9. PERJODOHAN SEMPURNA

1814 Words
“Dena kok bengong? Disapa sama Dokter Gentala, balas dong,” bisik Lulu yang duduk tepat di sebelah Denallie. Denallie terkesiap dan buru-buru menelan makanan yang ada di mulutnya. Sekuat tenaga menahan diri agar tidak menyemburkannya. Raut wajah yang panik sekaligus bingung tidak bisa ditutupi lagi. Matanya masih menatap Gentala yang tengah menunggu balasan uluran tangan. Denallie pun berusaha menyunggingkan senyum, seakan baru pertama bertemu Gentala. “Ha – hallo Dokter Gentala, saya Denallie.” Sungguh Denallie tidak ingin berpura-pura tapi ia masih waras dan bersikap sopan. Bahkan panggilan aku yang pernah ia sebutkan saat bicara dengan Gentala harus diubah demi tidak memancing kecurigaan. Menyebalkan sekali bersikap baik pada laki-laki yang sudah membuatnya jengkel. “Panggil Gentala atau Genta saja,” ujar laki-laki itu ramah. “Akhirnya saya bisa ketemu orang yang sudah berhasil menyelamatkan nyawa Papa saya. Terima kasih, Denallie.” “Iya, sama-sama,” balas Denallie seadanya. Di dalam hati Denallie, terlontar banyak kalimat yang mungkin jika dikeluarkan secara langsung, bisa menggemparkan meja makan. Ia tidak habis pikir, Gentala mampu berpura-pura padahal yang menemukan dompetnya adalah orang ini. Fokus Gentala kini beralih kepada Ibu Panti. “Oh iya, selamat malam Bu Lulu. Maaf saya datang terlambat karena pekerjaan.” “Tidak apa-apa, Dokter. Sangat memaklumi pekerjaan Dokter pasti sangat menyita waktu. Tapi saya senang bisa bertemu dengan Anda.” “Bu, tolong panggil saya Gentala saja. Kalau di luar jam kerja, saya bukan dokter lagi,” ujarnya sambil terus mengulas senyum manis. “Baik nak Gentala.” “Genta, sebaiknya kamu cuci tangan dulu, setelah itu bergabung dengan kami,” ucap Anne. Laki-laki itu mengangguk. “Iya Tante.” Sebelum pergi, Gentala masih sempat-sempatnya melirik Denallie. Memberikan senyum yang tentu saja dipandang sebagai senyum setan yang membuat bulu kuduk merinding. Bayangannya tentang Gentala sungguh di luar kepala. Denallie merasa laki-laki itu berparas tampan namun hatinya tidak sebaik itu. “Kok bisa sih, model cowok kayak begini jadi dokter anak?” batinnya. “Sebenarnya kami punya dua anak. Saya dan istri sama-sama punya anak dari pernikahan sebelumnya. Yang satu tidak tinggal di sini dan malam ini juga tidak bisa pulang. Kalau dia bisa datang, pasti suasana makan malam akan lebih ramai,” ujar Petra. “Apa masih sekolah atau sudah bekerja?” “Sudah bekerja. Mungkin sebaya dengan Denallie,” jawab Anne. “Oh begitu. Ternyata bayangan saya tentang putra Bapak tidak melenceng. Persis seperti papa dan mamanya, sangat ramah dan sopan.” “Tapi kadang dia juga menyebalkan. Iya kan Ma?” Anne tersenyum lalu mengangguk. “Namanya juga anak laki-laki, memang sudah wataknya begitu.” Sementara itu, Denallie hanya diam. Berusaha mencerna situasi yang mengejutkan ini. Ia perlahan menoleh ke samping belakang, diam-diam melihat keberadaan Gentala. Sialnya, Gentala sudah berbalik arah menuju meja makan, sehingga Denallia tertangkap basah. “Mampus! Dia pasti kegeeran, mikir aku tertarik sama dia,” gerutunya dalam hati. “Gimana Denallie, anak saya cukup ganteng, kan?” “APA PAK?” Tanpa disadari suara Denallie meninggi. Semua yang ada di meja makan terkejut, kecuali Gentala. Laki-laki itu justru tidak bisa menahan senyumnya karena Denallie melakukan hal yang konyol. Sadar sudah membuat orang-orang salah paham atas reaksinya, Denallie berusaha meralatnya. “Maaf, saya agak kaget sama pertanyaan Pak Petra.” Petra terkekeh pelan. “Ada yang aneh ya sama pertanyaan saya?” “Enggak, Pak. Cuma giaman ya.” “Maaf ya Nak Dena, suami saya memang suka begitu. Ada saja hal ajaib yang ditanyakan.” “Oh, enggak kok. Saya …” “Denallie pasti akan jawab ganteng karena tanpa Papa tanya. Dia pasti sudah menilai begitu waktu lihat saya. Iya kan Denallie?” Tangan Denallie segera meraih gelas berisi air minum miliknya. Ia benar-benar muak dengan kepercayaan diri Gentala. Andai saja Petra tidak berjasa kepada panti, sudah pasti ia menyembur laki-laki itu dengan air. Tiba-tiba Petra tertawa hingga membuat Denallie bingung. “Denallie, jangan muak begitu. Anak saya memang suka bercanda.” “Sama seperti Papanya,” Anne menimpali. Denallie tersenyum canggung karena isi pikirannya bisa terbaca. “Iya, nggak masalah kok.” “Ya sudah, baiknya kita fokus menikmati makanannya. Kalau mau ngobrol lagi, bisa dilanjutkan nanti,” ujar Anne. Kehadiran Gentala membuat semua makanan di atas meja jadi terasa tidak enak. Selara makan Denallie menghilang padahal sebelumnya ia begitu semangat untuk mencicipi. Apalagi Gentala duduk tepat di hadapannya, hingga membuat Denallie tidak fokus. Sesekali kaki laki-laki itu menyentuh kaki miliknya, hingga Denallie terpaksa memberikan delikan tajam. Benar-benar makan malam yang luar biasa menguras emosi. Setelah makan malam selesai, Denallie bersama yang lain kembali ke ruang tamu. Di sana, tersaji beraneka ragam buah potong yang terlihat segar dan enak sebagai pencuci mulut. Sayang, Denallie tidak tertarik dan justru ingin segera pulang. “Denallie, terima kasih ya sudah temenin Ibu kamu datang ke sini. Saya dan istri benar-benar senang.” Denallie mengangguk sambil mengulas senyum ramah. Meski jengkel dengan putra dari keluarga Daneswara tapi Denallie sangat menghormati Petra dan Anne. Dua sosok berhati malaikat, yang sudah menyelamatkan masa depan adik-adiknya di panti. “Saya juga mau ngucapin terima kasih atas undangan makan malamnya, Pak, Bu. Menyambut kami dengan hangat dan ramah. Ditambah menu makan malamnya sangat banyak dan enak.” “Kamu bisa datang ke sini kapan pun kamu mau, Dena. Ajak juga saudara yang lain karena rumah ini lebih sering sepi,” ujar Anne. “Iya Bu Anne, terima kasih.” Tiba-tiba Petra berdeham pelan, lalu mengubah posisi duduknya yang awalnya santai menjadi serius. Meletakkan piring kecil yang digunakan untuk menempatkan beberapa buah. Semua mata pun sedang tertuju kepada laki-laki itu, menunggu apa yang akan diucapkan. “Denallie, tujuan saya mengundang kamu dan juga Ibu Lulu ke sini, selain untuk mengucapkan terima kasih, ada niat baik lain yang mau saya sampaikan.” “Apa itu Pak?” tanya Denallie. “Apa ini soal Pak Petra menjadi donatur untuk panti?” Laki-laki itu menggeleng pelan. “Soal itu sudah saya diskusikan dengan Bu Lulu dan juga asisten saya. Tapi yang saya maksud adalah saya mau menjodohkan kamu dengan dengan Gentala.” “HAH?” Denallie tidak bisa mengontrol diri. Ia masih berharap kalau telinganya salah dalam mendengar. Ruang tamu yang luas, mendadak terasa begitu sempit. Dadanya seolah sulit untuk mendapatkan oksigen. Sungguh, ia benar-benar ingin menghilang saat ini juga. “Maaf Pak Petra, apa maksud Anda mau menikahkan Denallie dengan Gentala?” tanya Lulu tidak kalah kaget. “Iya Bu Lulu. Ada banyak hal yang buat saya yakin kalau mereka berdua cocok. Maksudnya, kepribadian Dena sangat bisa mengimbangi Gentala. Apalagi sejak awal saya ketemu Dena, saya merasa dia anak yang baik, tidak neko-neko dan juga mandiri. Saya mau dia jadi menantu dari keluarga Daneswara. Menurut saya, ini adalah perjodohan yang sempurna,” jelas Petra. Lulu lantas menatap Denallie. “Gimana Dena?” Denallie menggeleng dengan wajah panik. “Pak Petra, saya tahu niat Bapak sangat baik. Tapi ini nggak bisa saya terima. Saya nggak bisa nikah sama orang yang nggak saya kenal. Lagi pula saya punya pacar, Pak. Jadi sekarang juga saya kasih tahu jawabannya, saya nggak mau.” Suasana menjadi hening dan pandangan mata mengarah kepada Denallie. Tidak terkecuali Gentala yang duduk santai dengan senyum tipis tanpa merasa kaget atas apa yang diutarakan oleh gadis itu. “Maaf Pak Petra dan juga Bu Anne, kalau omongan saya nggak sopan,” ucap Denallie lagi. Terdengar Petra menghela napas diiringi gelengan pelan. “Tidak usah minta maaf, kamu punya hak untuk mengeluarkan pendapat,” ujarnya. “Sayang ya, kamu sudah ada pacar. Tapi nggak apa-apa. Kalau misalnya nanti kamu berubah pikiran, silakan kasih tahu saya.” “Apa Gentala setuju dengan niat Pak Petra?” tanya Lulu dengan raut wajah khawatir. “Gimana Genta?” tanya Petra kepada putranya. Gentala menghela napas lalu mengangkat bahunya dengan santai. “Saya nggak ada masalah. Tapi kalau Dena punya pacar dan tetap pendirian, ya mau gimana lagi.” “Saya sangat sayang dan juga cinta sama pacar saya. Jadi sampai kapan pun, keputusan saya nggak akan berubah.” “Pasti kamu kaget dan susah berpikir jernih. Nak Dena sebaiknya ambil waktu dulu untuk berpikir,” ucap Anne. “Apa kalian sudah lama pacaran?” Seketika Denallie tidak bisa menahan diri agar tidak menggeleng. “Baru beberapa bulan tapi …” “Nah itu, hubungan kamu pasti masih belum stabil. Saya kasih kamu waktu untuk memutuskan jawabannya.” Denallie benar-benar benci malam ini. Ia seakan tidak henti-hentinya menerima kejutan. Keingianan yang Petra dan Anne seperti sebuah pemaksaan karena penolakannya tidak dihormati. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang asing yang memberi kesan pertama sangat buruk. Denallie tidak mau mengkhianati Jiro karena ia sangat mencintai laki-laki itu. “Sampai kapan pun, jawabannya enggak!” gumam Denallie di dalam toilet. Tangan Denallie dengan cepat membuka pintu agar bisa menyusul Lulu karena mereka akan pulang. Lulu sangat mengerti posisinya sehingga tidak lama setelah pembicaraan serius, meminta izin untuk pulang ke panti. Dan inilah yang Denallie tunggu-tunggu sejak tadi, keluar dari mimpi buruk yang pasti akan terus mengikutinya. “Astaga!” Denallie melonjak kaget saat mendapati Gentala berdiri tepat di depan toilet. Melihat raut wajah tidak bersalah, memancing gadis itu bersikap ketus. “Ngapain kamu di sini?” tanya Denallie galak. “Apa ada larangan? Ini rumah orang tua saya,” jawabnya santai. Kedua mata Denallie menyipit, menatap Gentala tajam. “Ya aku tahu. Tapi bisa nggak jangan bikin kaget, nggak sopan!” Bukannya tersinggung atau gentar, Gentala justru melangkah maju hingga membuat Denallie berjalan mundur. Tujuannya adalah menghimpit tubuh Denallie diantara pintu toilet. Satu tangannya terangkat, bersandar pada pintu hingga mengunci posisi gadis itu. Matanya fokus menatap dalam keadaan wajah begitu dekat. “Mau apa kamu? Jangan macam-macam ya, aku bisa teriak sekarang juga!” ancam Denallie. “Saya penasaran kenapa kamu nggak pernah suka lihat saya?” “Jawabannya mudah karena kamu nggak sopan.” “Oh begitu. Jadi kamu nolak dijodohin sama saya karena saya nggak sopan?” “Itu alasan kesekian karena alasan utamanya adalah aku sudah punya pacar yang jauh lebih baik dari kamu.” Gentala tidak gentar. Satu tangannya segera mengapit dagu Denallie hingga posisinya benar-benar sangat dekat. Matanya tajam menatap seakan mengintimidasi gadis di depannya. “Saya jadi penasaran, sebaik apa pacar kamu? Apa dia lebih baik dari saya, atau justru sebaliknya.” Denallie mengambil kesempatan dengan segera mendorong tubuh Gentala hingga ia terbebas dari kungkungan laki-laki itu. Dadanya naik turun dengan wajah memerah, menahan emosi yang memuncak. “Nggak usah pensaran karena dia jauh lebih baik dari kamu. Kamu nggak ada apa-apanya, Gentala. Jadi sebaiknya kamu juga tolak perjodohan yang dikatakan sempurna sama Pak Petra dan Bu Anne!” Setelah mengatakan isi hatinya, Denallie pergi dari hadapan Gentala. Sementara itu, Gentala hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia tidak menyangka Denallie begitu menarik saat marah dan terdesak. Dan yang lebih mengejutkan, baru gadis itu yang berani menolak pesonanya. “Saya akui, kamu memang berani. Tapi kamu akan tahu akibatnya karena kamu berani membandingkan saya dengan pacar kamu itu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD