BERJUMPA ARUM DALAM BINCANG PANJANG

1319 Words
Langit sudah tak menitikkan air hujan lagi karena masanya telah habis, musim hujan telah berganti kemarau. Begitu juga dengan hidup manusia semua ada masanya. Tak mungkin Tuhan memberikan duka yang berkepanjangan dan terus menerus. Bukankah Tuhan itu Maha baik ? Dan itulah yang terjadi, langit di Kotabaru Kalimantan selatan memang teduh namun teduhnya tak membawa titik hujan yang mengalirkan air hingga membuat basah. Teduhnya langit saat ini karena ingin memberikan damai pada semua hati yang berbakti pada illahi. Arum mengenal Zakiyah karena Zakiyah adalah tetangganya di komplek ini. Orang tua Zakiyah adalah penduduk asli di sini. Mereka sering bertatap muka dan saling bertegur sapa namun mereka sama-sama sibuk hingga tak ada yang mereka katakan selain ‘say hello’ saja. Zakiyah tinggal di Banjarmasin mendekati tempat kerjanya dan Arum bermukim di perumahan yang sama dengan orang tua Zakiyah. Beberapa kali Zakiyah dan Arum sempat berbincang pendek dan bertukar nomer w******p. Beberapa kali mereka saling membagi kekuatan dan berkirim kalimat motivasi. Dari situ Arum tahu bahwa Zakiyah wanita yang baik dan berpendidikan dan dari situ juga Zakiyah tahu bahwa Arum bukan wanita sembarangan. Mereka menjadi kian dekat seperti seorang sahabat meski mereka tidak pernah ke mall bersama atau nongkrong di cafe berdua namun hati mereka saling terikat. Zakiyah menjadi tempat curhat pada patahan-patahan harapannya karena Arum percaya Zakiyah punya ilmunya. Arum tidak mau berbicara pada sembarangan orang tentang masalah rumah tangganya terlebih ketika harus bicara di media sosial. Arum tidak akan pernah mau melakukan itu. Karena baginya keburukan rumah tangga adalah aib dan ia wajib menutupinya rapat-rapat. Boleh dikisahkan hanya pada orang yang faham ilmunya dan hanya untuk mencari pemecahan masalah, bukan untuk mengumbar perasaan. Karena pernikahan adalah musuh syaitan Sebab di dalam pernikahan semuanya berisi amal dan kebaikan. Melayani suami bernilai kebaikan, melayani anak-anak juga kebaikan, menyiapkan kebutuhan suami dan anak-anak pun bernilai kebaikan bahkan tertidur karena lelah seharian pun bernilai kebaikan dalam pernikahan. “Assalamualaikum..” Sapa Zakiyah pada wanita anggun yang sedang duduk di meja bundar cafe yang sengaja mereka pilih untuk berbincang hari ini. Ini pertama kalinya mereka bertemu dalam bincang panjang yang telah mereka agendakan berhari-hari yang lalu. “Waalaikumsalam, Zakiyah ?” “Iya mbak.” “MasyaAllah.” “Aku senang kita bisa berjumpa.” “Aku juga sangat bahagia mbak.” “Duduklah..” Zakizah duduk di depan Arum matanya sesekali mencuri pandang pada wanita di hadapannya yang tiba-tiba menjadi idolanya ini. Ia merasa kagum pada kebaikan dan kesabaran saudaranya seiman ini. “Zakiyah mau makan apa ? Kali ini mbak yang traktir.” Suara Arum dengan mata berbinar. Zakiyah wanita yang tak kalah cantik itu tertawa sedikit bersuara ketika mendengar apa yang diucapkan Arum. Ia tahu Arum tidak bercanda namun kalimat itu terdengar manis sekali di telinganya. “Aku es jeruk dengan sosis bakar saja mbak.” “Hmmm jauh-jauh dari Banjarmasin hanya pesan sosis bakar ?” “Lalu aku harus pesan apa, Mbak ?” “Di sini ada soto Banjar enak sekali.” Arum menjelaskan menu di cafe yang mereka pilih. “Soto Banjar...wow, boleh juga mbak.” “Oke mbak pesankan ya.” Zakiyah mengangguk sambil tetap mengembang senyum. Entah mengapa ia bahagia tidak terkira bertemu wanita berwajah surga yang sedang duduk di hadapannya. Wanita yang selalu menginspirasi hari-harinya untuk terus menjadi soliha. Dan wanita yang tetiba mengisi hatinya. Wanita tangguh yang tetap memilih berjuang menjaga kehormatan keluarganya meskipun ia sangat sakit. “Mbak, kabar mas Bagas bagaimana ?” zakiyah mengulum senyum sambil dua tangannya menopang dagu. Arum juga membalas senyum yang sama, Arum tahu pasti itu yang ingin ditanyakan oleh Zakiyah. “Alhamdulillah, kodisinya sudah semakin baik.” Jawab Arum singkat. Perbincangan mereka terjeda dengan kedatangan soto Banjar dan minuman dingin yang mereka pesan. Mereka mulai menghabiskan makanan yang terhidang. Mereka menikmati Soto Banjar tanpa berbincang hingga makanan merekapun habis. “Alhamdulillah ya mbak.” Arum mengangguk sambil mengusap bekas soto di ujung bibirnya. “Cintanya masih tetap indah kan ?” “Subhanallah Zakiyah, jangan kau tanyakan lagi tentang cinta itu. Ia harus tetap kokoh di sini.” Arum menunjuk d**a kirinya. Zakiyah menggeleng. “Kalau aku tak mampu berada di posisimu, Mbak.” “Karena memang jalan ini ditulis Allah untukku bukan untukmu jadi mungkin hanya aku yang kuat melaluinya.” “Hebat.” Zakiyah mengacungkan jempol dua di depan wajah Arum. Arum terkekeh kecil. Wajahnya tampak sumringah. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? “ Mereka berdua mengutip ayat Allah nyaris bersamaan. “semoga aku mampu melaluinya.” Arum bicara sambil menerawang seolah ia sedang melihat beban yang menggunung itu berterbangan di depan matanya. Zakiyah diam membiarkan Arum menikmati lamunannya. “Mas Hendrik dimana sekarang mbak ?” Arum mengerjap-ngerjapkan matanya. Pipinya merona merah. Entah kenapa hatinya tiba-tiba berdetak saat Zakiyah mengucapkan nama itu. Ada gemuruh yang menderu mengejar-ngejar rasa hatinya sendiri. “Aku lama sekali tidak menghubunginya sejak aku memutuskan memilih setia pada rumah tanggaku. Kamu mengapa begitu ingat pada semua ceritaku ?” Tanya Arum pada Zakiyah. “Seorang sahabat yang baik tidak akan melupakan kepedihan sahabatnya, Mbak.” Tangkis Zakiyah cerdas. “Mas Hendrik juga tidak pernah sekedar menyapa dalam waktu yang panjang ini ?” zakiyah mencoba mengorek penjelasan dari bibir Arum. “Tidak.” Arum menerawang lagi dan Zakiyah memakluminya. “Mungkin ia telah melupakan semua kejadian buruk saat kami bersama dulu ya....” Arum menambahkan kalimat seolah ia sedang bicara sendiri. “Mbak pernah merindukan mas Hendrik ?” Arum diam... Zakiyah pun diam... “Pernah, sering bahkan. Sejak dia pergi aku jadi kehilangan teman... beruntung Allah mengirim kamu hingga aku punya tempat untuk saling berbincang. Aku merindukannya namun aku juga berusaha menghapus rinduku padanya. Hingga yang bisa ku lakukan adalah melangitkan doaku pada Tuhan. Ku sampaikan rinduku padaNya. Biar Allah yang menata hatiku. Aku tidak punya kuasa apapun atas itu.” Arum menghela nafas panjang. Zakiyah pun diam, ia meraskan apa yang dirasakan Arum saat ini. Berat sekali memang, ketika kita harus kehilangan seseorang yang kita anggap baik dan tanpa kita sadari telah merajai hati. Butuh kekuatan iman untuk melakukan itu. Mereka meneruskan banyak sekali perbincangan hari itu. Bagi zakiyah ini adalah saat paling indah. Bisa berbicara dan berjumpa dengan idola. Bisa meresapi semua kalimatnya. Bisa merasakan kepedihannya dan bisa merasakan semua buah manis dari kalimatnya. Hingga hari beranjak siang Arum harus pulang. Ada suami dan anak-anak yang menunggu di rumah. “Hari sudah siang, Dik.” “Iya, mbak mau pulang ?” Arum mengangguk. “Baiklah kalau begitu biar aku yang antarkan mbak rumah kita kan satu komplek.” Zakiyah berdiri menuju kasir untuk membayar semua pesanan yang tadi mereka nikmati. “Lho dik, bukannya aku yang tadi janji membayar.” Tanya Arum pada Zakiyah. “Aku saja yang membayar mbak.” Zakiyah berlalu sambil mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya. Zakiyah wanita bergelar magister itu memang luar biasa mempesona. Cantik, imut, single parent sukses. Usai suaminya meninggal dunia ia tidak ingin memulai hidup baru dengan lelaki lain. Jawabannya lugas ketika ditanya mengapa tak menikah lagi. ‘Aku ingin bersama suamiku di surga kelak.’ Ia adalah seorang penulis dengan banyak karya yang sudah beredar ke beberapa platform berbayar. Mobil mewah juga beberapa usaha telah ia tekuni dan ia telah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Memasuki mobil Zakiyah yang wangi Arum tersenyum sambil bertanya. “Kisahku jadi kau tulis dalam jajaran novelmu ?” Zakiyah tersedak ditanya seperti itu. Ia tertawa agak keras kali ini. Ia mengangguk. “Maksudmu ?” “Jadi mbak, aku ingin sekali menyuarakan kisahmu agar menginspirasi banyak wanita di luar sana untuk mempertahankan rumah tangganya. Agar mereka tidak menyerah kalah pada wanita baru yang tiba-tiba datang dan menarik perhatian.” “MasyaAllah, lalu sekarang sampai bab berapa ?” “Sudah tamnat.” “Oh iya ?” “Yup, dan sekarang sudah masuk lanjutannya, maksudnya seri ke dua.” “Oalah...” Suara Arum dengan logat Jawanya. “Mbak ga pa pa, kan ?” “Gak pa pa.” Balas Arum tegas. “Selama niatnya baik aku ikhlas.” Arum menambahkan lagi. Mereka kembali tersenyum bersamaan. Hingga komplek rumah mereka pun nampak di depan mata. “Dik aku hampir smapai, terimakasih ya sudah mentraktirku.” “Terimakasih juga mbak untuk kisahmu, nanti rizqynya akan ku bagi untuk mu.” “Ah, sudahlah. Doakan saja aku jadi wanita yang kuat melewati semua takdir dari Allah ya.” “InsyaAllah.” “Menjadi wanita surga.” Mereka berdua saling pandang. Kemudian mobil itupun sampai di depan rumah Arum. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, bahagia selalu ya mbak.” “Aamiin... doa yang sama untukmu juga.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD