Pagi yang segar di desa. Kimmy menghirup dalam-dalam udara bersih melalui hidung mancungnya. Sesuatu hal yang tak bisa dilakukannya di tempat asalnya. Di kota sudah banyak polusi, kalau dia melakukannya bisa jadi paru-parunya jebol. Asap kotor dan polutan akan menyerbu dan merusak organ dalam yang penting untuk kehidupannya.
“Kak Kimmy kayak ndak pernah menghirup hawa segar saja, toh,” komentar Rusman, anak lelaki Pak Lurah Sudarsono, yang berusia 10 tahun.
“Memang tak pernah, Dek. Di kota semua serba kotor, tak cuma hawanya,” kekeh Kimmy.
“Langitnya juga kotor?” tanya Rusman polos, jarinya menunjuk langit berwarna biru cerah diatas.
“Untung tidak. Langit selalu cerah, dimanapun. Kecuali saat malam, tapi karena kegelapan malam. Bukan karena jelaga,” jawab Kimmy.
“Aku tak suka gelap,” cetus Kimmy, begitu teringat mimpi buruknya.
Matanya membulat begitu menangkap pemandangan di sawah. Pemuda itu, si tampan berkulit gelap dengan tubuh raksasanya yang eksotis, dia tengah membajak sawah.
“Aku tak suka gelap, tapi terkadang gelap itu indah,” sambung Kimmy.
Pandangannya tertuju pada Satrio yang menunggangi kerbau dengan gagahnya. Kok bisa, ya, ada pria yang tampak perkasa meski hanya duduk di punggung kerbau? Apalagi kalau dia naik kuda! Seakan tahu sedang diamati, Satrio menoleh padanya. Pandangan mereka terkunci satu sama lain. Sang wanita dengan manik mata biru cerahnya, sedang si lelaki dengan netra gelap matanya yang berwarna hitam kelam. Bagaikan magnit berbeda kutub, minat mereka muncul dan menarik satu sama lain untuk terus mengamati.
Kimmy tersadar ketika mendengar suara tawa cekikikan dua bocah yang mengantarnya jalan-jalan keliling desa.
“Kak Kimmy naksir Mas Satryo, ya?” tuduh Dini sambil menyeringai, memamerkan gigi ompongnya yang lucu.
“Psstttt!” Kimmy mengkode gadis cilik itu dengan menaruh telunjuknya di mulut. Dia khawatir Satryo mendengarnya, karena suara Dini sangat lantang.
“Dek, yang benar mereka berdua saling suka. Mas Satryo melihat terus Kak Kimmy. Padahal biasanya dia ndak pernah peduli sama gadis lain, toh,” timpal Rusman.
Manik mata Kimmy melebar. Pernyataan Rusman membuatnya sumringah.
“Masa, Man? Dia ngelihat gue ... eh, Kakak?” tanya Kimmy memastikan.
“Iya, Mbak. Sampai sekarang! Eh, sekarang sudah ndak. Ada Mbak Shinta datang.”
Kimmy penasaran mengetahui ada gadis yang mendekati Satryo. Dia manis, tubuhnya mungil namun pas di bagian yang perlu. Seksi, batin Kimmy. Yang bernama Shinta itu membawa rantang makanan, sepertinya dia sedang mengajak Satryo sarapan bersama.
“Dia siapa?” Kimmy menunjuk gadis itu dengan dagunya yang runcing.
“Anak tiri Juragan Wardoyo, dia sudah lama naksir Mas Satryo,” jelas Rusman. Di desa, gosip berhembus lebih cepat dari angin. Anak sekecil Rusman saja tahu masalah percintaan anak muda di desa ini.
Bukannya Juragan Wardoyo adalah nama yang harus dihindarinya? Kimmy memutuskan mengabaikan pasangan muda didepannya, dia mengajak Rusman dan Dini melalui jalan lain. Tanpa disadarinya, sepasang mata tajam menatap lekat kepergiannya.
Shinta mengikuti arah pandangan Satryo. Dia tak suka mengetahui pemuda yang disukainya menatap seorang gadis cantik berambut pirang kecoklatan.
“Bukannya dia gadis yang baru datang dari kota itu, toh?” celetuk Shinta.
Satryo mengalihkan tatapannya pada makanan di piringnya. Ada pisang goreng, singkong rebus, ketan koya, dan juga kopi hitam pahit ... kesukaannya. Shinta memang sangat perhatian padanya, gadis itu hapal semua yang disukai dan tidak disukai Satryo.
“Hem,” sahut Satryo acuh. Pemuda ini sangat pendiam. Dia hanya menjawab sekedarnya, seringkali malah tak menjawab sama sekali bila dirasanya tak perlu.
“Mas tahu? Ibu bilang kita harus hati-hati sama dia.” Shinta berusaha memperingatkan, supaya Satryo tak peduli lagi pada gadis kota itu. Dia was-was, biasanya Satryo tak pernah memandang gadis selama itu. Bahkan seringkali tak pernah memandang sebelah mata. Sampai-sampai berhembus kabar, Satryo tak suka perempuan. Ada-ada saja. Masa Mas-nya yang ganteng ini penyuka sesama jenis?
Satryo tak menanggapi pancingannya, Shinta jadi gemas. Dengan menahan kesal, dia meneruskan ceritanya.
“Gadis itu datang kemari dengan niat kurang baik. Dia ingin membongkar masalah kutukan di desa kita. Mas tahu toh yang Shinta maksud?”
Tentu dia tahu, dan itu membuat Satryo semakin penasaran pada si mata kelereng ... julukan yang diam-diam diberikan Satryo pada gadis berambut aneh itu. Perlahan, samar sekali, Satrya mengangguk.
“Jadi lebih baik Mas ndak usah dekat-dekat gadis lancang itu. Penduduk desa kita juga bertekad ndak mau meladeni keingintahuan gadis kota itu.”
Satryo diam, sengaja dia tak menanggapi permintaan Shinta. Satryo asyik mengunyah singkong rebus nan gurih sembari memikirkan gadis bermata kelereng yang telah merebut perhatiannya dari awal mereka bertemu.
==== >(*~*)
Kimmy melanjutkan jalan-jalannya hingga sampai ke sungai. Air sungai yang jernih seakan melambai-lambai, mengajaknya berenang di sana. Di kejauhan tampak ibu-ibu yang sibuk mencuci pakaian, mereka menggosok baju dengan menggunakan batu kali dan sabun colek berbagai merk.
Kehidupan desa yang menarik. Kimmy merasa dia bakal betah tinggal di desa Gayam. Tak ada hiruk pikuk seperti di kota yang acapkali membuat stres penduduknya. Disini tenang dan bersih. Itu anggapan awal Kimmy, padahal dibalik ketenangan desa ini ... banyak tersimpan misteri mengerikan.
“Apa kalian mau berenang?” Kimmy menawarkan sambil tersenyum iseng.
“Maksud Kakak mau mandi di sungai?” tanya Rusman meralat.
Terserahlah apa istilahnya. Kimmy ingin sekali menceburkan diri di sungai yang jernih itu. Dia merasa tak enak melakukannya sendiri.
“Tapi Kak di sungai ada bua-“
Rusman memotong ucapan Dini, adiknya. “Maaf, Kak. Ibu dan Bapak melarang kami mandi di sungai.”
“Mengapa?” tanya Kimmy kecewa. Dia ingin sekali menikmati alam di desa sepuasnya, termasuk berenang di sungai yang jernih. Di kota mana mungkin dia melakuan itu? Sungai di kota begitu jorok, penuh sampah dan limbah pabrik.
“Lebih bersih mandi di rumah.”
“Nanti kita bisa mandi ulang setelah sampai di rumah.” Kimmy berusaha membujuk supaya acara berenangnya dapat terlaksana.
“Maaf, Kak. Kami ndak berani melanggar larangan. Nanti Bapak dan Ibu marah.”
Kimmy menghela napas berat. Dia tak mungkin membujuk mereka untuk melanggar perintah orangtuanya. Masa dia tega menjadikan anak orang sebagai Malin Kundang yang durhaka itu?
“Ya sudah, kalian tunggu ya. Kakak nyebur sebentar.”
“Kak, jangan!” peringatan Rustam terlambat.
Kimmy telah menceburkan diri ke sungai, dengan pakaian lengkap, kaus oblong berwarna putih dan celana jeans tipis selutut yang kini telah basah kuyup.
“Kak Kimmiii ... naik, Kak!” teriak Dini ketakutan. Matanya menatap was-was ke sekitar sungai.
“Kenapa? Sebentar, Dek. Airnya segar. Biarkan Kakak menikmatinya sejenak,” kilah Kimmy. Kedua tangannya mempermainkan air hingga beriak. Kimmy bertingkah seperti anak kecil yang lepas kendali mendapatkan mainan yang disukainya.
“Tapi Kak, di sungai ada bu-bu-bu-aya.” Saking gugupnya, Dini berkata tak jelas ... membuat Kimmy tak memahami ucapannya.
“Siapa Bu Aya? Kakak tak mengenalnya.”
Mata Rustam membesar begitu melihat pergerakan air sungai, ada sesuatu yang meluncur cepat kearah Kimmy sementara gadis itu dan adiknya berdebat tak sinkron. Buru-buru bocah lelaki itu menjerit histeris.
“Ada buaya, Kak! Buaya!” jeritnya sembari menunjuk ke jejak air memanjang yang bergeser mendekati Kimmy.
Kimmy mendelik menyadari dirinya dalam bahaya! Tak sempat berenang cepat kembali ke darat, Kimmy diam terpaku. Di depannyan muncul buaya besar berwarna putih. Mulutnya membuka lebar, seakan siap menelannya bulat-bulat.
BYUR!
Mendadak ada yang menceburkan diri ke sungai. Seseorang berenang cepat mendekatinya, dia menyela diantara dirinya dan sang buaya raksasa. Entah mengapa Kimmy merasa tenang saat mengenali siapa orang itu. Sontak dia memeluk pria itu dari belakang, seakan memohon perlindungan darinya.
Jantung Satryo berdegup kencang. Bukan karena tegang menghadapi buaya putih didepannya, tapi karena pelukan ketat di pinggangnya. Apa gadis itu tak sadar jika payudaranya menempel ketat di punggung Satryo? Dia membuat bagian bawah Satryo bereaksi. Untung mereka berendam didalam sungai, jadi tak ada yang mengetahui perubahan tubuhnya.
“Tolong ...,” bisik Kimmy lirih.
“Tole, tutup mulutmu!” hardik Satryo.
Suara pria itu begitu berat, namun seksi. Hanya mendengarnya, Kimmy bergelenyar. Dipikirnya Satryo bisu, ternyata bisa ngomong. Eh, dia bicara pada siapa? Kimmy mengawasi sekelilingnya. Hanya ada dia dan si buaya yang berada di dekat Satryo.
“Mas manggil saya?” Kimmy menunjuk dirinya sendiri.
Satryo meliriknya malas sebelum tatapannya kembali ke depan. Dia memandang galak pada si buaya seakan tengah memarahi anaknya.
“Tole, sekali lagi kamu nakal ... Kangmas akan memotong jatah makanmu!”
Astaga, rupanya dia bicara pada si buaya! Apa dia gila? pikir Kimmy menyayangkan jika pria yang berhasil menarik perhatiannya ternyata kurang waras!
“Apa dia waras?” gumam Kimmy lirih, berharap tak ada yang mendengarnya. Dia hanya berbicara pada dirinya sendiri.
Ternyata yang dibicarakannya justru meliriknya tajam. Kimmy terkesiap. Apa dia mendengarnya? Tapi dia tak menanggapinya.
Pria itu menepis tangan Kimmy dan berjalan mendekati buaya yang dipanggilnya Tole. Mata Kimmy mengerjab bingung ketika pria misterius itu mengatupkan kedua rahang buaya putih itu hingga menutup rapat, lantas mengelusnya penuh kasih sayang. Apa dia tak salah melihat? Itu buaya atau kuda? Mengapa si buaya menggesekkan moncong panjang ke bahu dan leher si pria seakan tengah merengek manja disana?
Kimmy menelan ludah kelu. “Apa dia peliharaanmu?” tanyanya setelah berhasil menarik kesimpulan yang paling masuk akal.
Pria itu tak menjawabnya, orang lain yang melakukannya.
“Dia milikku!”
Kimmy menoleh pada pria yang baru datang dan berdiri di tepi sungai dengan gaya pongahnya. Matanya membelalak begitu mengenalinya.
Dia pria tua yang ingin dibunuhnya dalam mimpi buruknya!
Pria itu ada!
==== >(*~*)
Bersambung