Cahaya matahari sedang malu-malu menampakkan diri melalui celah gorden jendela yang tidak tertutup rapat. Seperti tidak mau mengganggu si empunya kamar. Namun pada kenyataannya, bukan cahaya keemasan itu yang membuat Denallie bangun sepagi ini, tetapi sakit kepala yang sulit untuk diabaikan.
Denallie menatap langit-langit kamar kos yang ditempati. Satu tangannya memijit pelipis, dengan pikiran menerawang. Ia masih mencerna apa yang terjadi semalam. Ya, Denallie memang mabuk tapi sejujurnya ia masih ingat kalau Gentala yang membawanya pulang ke kos. Hanya saja ia berpura-pura tidak sadarkan diri dan ingin tahu bagaimana laki-laki itu memperlakukannya.
Suara embusan napas kasar terdengar diantara heningnya kamar. Denallie merasakan perasaan yang tidak nyaman, gundah serta gelisah. Bagaimana pertengkarannya dengan Jiro, berujung pada hubungan yang akhirnya berakhir dan itu yang Denallie inginkan. Bahkan ia sempat memberi hadiah perpisahan yang berkesan. Tetapi sayang, meski sudah melakukan itu semua dan menumpahkan kekecewaannya, sakit hati masih terasa sampai detik ini. Merasakan luka yang mungkin akan lama sembuhnya.
Bayangan Jiro tergeser oleh sosok Gentala. Denallie sempat tidak percaya karena laki-laki itu tidak mengambil kesempatan saat ia mabuk. Padahal ia pikir isi kepala Gentala ada ranjang saja, ternyata dugaannya semalam meleset. Laki-laki itu cukup pintar mengendalikan diri.
“Apa mungkin dia tahu kalau sebenarnya aku setengah sadar, makanya dia nggak berani macam-macam,” gumam Denallie. Tiba-tiba ia bangun dari posisi berbaring namun lupa dengan sakit kepalanya. Alhasil Denallie mengerang pelan sambil memegang kepala. Ia mendengkus sebal akan kecerobohan diri sendiri. “Enggak, aku harus tetap waspada sama cowok itu. Yang semalam pasti Cuma pura-pura, aslinya dia itu pasti masum.”
Denallie segera beranjak dari tempat tidurnya untuk pergi mandi. Hari ini ia memutuskan untuk pergi ke salon, sekadar merapikan rambutnya yang sudah panjang. Berharap kegiatan ini sedikit meringankan beban pikirannya. Ia tidak mau terlihat menyedihkan di hadapan Jiro setelah mereka putus. Gengsi baginya kalau kondisinya memburuk setelah berpisah dengan Jiro.
***
“Tadi malam kamu ke mana, Na?”
Denallie menegakkan badan setelah selesai mengenakan sepatu boots berwarna hitam. Ia ingin memastikan semuanya aman sebelum mulai bekerja. Setelah itu, Denallie menatap Sada yang tengah berdiri di hadapannya. Dilihat dari raut wajahnya, nampak laki-laki itu sedang dalam keadaan serius.
“Tadi malam, ya?” Denallie pura-pura berpikir. “Datang ke Purple, cari angin.”
“Ke sini? Cari angin?” Sada tersenyum tidak percaya. “Aku kenal kamu nggak sehari, Na. Datang ke sini, cari angin, bukan kebiasaan kamu. Semalam kamu mabuk karena lagi ada masalah dengan Jiro, kan?”
“Masalah apa? Enggak, kok,” elak Denallie.
Sada mengambil tempat di sebelah Denallie. Menarik kursi lalu duduk di sana. “Jangan bohong, Na. Jack kasih tahu aku kalau kamu mabuk dan pulang diantar Gentala. Kenapa kamu bisa akrab sama dia? Dan kenapa mesti minum sampai mabuk Cuma karena si b******k itu?”
Denallie menghela napas karena dicecar pertanyaan oleh Sada. Niatnya untuk menyembunyikan kejadian semalam, tapi ia lupa memberitahu Jack agar tidak bicara dengan teman-temannya, terutama Sada. Sebagai orang yang paling galak, tapi Sada yang sangat perhatian, itu sebabnya Denallie tidak mau temannya khawatir.
“Tadi malam sebelum ke sini, aku ketemu sama Jiro. Kami bertengkar karena aku kasih lihat bukti dia selingkuh dan minta putus. Tapi dia nggak ngaku selingkuh dan nggak mau pisah. Aku nggak peduli, yang penting aku putusin dia karena alasan kuat.” Denallie terdiam, lalu kembali menghela napas panjang. “Rasanya lega tapi sakitnya masih terasa. Makanya aku ke sini, niat minum sedikit tapi akhirnya mabuk. Kebetulan Gentala juga di sini, jadi dia yang ngajak aku pulang ke kos.”
“Sekarang aku tanya, kenapa ke sini sendiri seperti orang nggak punya teman? Aku, Abila dan juga Varo, kamu anggap kami apa?”
“Jangan salah paham, bukannya menganggap kalian nggak ada tapi aku Cuma butuh waktu untuk sendiri. Aku mau nenangin diri, itu aja kok.”
Sada membuang napas kasar, mencoba mengerti maksud Denallie. “Terus dia antar kamu pulang ke kos? Dia nggak macam-macam, kan?”
“Enggak kok. Semalam dia baik dan cukup sopan, jadi semuanya aman,” jawab Denallie.
“Syukurlah. Tapi aku harap ini terakhir kali kamu berurusan sama Jiro dan Gentala. Aku nggak mau kamu dekat-dekat sama mereka. Kita nggak tahu, seberapa bahaya mereka terutama Gentala.”
Denallie menatap Sada dengan tatapan penasaran. “Kamu khawatir sama aku, ya?”
“Jelas. Kamu bukan Cuma sekadar teman kerja atau saudara tapi juga …” Sada menahan napas dan menggantung kalimatnya.
“Apa?”
Sada menggeleng lalu beranjak dari tempat duduk. “Sudah waktunya, sebaiknya kita siap-siap.”
Melihat Sada pergi dengan menggantung kalimatnya, Denallie sedikit kesal. “Suka banget buat orang penasaran,” gerutunya.
***
Mobil berwarna hitam kesayangan Gentala sudah pakir rapi di kediaman ayahnya. Ia turun dengan pakaian sedikit berantakan karena baru selesai praktik. Seharusnya ia belum pulang, hanya saja ayahnya ingin mengadakan makan malam bersama, sehingga mau tidak mau ia menutup tempat praktiknya lebih cepat dari biasa.
Gentala tersenyum saat melihat mobil Jiro juga ada di garasi. Bukan karena mobilnya lebih mewah dari adik tirinya tapi mengingatkan ia akan Denallie. Bagaimana bar-barnya wanita itu semalam saat memaki dan menyebut nama Jiro. Ia senang karena akhirnya Denallie tahu harus melakukan apa setelah diselingkuhi.
“Selamat malam,” sapa Gentala.
Sudah ada Petra, Anne dan juga Jiro yang tengah duduk di ruang keluarga. Sebenarnya Gentala malas berbasa-basi di hadapan ibu dan adik tirinya. Namun demi menghargai sang ayah, maka ia menahan diri.
“Kamu sudah pulang,” ucap Petra.
“Iya, sesuai keinginan Papa,” balas Gentala dan ikut duduk di sofa single. Matanya tertuju pada Jiro. Matanya menyipit demi memastikan luka di wajah adik tirinya. “Habis tinju di mana? Keren juga cap pipinya,” sindirnya.
“Genta,” tegur Petra.
Anne berdeham pelan. “Katanya dia jatuh, terus pipinya kebentur sudut meja. Makanya jadi memar begitu.”
Gentala tersenyum sinis. “Oh, kuat juga mejanya sampai bikin luka. Di balas nggak?”
Jiro tidak menjawab. Ekspresinya dingin dan juga sinis. “Apa makan malamnya bisa dimulai? Aku sudah lapar.”
“Oh tentu. Genta sudah datang, jadi sebaiknya kita makan sekarang,” ujar Petra.
Sepanjang makan malam berlangsung, hanya Petra yang mengeluarkan topik pembicaraan. Gentala hanya bicara kalau ditanya, begitu juga Jiro. Suasana seperti ini bukan yang pertama, tapi sering. Itu sebabnya Gentala maupun Jiro tidak suka ada kumpul keluarga Daneswara, kecuali keluarga besar bersama sepupunya yang lain.
“Luka itu, bukan kena meja. Tapi pukulan, iya kan?” tanya Gentala saat melihat Jiro keluar dari kamarnya. “Kalau berantem, lukanya juga nggak mungkin satu. Ya, mungkin lebih dari satu. Iya kan?”
Jiro tersenyum sinis. “Luka satu menandakan aku ini lebih kuat dari lawan. Bod0h, masa nggak ngerti, sih.”
Dikatai bod0h, langsung memancing tawa Gentala. “Kamu lupa kalau saya dokter, jadi jangan berusaha membodohi saya, Jiro.”
Jiro menghela napas, seperti menahan diri agar tidak terpancing. “Memangnya apa urusanmu?”
“Enggak ada tapi Cuma penasaran sedikit.” Gentala mendekati Jiro, lalu menatap dengan mata menyipit. “Dipikir-pikir, lukanya Cuma satu. Jadi ini bukan acara boxing antar laki-laki. Apa memar ini hasil karya seorang perempuan yang kamu permainkan?”
Tidak tahan mendapat sindiran, Jiro langsung mendorong Gentala. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal dan tatapan matanya begitu tajam. Jiro siap meledak dan melampiaskan kepada Gentala.
“Nggak usah ikut campur! Lo nggak ada hak buat tahu urusan gue. Kita bukan saudara, jadi jangan merasa akrab sampai tahu apa yang gue lakukan! Sekali lagi mancing gue, lo akan tahu akibatnya!” ancam Jiro lalu pergi dari hadapan Gentala.
Melihat adik tirinya pergi, Gentala tersenyum. Bukan senyum yang ramah, melainkan senyum kesal. “Dasar pengecut, beraninya Cuma segitu. Syukurlah Denallie bisa kasih hadiah perpisahan yang manis, yang pasti orang ini akan ingat seumur hidupnya.”