Juragan Wardoyo berjalan mondar-mandir, wajahnya tampak gusar. Dia menunggu kabar tabib yang sedang memeriksa gendakan terbarunya. Bagaimana mungkin dalam waktu semalam kelamin Mirah membusuk dan rusak parah? Gawatnya lagi, malam sebelumnya dia masih menyetubuhi simpanannya itu! Juragan Wardoyo khawatir, Mirah terkena penyakit kelamin. Maklum bekas pel*cur! Dan bila dugaannya benar, dia was-was bila tertular. Sial!
Ceklek.
Begitu tabib keluar dari kamar, Juragan Wardoyo langsung menanyainya.
“Sinshe, bagaimana keadaan istri saya?”
Tabib itu memandang Juragan Wardoyo kebingungan. “Haiyaaa ... owe balu peltama kali lihat penyakit sepelti ini. Ngeli!”
“Geli, Sinse?” tanya Juragan Wardoyo, bingung. Apa ada penyakit yang membuat geli?
“Haiya, bukan! Ngeli! Mengelikan! Selam! Jijik!” Sinshe Asiong melafalkan satu demi satu kata-kata hingga Juragan Wardoyo memahaminya.
Penyakit Mirah memang menjijikkan. Jangan-jangan memang benar, Mirah terkena penyakit kotor!
“Jadi, istri saya terkena penyakit kelamin? Apa Raja Singa? Herpes?” tanya Juragan Wardoyo was-was.
“Ini beda, woi. Bukan penyakit kelamin biasa. Owe bingung, balu peltama kali liat yang cilakak macam gini. Kelamin istli lu ancur! Busuk, belnanah, dan ada set-nya! Itu hewan kicil yang biasa ada di daging busuk atau mayat!”
“Itu saya juga tahu, Sinshe! Yang saya ingin tanyakan penyakit apa itu? Dan apa ... menular?” Juragan Wardoyo menelan ludah kelu. Dia tak ingin mengalami kejadian sama dengan simpanannya. Dia tak bisa membayangkan burungnya membusuk dan dihinggapi set-set jahan*m itu!
“Haiyaaa ... owe aja tak tahu nama penyakitnya. Owe tak tahu woy dia menular atau endak. Lu olang ati-ati aja. Sementala owe sudah kasih salep dan ramuan helbal di kelaminnya. Tapi lebih baik lu minta dokter mengobati. Sepeltinya itunya halus dipotong abis sebelum menjalal ke bagian lain,” ujar tabib andalan desa Gayam itu pada Juragan Wardoyo.
Mata Juragan Wardoyo membeliak kaget. Astaga, kalau kelamin Mirah dikerok habis berarti tamat pula hubungannya dengan Juragan Wardoyo! Mana mau Juragan Wardoyo memelihara perempuan yang tak bisa dipakainya?
==== >(*~*)
Kimmy bertekad membongkar misteri tari ronggeng di desa Gayam. Dia telah menyelidikinya secara diam-diam. Saat di paguyuban kesenian, dia mengorek informasi pada beberapa orang anggotanya. Tapi mereka tak menanggapinya. Kecuali Linduk. Perawan tua yang lugu itu menjawab pertanyaannya dengan apa adanya.
“Nduk, apa kamu tahu mengapa tari ronggeng tak boleh ditunjukkan di desa ini?”
“Huuus! Ndak boleh menyebut kata itu, Mbak Londo! Pamali!” sahut Linduk seraya melihat ke sekitarnya.
Kimmy ikut mengawasi sekelilingnya. “Apa kamu mencari sesuatu?”
Linduk berbisik pelan, “kata Simbok ndak boleh ngomong pamali, kalau set*n lewat kita bisa sial!”
“Masa ada set*n di siang bolong?” Kimmy tersenyum geli. “Jadi boleh dong kamu ngomong ke saya di siang hari.”
Linduk menggaruk rambutnya yang berkutu, tapi bukan karena gatal. Hanya bingung. “Iya, toh. Linduk baru sadar. Ndak papa ngomong di siang hari, jangan di malam hari.”
Kimmy mengangguk antusias, berharap mendapat informasi penting dari gadis montok nan polos didepannya.
“Mbak, jok ngomong siapa-siapa ya.” Linduk memohon dengan sangat.
Kimmy menjawabnya tegas, “tentu! Sekarang katakan apa yang kamu ketahui, Nduk.”
Linduk menggeleng dengan wajah polos.
“Kamu tak mau mengatakannya?” tanya Kimmy kecewa.
“Bukan, Mbak. Linduk ndak tahu apa-apa. Dari kecil, Linduk tahunya begitu. Tari rongrong itu ndak boleh dibicarakan, apalagi dipentaskan. Kalau dilanggar ada kutukan buat warga desa Gayam.”
“Kutukan apa, Nduk?”
Linduk menggeleng. “Ndak tahu.”
Haish, kalau hanya itu Kimmy juga tahu. Buat apa sedari tadi gadis ini sok misterius seakan dia akan membocorkan rahasia penting?!
“Sebenarnya darimana asal muasal kutukan ini? Apa angin yang pertama kali menghembuskannya?!” gerutu Kimmy kesal. Dia mengatakannya hanya untuk melampiaskan kekesalannya, tak berharap ditanggapi.
“Loh, Mbak Kimmy sudah tahu toh. Iya, yang pertama menyebarkan kutukan ini adalah Angin.”
“Angin?” ulang Kimmy bingung.
==== >(*~*)
“Apa disini si Angin tinggal?” tanya Kimmy memastikan.
Linduk mengangguk, mengiyakan.
Kimmy memandang sekitarnya. Sepertinya ini adalah rumah paling megah dan paling luas yang ditemukannya di desa Gayam. Berarti Angin itu orang kaya. Ada ya orang kaya yang suka membuang waktu untuk ghibah sana-sini!
“Ya sudah, ayo kita mencari tuan Angin,” ajak Kimmy.
Linduk menahannya. “Bukan tuan, Mbak. Mas Angin. Dia tukang kuda disini, di rumah Juragan Wardoyo.”
Tukang kuda? Astaga, bukannya mengurusi kuda dengan baik mengapa si Angin malah suka menggosip? Kimmy jadi kurang respek meski belum bertemu dengannya. Namun saat Linduk mengajaknya bertemu di ladang, di belakang rumah Juragan Wardoyo ... ia menemui lelaki tinggi kerempeng yang berwajah kalem dan memelas. Usianya mungkin sekitar 40 tahun lebih, dan bukan tipikal lelaki cerewet tipikal tukang gosip.
“Apa benar dia bernama Angin?” Kimmy memastikan sekali lagi.
“Iya, Mbak. Ganteng, yo,” cetus Linduk dengan mata berbinar.
Jujur, Kimmy tak sepakat dengan Linduk, tapi selera tiap orang berbeda. Dia menghargai pendapat Linduk.
“Kalau menurut kamu ganteng, anggap saja begitu.” Kimmy menyengir.
Melihat gelagat malu-malu Linduk, dia curiga gadis montok ini naksir Angin. Bukan Angin, tapi Pak Angin. Usia mereka berbeda jauh. Apa tak salah Linduk menyukai pria seusia bapaknya?
“Mas Angiiin ...,” panggil Linduk manja.
Angin menoleh, senyumnya terbit ketika melihat Linduk mendekatinya. Namun, begitu menyadari gadis asing yang berjalan di sebelah Linduk, dahinya berkerut dalam. Senyumnya lenyap seketika.
“Mas, sibuk toh?” tanya Linduk basa-basi. Biasa, sesibuk apapun Angin selalu meluangkan waktu untuknya. Meski hanya sebentar.
“Hm, sibuk sekali. Lain kali wae kamu kesini.”
Mata Linduk membulat heran. Aneh, mengapa Angin langsung mengusirnya halus? Padahal dia belum mengenalkan pria itu pada guru tari yang dibawanya. Gadis mirip boneka yang dikaguminya.
“Sibuk apa, toh? Tadi Linduk lihat, Mas Angin cuma melamun melihat kuda merumput,” protes Linduk.
“Melamun? Aku sedang menghitung berapa kuda yang harus kukeramasi, berapa kuda yang kukunya harus dipotong, berapa kuda yang harus dipotong jambulnya,” sahut Angin, asal.
Linduk yang polos ternganga, bualan Angin dimakannya mentah-mentah. “Ya ampun, Mas. Ternyata miara kuda itu sama saja dengan miara bayi yo.”
Kimmy yang merasa diabaikan sedari tadi menyikut pelan pinggang Linduk. Untung gadis itu segera tersadar.
“Eh, Mas ... kenalkan ini Mbak Kimmy, guru tari baru dari kota. Dia mirip boneka Linduk yang dulu kintir di kali, toh. Linduk membawanya kemari karena Mbak Kim-“
“Aku sibuk, Nduk. Permisi.”
Angin hendak pergi, namun Kimmy mana rela melepas informannya lepas begitu saja? Dia langsung mengatakan to the point tujuannya datang kemari.
“Maaf, Pak Angin. Menganggu sebentar. Saya hanya ingin tahu asal-usul kutukan tari ronggeng. Bapak pasti tahu masalah ini, kan?”
Mendadak wajah Angin berubah suram, dia melirik tajam Linduk membuat gadis itu menunduk dalam. Waduh, kalau tahu Mas Angin bakal semarah ini ... dia tak akan mengatakannya pada Mbak Kimmy. Linduk menyesali mulut embernya.
Belum sempat Angin mengatakan apapun, dari kejauhan terdengar seseorang memanggilnya.
“Ngin! Angiiin!! Kowe dicariin Juragan! Cepat! Istri muda Juragan baru meninggal!”
Tanpa membuang waktu, Angin berlari cepat menuju rumah utama. Kimmy mengikutinya, Linduk yang baru tersadar lantas ikut berlari di belakang mereka. Bau busuk menerpa hidung mereka begitu memasuki rumah utama, dan semakin menyengat saat mereka mendekati kamar yang dituju Angin.
Di kamar itu tak ada siapapun. Mereka semua menghindari pusat bau busuk itu berasal. Bahkan Juragan Wardoyo dan keluarganya tak tampak sama sekali. Para pelayan hanya menutup hidung dan melihat dari kejauhan. Hanya Angin yang berani mendekat sambil menutup hidungnya. Linduk tak mau mengikuti, gadis montok itu bersembunyi dibalik para pelayan yang mengamati dari jauh.
Semua mata menatap heran ketika Kimmy mengikuti Angin masuk, sembari menutupi hidungnya dengan saputangan yang dililitkan di kepalanya. Mereka mengira Angin membawa dokter dari kota.
“Mengapa dokter datangnya terlambat? Nyonya Mirah wes keburu mati dhisik kena teluh jahat!” cetus seorang pelayan.
“Huuus! Jangan ngomong keras-keras! Nanti yang ngirim teluh ndak terima, kamu yang ganti diteluh!” sahut yang lain.
Pelayan itu lantas menutup mulutnya erat dengan wajah pucat.
Sementara itu Kimmy telah berdiri di ambang pintu kamar Mirah. Matanya terbeliak melihat pemandangan didepannya. Di pembaringan, tergeletak mayat perempuan yang matanya menatap nyalang kearah plafon. Tubuhnya telah kaku. Mulut perempuan itu terbuka, mengalirkan buih berwarna coklat kehitaman yang berbau tak sedap. Cairan busuk itu juga keluar dari semua lubang tubuhnya. Hidung, telinga, bahkan kemaluan Mirah mengeluarkan cairan busuk itu tiada henti. Dan k*********a ... Kimmy menahan mual melihatnya. Kemaluan Mirah membengkak besar, membusuk sehingga berwarna hitam kebiruan, mengeluarkan nanah bercampur darah busuk, dan ada belatung-belatung yang bergerak seakan menari didalamnya.
Saat Angin membuka selimut jarik yang membungkus tubuh bagian atas Mirah, tak sadar Kimmy memekik lirih. Bukan hanya di kemaluan, membusuknya tubuh Mirah telah menjalar hingga keatas. Sampai ke batas leher! Payud*ra perempuan itu telah rusak parah. Membengkak, berwarna hitam kebiruan, berlubang disana-sini karena digerogoti belatung. Bahkan ujung dad*nya nyaris copot!
Tak tahan lagi, Kimmy berlari keluar secepat mungkin. Sampai di halaman belakang, dia muntah, walau yang keluar hanya cairan bening karena Kimmy belum sempat makan dari pagi. Dia terkesiap ketika ada yang mengurut tengkuknya dari belakang.
Ingin menyemprot orang yang lancang itu, Kimmy terdiam ketika tahu yang melakukannya adalah Satrya.
“Sat, kau tahu ada yang menjadi mayat didalam sana,” desis Kimmy, perutnya kembali mual begitu teringat pemandangan ngeri didalam kamar tadi.
Satrya mengangguk. “Kenapa kamu kemari?”
“Aku mengikuti Lin-“
Mendadak Satrya menutup mulutnya, matanya menatap was-was pada seseorang yang mendekat dari kejauhan. Dia segera menyeret Kimmy menjauhi tempat itu. Orang yang mendekat itu adalah Juragan Wardoyo, dia hendak menengok Mirah yang dikabarkan telah tewas. Mata awasnya sempat menangkap sekelebat bayangan Satrya yang menyeret tubuh wanita berambut coklat. Dia jadi penasaran.
“Sat, kenapa?” celetuk Kimmy bingung. Mengapa tiap bertemu pemuda misterius ini selalu membawanya pergi menghindari seseorang atau sesuatu? Aneh.
“Diam, ikuti saja!” hardik Satrya pelan.
Satrya membawa Kimmy masuk kedalam kamar sederhana yang tak terlalu luas, lantas menutup pintunya. Dia menahan Kimmy di balik pintu, telinganya mendengar dengan awas suara-suara diluar kamar.
“Sat, ada apa? Dan kamar siapa ini?” tanya Kimmy sembari mengamati kamar yang dimasukinya. Tak ada sesuatu yang istimewa, kamar ini sederhana dan rapi ... seperti kamar di losmen murahan.
“Kamar saya,” jawab Satrya pelan.
Deg!
Jantung Kimmy mendadak bertalu kencang. Mengapa Satrya membawanya masuk ke dalam kamarnya? Apa dia bermaksud mes*m? Kimmy masih menerka-nerka niat Satrya ketika mendadak lelaki itu menariknya ke ranjang dan menindihnya lekat.
“Sat! Apa maumu?” pekik Kimmy lirih.
Satrya tak menjawab, malah membekap mulutnya. Perlahan bibirnya mendekati bibir Kimmy. Napas Kimmy tercekat.
==== >(*~*)
Bersambung