“Fel, kok ibu sudah boleh pulang? Memangnya dokter sudah kasih izin?”
Felicia mengaduk gelas berisi es teh manis yang baru saja dibuat. Setelah itu diteguk dengan semangat karena haus yang melanda. “Kamu mau?”
“Enggak. Aku lagi ngurangin minum es,” jawabnya. “Ayo jawab, kenapa Ibu pulang dari rumah sakit? Apa kondisinya sudah membaik?”
“Sudah kok. Kamu pikir Ibu bisa pulang gitu aja. Ya harus atas persetujuan dokterlah.”
Denallie masih nampak ragu. “Jadi Ibu sudah sehat?”
“Sudah, Na. Ibu Cuma butuh istirahat yang banyak dan jangan banyak pikiran. Selain itu, makanan juga harus tetap dijaga biar maagnya nggak kambuh lagi,” jelas Felicia.
“Oh begitu.”
Denallia cukup kaget waktu mendapatkan kabar kalau Lulu sudah diizinkan pulang ke rumah. Dirawat selama tiga hari ternyata mampu membuat kondisi wanita itu membaik. Apalagi setelah mendapatkan kabar tentang niat baik dari Petra, semakin semangat Lulu untuk segera sembuh.
“Oh iya, tadi asistennya Pak Petra juga datang ke sini. Katanya Ibu dapat undangan makan malam.”
“Sendirian?”
Felicia menggeleng sambil meneguk kembali es teh yang tersisa sedikit. “Sama kamu. Katanya ini …”
“Bentuk ucapan terima kasih karena aku sudah nolong beliau. Begitu kan katanya?”
“Betul sekali. Kok kamu bisa tahu?” tanya Felicia polos.
Denallie menghela napas. Bukan karena tidak senang atas niat baik Petra, tetapi merasa sungkan atas semua apa yang diberikan oleh keluarga kaya itu.
“Itu juga yang Pak Petra bilang waktu nawarin diri sebagai donatur di panti,” jawabnya.
“Berarti Pak Petra ini selain kaya, juga baik ya. Kamu menyelamatkan nyawanya sekali tapi dia balas berkali-kali lipat. Hatinya benar-benar seperti malaikat,” ucap Felicia dengan tatapan kagum.
“Iya, aku juga nggak nyangka kalau yang aku tolong ternyata orang kaya dan mau bantu panti. Semoga niatnya bukan Cuma di awal saja, tapi berkelanjutan sampai nanti.”
“Iya sih dan kita nggak boleh terlena. Mumpung sekarang masih ada yang bantu, sebaiknya kita siapkan dana untuk masa depan. Kita nggak akan pernah tahu yang terjadi nanti,” Felicia menimpali.
Denallie merenung dengan pikiran menerawang. Semuanya masih seperti mimpi baginya dan mungkin bagi keluarga panti. Niatnya menolong Petra sebagai bentuk rasa kemanusiaan, justru ia dipertemukan dengan seorang pengusaha sukses. Membantu saudaranya keluar dari masalah keuangan dan juga mengurus semua biaya Lulu selama di rumah sakit. Bukan hanya itu saja, sikap Petra yang baik dan tidak sombong membuat Denallie merasa semakin kagum.
“Kira-kira, keputusan Pak Petra buat bantu kita, didukung juga nggak sama keluarganya? Aku takut, nanti kasusnya sama kayak mendiang Pak Jimmy,” gumam Denallie.
“Enggak tahu juga, ya. Tapi kalau sampai undang kamu dan Ibu buat makan malam ke rumahnya, sudah pasti keluarganya juga tahu,” ujar Felicia. “Eh iya, dia ada istri nggak?”
“Ada kok, soalnya Varo pernah ngomong lewat telpon.”
Felicia menghela napas lega. “Syukurlah, setidaknya dia nggak ada niat terselubung.”
“Maksud kamu?”
“Ya niat baiknya bukan untuk narik perhatian kamu buat dijadikan istrinya.”
“Sembarangan!” sembur Denallie. “Enggak mungkin. Aku bisa lihat dari sikap dan pembawaannya, Pak Petra baik kok. Nggak ada sikap aneh seperti bayangan kamu, Fel. Lagian aku juga nggak akan mau. Mending kawin lari sama Jiro.”
Melihat wajah panik Denallie, sontak saja membuat Felicia tertawa puas. “Memangnya Jiro mau diajak kawin lari? Apalagi kamu juga belum tahu siapa keluarga dia dan gimana latar belakangnya.”
“Nanti juga ada waktunya, Fel. Pacaran baru beberapa bulan, masa sudah mau kenalan sama keluarganya.”
“Ya nggak apa-apa. Dikenalin ke keluarga adalah salah satu bentuk keseriusan cowok, Na.”
“Bawel!” Denallie beranjak dari tempat duduknya. “Aku mau lihat kondisi Ibu dulu.”
***
Mobil berwarna putih yang ditumpangi oleh Denallie dan Lulu kini sudah memasuki halaman rumah dari keluarga Daneswara. Rumah luxury modern classic seketika membelalakan mata Denallie. Tumbuh besar di panti dan bergaul dengan kalangan sederhana, membuatnya tidak pernah membayangkan akan datang ke rumah mewah ini. Seketika ia merasa kecil dan tidak pantas berada di lingkungan ini.
“Rumah Pak Petra mewah sekali, Na,” gumam Lulu yang tidak kalah heran.
Denallie berusaha tersenyum namun canggung. Mengenakan pakaian sederhana, sangat bertentangan dengan tempat yang dituju. “Apa nggak salah kita diundang ke sini, Bu?”
“Memangnya kenapa?” tanya Lulu bingung.
“Ya nggak nyangka kalau kita diajak ke sini,” bisiknya.
“Tenang saja Ibu Lulu dan Mbak Dena, keluarga Pak Petra sangat baik. Beliau memang kaya raya, tapi tidak pernah memandang rendah siapa pun. Jadi Ibu sama Mbak tenang saja.”
Ketika supir keluarga Daneswara berbicara dan memberi penjelasan, raut wajah tegang Denallie dan Lulu sedikit berkurang. Tidak mungkin laki-laki yang nampak seumuran dengan Lulu berbohong. Apalagi dari gelagatnya sangat polos dan sopan.
“Iya Pak, saya nggak mikir Pak Petra jahat Cuma agak minder sedikit,” ucap Denallie sopan.
“Saya yakin Ibu dan Mbak nyaman di rumah ini.”
Setelah mobil berhenti, Denallie dan Lulu dipersilakan turun. Tidak disangka kalau ternyata mereka sudah ditunggu oleh Petra serta Anne. Dua orang itu nampak senang melihat kedatangan Denallie dan Lulu.
“Selamat malam Bu Lulu dan Denallie,” sapa Petra.
“Selamat datang di rumah kami,” Anne menimpali.
Lulu membalas uluran tangan dari pemilik rumah. “Selamat malam Pak Petra dan Bu Anne, terima kasih atas undangan makan malamnya.”
“Sama-sama. Bagaimana kondisinya, sudah sehat?”
“Sudah Pak. Saya juga mau ngucapin terima kasih atas kebaikan Bapak bantu biaya rumah sakit. Saya benar-benar tidak enak dengan Pak Petra dan Ibu Anne,” ucap Lulu sungkan.
“Tidak masalah, kami justru senang bisa membantu.”
Lulu mengangguk dengan senyum terharu. Lantas, perhatiannya tertuju kepada istri dari Petra – Nyonya pemilik rumah. “Ibu Anne, saya senang sekali bisa bertemu dengan Anda.”
“Saya juga, Bu Lulu. Akhirnya bisa bertemu Anda. Dan …”
Denallie sadar sedang ditatap oleh Anne, langsung tersenyum dan mengulurkan tangan. Menyapa dengan sopan, layaknya saat diajarkan di panti.
“Halo Bu Anne, saya Denallie. Senang bisa bertemu Anda.”
“Saya juga senang karena bisa ketemu orang yang sudah menyelamatkan suami saya,” balas Anne senang.
“Mari masuk, kita bisa lanjutkan obrolan di dalam,” ajak Petra.
Denallie dan Lulu mengikuti si pemilik rumah dengan perasaan gugup. Rumah yang dari nampak depan sudah membuat dadaa bergetar, kini melihat bagaimana isi di dalamnya. Segala perabotan mewah namun nampak elegan, menjadi pajagangan yang cantik. Lantainya yang mengkilat, membuat kaki sungkan untuk melangkah.
“Silakan duduk Bu Lulu dan Dena,” ucap Anne.
“Terima kasih,” balas Lulu.
Percakapan dimulai dari membahas tentang kesehatan Lulu. Tidak lupa juga perkembangan panti dan keseriusan Petra menjadi donatur tetap. Petra dan Anne nampak sangat excited sehingga suasana menjadi nyaman. Sementara itu, diam-diam Dennallie memperhatikan keadaan sekitar. Ia masih takjub bisa masuk ke rumah semegang ini.
Hidangan pembuka sudah disajikan. Teh hangat yang aromanya menguar menenangkan perasaan. Aneka kue dan camilan lain juga tidak lupa ditata rapi. Melihatnya membuat wanita itu ingin membungkusnya lalu dibawa ke panti untuk dibagikan ke saudaranya.
“Malam ini kamu nggak kerja, Na?” tanya Petra tiba-tiba.
Denallie yang tidak siap diajak bicara, sedikit menujukkan ekspresi kaget. “Enggak, Pak. Malam ini saya libur.”
“Memangnya kamu kerja di mana, Dena?” tanya Anne.
“Saya kerja sebagai penyanyi di kafe, Bu Anne. Selain di kafe atau bar, saya juga ada job sebagai penyanyi di beberapa event,” jelas Denallie tanpa sungkan.
“Oh begitu, berarti suara kamu bagus, ya.”
Meski mungkin Cuma basa-basi, Denallie berusaha untuk tersenyum atas pujian Anne. “Cukup enak didengar, Bu.”
“Lain kali kalau ada acara, kita minta Denallie yang isi acaranya, Ma.”
Anne mengangguk dengnan senyum simpul khas wanita berkelas. “Iya Pa. Pasti acaranya jadi makin seru dan meriah.”
“Saya siap menghibur, Pak, Bu. Jangan sungkan kasih tahu saya,” balas Denallie.
Setelah berbincang singkat, Petra dan Anne mengajak tamu mereka menuju ruang makan. Di atas meja sudah dihidangkan aneka jenis makanan yang siap disantap oleh mereka. Lagi dan lagi Denallie dibuat terbelalak dengan menu mewah yang jarang ia makan. Malam ini, sepertinya ia akan mencicipi sumua yang ada di atas meja.
“Ma, coba telpon dulu. Dia sudah janji pulang lebih awal,” bisik Petra kepada istrinya.
Anne mengangguk pelan. “Iya Pa, biar Mama coba telpon.”
Wanita itu pergi meninggalkan meja makan untuk menelepon anak mereka yang belum datang. Makan malam ini cukup penting sehingga semua anggota keluarga diwajibkan untuk datang.
“Pak Petra lagi nunggu tamu yang lain?” tanya Lulu.
“Bukan tamu, Bu Lulu. Tapi saya lagi nunggu anak saya yang belum pulang. Harusnya dia ada di sini, turut mengucapkan terima kasih sama Denallie atas bantuan malam itu.”
“Pak Petra, nggak perlu diingat lagi soal itu. Ucapan terima kasih dan bantuan Pak Petra dan Bu Anne sudah sangat cukup. Kalau memang anaknya Pak Petra sibuk dan nggak bisa datang, saya nggak masalah, kok.”
“Nggak apa-apa, dia sudah janji mau pulang cepat. Kalau sedikit terlambat, mungkin pasiennya ada yang darurat.”
Tidak lama Anne kembali. Raut wajahnya nampak sedikit tegang menghampiri sang suami. “Katanya masih di jalan dan nggak usah ditunggu, jadi sebaiknya kita makan duluan.”
Petra menghela napas dengan raut wajah kecewa. “Anak itu, benar-benar mengecewakan,” gumamnya.
Denallie yang mendengar keluhan Petra, melirik Lulu dengan tatapan canggung. Merasa tidak enak karena membuat ayah dan anak harus bersitegang akibat kedatangan mereka.
“Putra kami masih di jalan dan katanya nggak usah ditunggu. Jadi mari kita mulai saja makan malamnya.”
“Apa enggak apa-apa, Bu Pak?” tanya Lulu tidak enak.
“Tidak apa-apa. Justru kami yang minta maaf sama kalian,” ujar Anne.
“Tidak masalah, Bu. Kami sangat mengerti kesibukan seorang dokter.”
Makan malam dimulai tanpa menunggu kedatangan Gentala. Situasinya cukup mencair, obrolan di ruang tamu kembali dilanjutkan di meja makam. Benar apa yang dikatakan oleh supir yang menjemput Denallie dan Lulu barusan, keluarga Daneswara memang sangat baik dan ramah. Padahal Denallie sempat cemas kalau keluarga ini sama seperti orang kaya pada umumnya. Selalu memamerkan kekayaan dan segala kekuasaan yang dimiliki. Tetapi keluarga ini justru membuat Denallie merasa hangat layaknya keluarga sendiri.
“Dena, nikmati semua menu yang ada di meja. Ini khusus untuk Dena dan Bu Lulu,” ucap Petra.
Denallie mengangguk malu dengan mulut penuh berisi makanan. “Iya Pak. Semuanya kelihatan enak, jadi saya pasti cicipi tanpa ada yang lewat.”
Anne terkekeh pelan melihat keluguan Denallie. Tidak tinggal diam, wanita itu mengambil sepotong ayam dan diletakkan di piring gadis itu. “Kalau ayam goreng kalasan ini saya yang buat. Coba cicipi, kamu pasti suka.”
“Terima kasih, Bu.”
Tentu saja Denallie semakin semangat memasukkan makanan demi makanan ke mulutnya. Kapan lagi bisa makan enak dengan tenang tanpa terbebani dengan harganya. Memang Jiro selalu mengajaknya makan enak, tapi ada rasa sungkan kalau makan dengan pacarnya itu.
“Ngomong-ngomong, Denallie sudah punya pacar?” tanya Petra tiba-tiba.
Pertanyaan itu cukup membuat Denallie kaget, tapi ia berusaha tetap tenang. “Itu, saya …”
“Selamat malam semuanya.”
Suasana menjadin hening saat mendengar suara yang sumbernya ada di belakang Denallie. Semua pandangan mengarah ke sana. Raut wajah Petra dan Anne nampak senang sekaligus lega. Itu sebabnya Denallie menebak orang yang datang adalah anak mereka.
“Akhirnya kamu pulang juga,” ucap Petra.
“Maaf saya terlambat,” ujarnya. “Padahal ada tamu penting, harusnya saya pulang lebih cepat. Sayang, ada pasien yang harus ditangani.”
Bulu kuduk Denallie meremang saat mendengar dengan jelas suara dari putra keluarga Daneswara. Apalagi suaranya begitu dekat, tepat di sebelahnya. Perlahan ia mengangkat wajah, memberanikan diri melihat sosok yang masih berdiri. Mata Denallie terbelalak saat tahu siapa anak dari Petra dan Anne.
“Perkenalkan, ini anak saya dengan mendiang istri saya yang pertama, namanya Gentala Daneswara. Dia bekerja sebagai dokter anak.”
Denallie langsung menutup mulutnya yang hampir menyemburkan makanan yang belum tertelan. Matanya sedikit berkunang-kunang dan jantungnya berdetak sangat kencang. Tubuhnya memanas dan lemas. Siapa sangka kalau dunia memang sesempit ini. Laki-laki yang berhasil memberi kesan buruk, justru kini ada di hadapannya. Rumah mewah ini ternyata milik laki-laki tampan bermulut tidak sopan. Dan ia harus bertemu dalam situasi yang sangat canggung.
“Hai, Denallie Anasera, senang bisa bertemu kamu,” ucap Gentala diiringi senyum manis namun mengintimidasi bak malaikat pencabut nyawa.