merangsek maju, ingin menyosor bibir Nyai Ronggeng, Namun sang penari kenamaan itu keburu meludahinya dan mendorongnya keras. Juragan yang ndak siap tersungkur dibawah kakinya. Senyum angkuh bermain di bibir Nyai Ronggeng.
“Wah, suatu kehormatan .. seorang juragan kaya raya berlutut didepan saya.”
“Dasar mulut s****l!” maki Juragan Wardoyo. Dengan cepat ia bangkit, dan menempeleng Nyai Ronggeng didepan semuanya.
Musik pengiring tarian spontan berhenti. Kesunyian mencekam menguasai pelataran tari, semua menanti dengan hati berdebar apa yang akan terjadi. Dari sudut bibir Nyai Ronggeng mengalir darah segar, mata perempuan berapi-api menyorot penuh dendam.
Sebenarnya ada dendam kesumat antara dirinya dengan Juragan Wardoyo. Dia telah menyelidikinya, Juragan Wardoyo adalah pembunuh suaminya enam tahun silam. Dulunya suami Nyai Ronggeng adalah orang kepercayaan Juragan Wardoyo, hingga terjadi pembunuhan seorang perempuan simpanan yang ingin mengeruk harta Juragan Wardoyo. Saat itu heboh, penyelidikan polisi sangat menyulitkan orang terkaya di desa Gayam itu. Lantas dengan liciknya ia mengalihkan kesalahannya pada tangan kanannya yang tak lain adalah suami Nyai Ronggeng. Sayangnya, Harman, suami Nyai Ronggeng, ndak bersedia kerjasama. Dia ingin membongkar segalanya. Jadi daripada semuanya terungkap, Juragan Wardoyo terlebih dahulu membungkam mulut Harman untuk selamanya.
“b*****h busuk! Aku ndak sudi kau sentuh tangan kotormu. Pergi!” usir Nyai Ronggeng murka.
Kemarahan Juragan Wardoyo semakin menjadi, dia ndak sungkan lagi. Dipanggilnya centengnya.
“Tangkap dia! Dan bawa ke markas,” perintahnya keras.
Apalah daya tenaga perempuan, Nyai Ronggeng dengan mudah diciduk dan diculik paksa di tengah keramaian. Meski ia berteriak minta tolong, ndak ada yang bersedia menolongnya. Mereka semua takut menentang Juragan Wardoyo.
“Tolong! Tolong! Mengapa kalian semua membatu? Tega sekalian kalian membiarkan para b******n ini menculik perempuan ndak berdaya!” teriak Nyai Ronggeng.
Dia semakin gusar ketika ndak ada seorangpun yang menyahutinya atau memandang padanya. Mulut Nyai Ronggeng pun meluncurkan kutukan.
“Kalau aku tewas, aku akan menghantui desa ini. Setiap kali kalian menonton pertunjukan ronggeng, aku akan hadir disana dan menghantui kalian! Kalian akan ketakutan sampai terkencing-kencing, b*****t!!”
JLEGER!!
Mendadak ada petir menggelegar seusai Nyai Ronggeng mengucap kutukan itu. Hujan turun dengan deras setelahnya. Mereka semua terpaku dengan napas tercekat mendengar kutukan dramatis itu, namun sesaat setelah sadar tubuh mereka basah terkena hujan, mereka semua semburat meninggalkan pelataran tari.
Meninggalkan Nyai Ronggeng dengan malapetaka yang menantinya.
“Bawa dia! Buruan!” hardik Juragan Wardoyo ndak sabar.
Para centengnya segera melaksanankan perintahnya. Sementara Sumanto yang menyaksikan sepak terjang sahabatnya, ingin memetik keuntungan dari peristiwa ini.
“Juragan Wardoyo, akhirnya kamu bisa mendapatkannya. Jangan lupa janjimu tadi.”
Juragan Wardoyo tersenyum keji. “Tentu, temanku. Kamu dapat giliran kedua. Kita habisi perempuan kurang ajar itu malam ini!”
==== >(*~*)
Bersambung