Rembulan masih setia bertengger di langit malam ketika Azzam terdiam dalam kepasrahan.
Kegundahan hatinya tidak dapat ia sembunyikan.
Apa yang akan terjadi bila Umminya tahu?
Apa yang akan terjadi bila tetangganya tahu?
Apa yang akan terjadi bila keluarga Era tahu?
Azzam terus berpikir sementara Era dibiarkan menangis sendirian.
Azzam berdiri di ujung jendela kamar hotel. Kaca besar itu membuat ia lebih leluasa memandang ke luar.
Melihat semua kejadian alam dari tempatnya berdiri.
"Aku harus menghubungi Ummi, mengatakan bahwa kami tidak bisa pulang sekarang. Ummi pasti resah menunggu kami datang. Aku perlu waktu untuk bicara dengan Era tentang kehamilannya. " Azzam berbicara sendiri kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Azzam menekan sepuluh digit angka di layar ponselnya. Sekali, dua kali, tiga kali berdering kemudian terdengar suara seseorang.
"Assalamualaikum, Um. "
"Waalaikumsalam, bagaimana keadaan Era ?"
"Um.... " Azzam sengaja memberi jeda dari kalimatnya.
"Iya, ada apa? "
"Era harus opname malam ini, Um. "
"Astagfirullah... Opname dimana? Era sakit apa? "
"Sepertinya lambung, Um. Tapi masih diobservasi. Sudah dulu ya, Um. Azzam dipanggil dokter nanti kita berbincang lewat WA saja ya, Um. "
"Ya Allah, iya nak... Kamu jaga Era baik-baik ya, kamu beri kabar pada Ummi, tolong ya. "
"Iya, Um.. Paati aku berkabar. "
Azzam menutup telepon, ia tidak ingin membuat Umminya bertanya lebih banyak lagi. Malam ini Azzam bertekat menuntaskan semua tanya yang membelenggu hatinya. Ia harus menyelesaikan semuanya tidak boleh tidak. Semakin cepat diatasi maka semua akan semakin cepat selesai. Bayi itu kian hari pasti kian membesar dan sebelum membesar ia harus punya bapak. Harus!
"Era, duduklah, aku ingin bicara. " Panggil Azzam pada Era yang sedang sesenggukan menangis sambil tengkurap di atas ranjang.
"Era... "
"Era... " Sudah tiga kali Era memanggil namun tetap tak ada jawaban
"Era.. Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan menangis. Aku mohon. "
Azzam menyentuh bahu Era kemudian memintanya untuk duduk. Era mengikuti perintah Azzam. Wajahnya bersimbah air mata, mukanya memerah, tangisnya pecah, bibir mungilnya ia gigit kuat-kuat.
Azzam menatap wajah itu dengan iba.
"Apakah ini perbuatan Abiku? " Tanya Azzam dengan segera. Azzam hanya punya satu orang yang bisa jadi terdakwa saat ini.
Era masih menangis sedangkan Azzam begitu butuh jawaban.
"Era... Perbuatan Abiku kah? " Azzam bicara sambil mengguncang-guncangkan bahu Era. Ia merasa tidak sabar lagi.
Sikap Azzam yang mulai kasar itu membuat Era berteriak kencang.
"Iya, iya, iya, ini perbuatan Abi kak Azzam. Iyaaaa. "
Era berteriak sambil mengacak-acak rambutnya seperti orang gila. Kemudian lunglai begitu saja.
Hati Azzam bergemuruh.. Anak mana yang tidak akan kecewa mempunyai orang tua seperti Bagas. Azzam ingin sekali menghunus pisau dan menancapkannya di tubuh abinya, mencincang habis tubuh lelaki yang selama ini ia anggap baik, lelaki yang mestinya jadi panutan hudupnya. Azzam ingin sekali mengoyak perutnya hingga habis kemudian mengurai ususny keluar agar habis semua kecewanya.
Abinya sudah berada di luar batas. Azzam bingung, kapan perbuatan keji ini berhasil abinya lakukan. Era masih pingsan dan Azzam hanya menidurkannya di atas ranjang tanpa sedikitpun berusaha menyadarkannya. Azzam bingung harus berbuat apa saat ini.
Azzam berdiri, ia ingin meninggalkan Era sendiri tetapi jemari Era mencegahnya, tubuh lemah gadis itu memberi isarat ia ingin mengatakan sesuatu.
"Jangan pergi... " pintanya, aku akan menceritakan semuanya."
Azzam melihat gadis manis yang dulu demikian meruntuhkan hatinya.
Azzam ingin sekali mencoba memahaminya tapi sangat berat. Hingga ia memilih duduk dan bersimpuh di ujung ranjang.
"Ceritakanlah... "
"Abi memasuki kamarku siang itu, sepulang sekolah, saat kak Azzam dan Ummi tidak di rumah. Adik-adik bermain gadget di rumah tetangga. Abi memaksaku melakukannya, aku sudah menolak, aku sudah meronta namun Abi terlalu kuat untukku. " Era diam, ia menghela nafas panjang.
"Abi sering mengancamku akan mengatakan bahwa aku sudah tidak perawan sejak Abi meniduriku aku bingung sekali. "
"Kejadian itu terjadi hingga tiga kali, aku sakit, sakit sekali, setiap Abi meniduriku ada yang terasa menyobek kemaluanku. Setelah itu aku selalu menghindar setiap Abi mendekatiku. Aku sangat takut."
Era menangis, Azzam marah, luapan lahar kebencian tidak mampu ia redam hingga hatinya menjadi seperti terkoyak palu godam.
Era menjatuhkan kepala di d**a Azzam, Azzam terdiam, kaku tanpa kekuatan. Mengapa kejadian ini terjadi padanya? Mengapa harus terjadi pada keluarganya? Mengapa mesti Era? Bukankah Abinya tahu bahwa Era adalah tujuan masa depannya. Azzam berdiri, ia menendang bangku yang dibiarkan berada di kamar itu. Suaranya sangat keras membuat Era tertegun dan merasa bingung. Mereka berdua dalam kebingungan yang sama.
Era menutup wajahnya dengan tangannya lalu berujar.
"Bila kak Azzam marah padaku lalu aku harus apa? Kita cari orang yang bisa menggugurkan kandunganku, Kak. Aku mohon tolong aku. Aku mohon kak. " Era terus menghiba seperti orang gila hingga Azzam mendekapnya. Era tidak bersalah, jadi untuk apa Azzam menghukumnya. Wajah mungil itu tenggelam di dalam pelukan Azzam kakak kelasnya. Mimpi dan harapannya hancur seketika.
Azzam masih ingat ketika Era bicara..
"Aku ingin sekolah kak Azzam, aku ingin bisa membuat kakak bangga. "
Kini kalimat itu hanya mimpi. Azzam tak mampu memenuhi keinginannya. Azzam merasa sangat bersalah telah membawa Era ke rumahnya.
Azzam terus memeluk gadis itu hingga mereka berdua terlelap karena lelah.