Saat ini, Revano sedang berada di ruang kerja Gavin. Sahabatnya itu sedang memberi tahukan garis besar apa – apa saja yang harus dikerjakan oleh Revano selama bekerja sebagai Accounting Manager di perusahaan tempat mereka bekerja. Seperti biasa, Revano selalu dengan cepat mengerti dengan apa yang diajarkan padanya. Hal itu membuat Gavin merasa senang sekaligus tenang posisinya digantikan oleh seseorang yang sangat tepat.
“Kayaknya gue perlu ke site deh,” ujar Revano setelah Gavin selesai menyampaikan apa – apa saja yang menjadi tanggung jawab Revano.
“Gesit sekali Bapak Revano sudah mau ke site saja,” balas Gavin seraya terkekeh.
“Ya iyalah. Gue kan harus tau kondisi sebenarnya dari apa yang gue kerjakan.”
Gavin segera memeriksa agendanya guna menentukan waktu yang tepat untuk mereka pergi ke lahan perkebunan kelapa sawit milik Djojodiningrat Corporation itu.
“Oke oke. Kita bisa berangkat tiga minggu lagi, gimana?” tanya Gavin setelah menemukan bahwa tiga minggu lagi ia tidak sibuk dan bisa menemani Revano ke site.
“Sip. Eh, gue ajak Bella, ya.”
“Bella?”
“Iya. Staff gue.”
“Hah? Untuk apa?”
“Ya untuk apa kek. Itungin buah kelapa sawitnya kek atau itungin apalah gitu.”
Gavin terkekeh seraya memandangi Revano. Ia yakin telah terjadi sesuatu antara sahabatnya itu dengan pegawainya.
“Ada apa sih sama lo dan Bella?”
“Gak ada apa – apa.”
“Yakin?”
“Yakin. Dia kan adik iparnya kakak sepupu gue. Gak mungkinlah gue jahatin dia. Gue mau ajak dia jalan – jalan ke Riau. Siapa tau nemu jodoh di sana.”
“Hah? Lo mau bantuin dia cari jodoh? Lah lo aja jomblo!”
“Eh, jangan sombong. Lo juga jomblo, Nyet!”
Gavin pun tertawa setelah mendengar celotehan sahabatnya tersebut.
***
Revano tampak keluar dari dalam ruang kerja Gavin seraya membawa laptopnya. Bella yang tanpa sengaja menatapnya pun segera mengalihkan pandangannya dan menatap layar laptop dengan kesal. Matanya telah ternodai dengan pemandangan menyebalkan. Sementara itu, Revano yang menyadari tatapan Bella pun tampak menyeringai.
‘Oh, jadi dia mau main – main sama gue. Oke. Siapa takut?’ ujar Revano membatin dengan seringai liciknya.
Revano berjalan menuju meja kerjanya dan menyempatkan diri menepuk pundak Bella. Tubuh Bella sontak menegang setelah ditepuk seperti itu. Ia menolehkan wajahnya untuk menatap Revano. Tiba – tiba saja Revano menunjukkan seringainya pada Bella bagaikan vampir yang ingin menerkam lehernya. Bella pun menunjukkan seringai kudanya untuk menunjukkan kekhawatirannya.
“Tenang, Bella. It’s gonna be fun,” bisik Revano di telinga Bella yang membuat bulu kuduk Bella berdiri tegak karena gadis itu yakin pria terkutuknya akan membuat hidupnya di kantor itu menderita. Revano pun kembali menunjukkan seringainya pada Bella lalu menegakkan tubuhnya. Ia kembali menepuk – nepuk pundak Bella. “Saya tau saya ganteng, tapi kamu gak perlu lihatin saya terus. Kerja yang bener, ya,” ujar Revano dengan sengaja tidak berbisik lagi agar suaranya terdengar oleh timnya. Usaha Revano berhasil. Semua rekan kerja mereka di tim Accounting itu terkekeh seraya memandangi Bella yang melongo karena sikap Revano.
Setelah puas mengganggu Bella, Revano mendarat di kursi meja kerjanya. Ia kembali menatap Bella yang juga sedang memandanginya. Bella tampak mengerucutkan bibirnya dan mulutnya komat – kamit. Revano pun cekikikan. Batin pria itu merasa sangat puas telah membuat wanita yang mendengus kesal padanya pada perjamuan makan siang kemarin kini kembali merasa kesal padanya.
‘Sial sial sial! Udah Gavin pindah ruangan, sekarang malah ada makhluk terkutuk itu di sini!’ ujar Bella meronta dalam batinnya.
***
Jam istirahat makan siang, Bella dan kawan – kawannya berkumpul di pantry. Hari itu mereka janjian memesan sop iga di restoran dekat kantor mereka.
“Eh, gimana bos baru?” tanya Dini, salah satu anggota tim General Affair.
“Tanya noh sama kak Bella. Sohibnya,” ujar Tita.
“Hah? Manager baru lo itu temen lo, Bel?” tanya Dini yang membuat Bella mendengus kesal.
“Enak aje! Ogah gue berteman sama orang songong kayak dia,” balas Bella.
“Lo kenapa sih sama si Revano itu? Kenal di mana? Kayaknya dendam banget lo sama dia,” ujar Ajeng.
“Revano itu adik sepupunya suami si Gisel,” jawab Bella.
“Wah, enak dong lu. Aman di Performance Feedback nanti,” celetuk Dini.
“Apanya yang enak? Yang ada makin gawat!” balas Bella kemudian menggigit daging iga dengan ganas.
“Ya enaklah. Gak mungkin si Revano itu berani ngasih nilai jelek,” balas Dini.
“Belum tentu. Di depan keluarga aja dia berani ngeremehin gue, apalagi cuma di kantor,” ujar Bella.
“Gak boleh gitu, Bel. Jangan berprasangka buruk sama orang lain. Gak baek,” ujar Ajeng.
Bella pun menghela napasnya. Ia menganggap rekan – rekan kerjanya itu tidak mengerti bagaimana perasaannya. Sudahlah, nanti mereka juga akan tahu bagaimana terkutuknya pria tampan dari New York itu, pikir Bella.
“Eh, denger – denger doi baru balik dari New York, ya?” tanya Dini lagi.
“Iya. Dia dulu kuliah S2 di Boston, terus keterima kerja di XYZ Amerika,” jawab Ajeng.
“XYZ Amerika? Bukan orang! Belum nikah, kan?” tanya Dini dengan kedua mata bersinar terang.
“Belum. Kenape?” tanya Ajeng.
“Wah, kudu siap – siap nih gue. Jodoh gue udah dateng,” balas Dini yang membuat Bella mendengus kesal, Ajeng cekikikan dan Tita melongo.
***
Venita baru saja tiba di rumah indekosnya setelah menumpangi ojek online. Buru – buru ia masuk ke dalam kamar kosnya setelah ponselnya berdering. Sahabat terbaiknya sedang membutuhkannya. Sejak siang tadi Bella mengiriminya pesan singkat bahwa ia sedang ketiban sial dan membutuhkan teman curhat.
“Ada apa, Belski?” tanya Venita saat menjawab panggilan telepon dari Bella seraya meletakkan tasnya di atas meja.
“Veni! Gue kesel!” jawab Bella yang sudah beberapa menit lalu mendarat di ranjang kamar tidurnya setelah tiba di rumah.
“Kesel kenapa?” tanya Venita lagi yang kini sudah berbaring di atas ranjang kamar kosnya.
“Lo tau gak sih, si Revano yang nyebelin itu kerja di kantor gue!”
“Lah, kok bisa?” tanya Venita dengan kedua matanya yang terbelalak. Tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Bella.
“Dia yang gantiin Gavin jadi Manager di tim gue! Huaa Veni.. hidup gue gimana dong?”
“Ya udah, jalanin aja dulu. Kan belum kenal banget. Siapa tau orangnya baik.”
“Dih, males!”
“Siapa tau dia jodoh lo.”
“Ogah! Amit – amit! Lo tuh udah dua kali ya ngomong kayak gitu. Kayaknya lo gak mendukung gue sama Gavin, deh.”
“Ya bukannya gitu, Bel. Lo kan udah empat tahun suka sama si Gavin, tapi gak ada kemajuan, ya untuk apa diharap? Lebih baik, lo berharap sama hal yang udah pasti.”
“Pasti bikin gue kesel? Pasti bikin gue mati berdiri?”
“Pasti dia jodoh lo.”
“Veni!!!”
***
Setelah satu minggu bekerja di Djojodiningrat Palm Oil Group, Revano mengumpulkan semua anggota timnya di ruang rapat.
“Pagi semua.”
“Pagi.”
“Oke, saya langsung mulai saja, ya, biar kita cepat balik kerja. Dua minggu lagi, saya, Gavin dan Ajeng akan mengunjungi site kita di Riau,” ujar Revano dengan serius lalu ia menoleh untuk mentap Bella yang sedari tadi hanya mencoret – coret buku catatannya untuk menghilangkan rasa bosan. “Bella juga ikut.”
“Apa?” ujar Bella yang tidak menyangka namanya akan disebut sebagai peserta dinas.
“Bella ikut juga, Mas?” tanya Ajeng yang terheran – heran mengenai apa gunanya jika Bella ikut dalam dinas tersebut karena selama ini staff tidak pernah diajak berkunjung ke site perkebunan kelapa sawit perusahaan tempat mereka bekerja itu.
“Iya. Nanti siapa yang akan hitung pohon dan buah yang ada di pohon kelapa sawitnya kalau Bella gak ikut?” ujar Revano seraya menunjukkan seringainya pada Bella.
“Hitung buah di pohon kelapa sawit?” tanya Bella dengan polos.
“Iya. Kita harus stock opname. Hitung satu per satu pohon dan buahnya. Untuk memastikan perhitungan orang perkebunan tidak salah dengan perhitungan kita,” jawab Revano dengan santai.
“Satu per satu?!” ujar Bella setengah histeris yang membuat para peserta rapat terkekeh seraya memandanginya.
“Iya. Kenapa? Ada masalah?” tanya Revano dengan mencoba bersikap tenang padahal di dalam hatinya ia bersorak kegirangan melihat Bella sedang kebakaran jenggot.
Bella tampak ternganga memandangi Revano, sedangkan Panji dan Tita diam – diam menahan suara tawanya agar tidak meledak.
“K-Kenapa saya? Kan ada Tita, ada Panji,” tanya Bella lagi yang membuat Tita dan Panji merengut.
“Tita kan lagi hamil, Bel. Sebentar lagi dia cuti lho. Panji juga harus jaga kandang. Ya, kan?” ujar Revano yang membuat Panji dan Tita menganggukkan kepala dengan semangat.
“Oke, selamat bersenang – senang di kebun ya, Bella,” sambung Revano dengan seringainya yang menyebalkan.
Sesuai saran Venita, Bella tetap tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia masih harus berjuang untuk mendapatkan Gavin. Oleh sebab itu, ia harus tegar berperang melawan manusia terkutuk itu. Lagipula, Gavin juga akan ikut ke Riau. Membayangkan bisa jalan – jalan bersama Gavin tentulah amat menyenangkan. Bahkan, ia sudah berencana akan memasukkan obat tidur ke dalam minuman Revano agar pria itu tidak mengganggu kencannya dengan Gavin.
***
“Veni!!!” ujar Bella seraya terisak di sambungan telepon ketika ia baru saja pulang ke rumah dan mendarat di ranjang kamar tidurnya.
“Lo kenapa lagi, Bel?” tanya Venita yang menjawab panggilan telepon dari Bella melalui speaker ponselnya seraya mengaplikasikan krim malam di wajahnya.
“Revano,” jawab Bella dengan menyebut nama pria itu dengan rengekan.
Venita pun menghela napasnya. “Ada apa lagi?”
“Masa dia nyuruh gue ke Riau buat ngitungin pohon dan buah kelapa sawit yang ada di pohon – pohon itu!”
Tawa Venita pun meledak di seberang sana. Isak tangis Bella pun semakin menjadi – jadi karena ternyata sahabatnya itu pun tak mengerti bagaimana tersiksanya perasaannya saat ini.
“Ya ampun, Bella. Untuk apa lo ngitungin pohon kelapa sawit?”
“Kayaknya si Revano mau bunuh gue pelan – pelan deh.”
“Lo sama siapa aja ke sana?”
“Ya sama si manusia terkutuk itu!”
“Cuma berdua? Wah, hati – hati, Bel. Jangan – jangan dia mau perkosa lo di semak – semak kebon kelapa sawit.”
“Ngaco lu!”
Terdengarlah suara tawa Venita dari seberang sana.
“Gak cuma berdua. Gavin dan mbak Ajeng ikut juga,” lanjut Bella.
“Gavin?”
“Iya. Gavin ikut.”
“OMG, Bel, ini kesempatan lo untuk deketin Gavin!”
“Deketin gimana? Memetik buah kelapa sawit berdua? Apa romantisnya? Lagipula, mana mau dia. Dia kan sekarang udah jadi Direktur.”
“Ya lo pepet dia teruslah. Kalau perlu lo buat drama – drama apa kek. Pura – pura ketiban pohon kelapa sawit terus pingsan di pelukan Gavin atau kesandung truk pengangkut kelapa sawitnya terus jatuh di pelukannya Gavin kan bisa.”
Hening. Tak ada sahutan dari Bella. Venita pun mengerutkan dahinya.
“Hallo? Bel? Bella?” ujar Venita kemudian ia menatap layar ponselnya untuk memastikan apakah sambungan telepon itu terputus.
“Ven.”
“Ya, Bel?”
“Lo kayaknya kebanyakan nonton sinetron deh.”
“Sinetron itu kan diambil dari cerita sehari – hari yang terjadi di masyarakat. Ya lo coba aja, Bel. Siapa tau berhasil. Gak ada salahnya kan mencoba. Gavin lho, Bel. Cowo yang you-are-dying-for selama empat tahun!”
“Kalau usaha gue dirusak sama manusia terkutuk itu gimana? Lo gak tau sih gimana nyebelinnya Revano Alexander itu!”
“Bella, masa si manusia terkutuk lo itu mau ngintilin Gavin 24 jam? Kan enggak. Lo curi – curi kesempatanlah! Masa perjuangan lo selama empat tahun lo relakan begitu aja. Lo cinta gak sih sama Gavin?!”
Bella tampak berpikir sejenak sebelum mendesah pelan. “Ya, gue akan memperjuangkan Gavin. Gue gak akan biarin si manusia terkutuk itu bener – bener jadi kutukan!”
“Bagus!”
***
Revano baru saja keluar dari dalam lift setelah membeli kopi instan di kafetaria yang berada di lantai dasar gedung kantor tempatnya bekerja. Ia pun melihat Bella yang berjalan memasuki ruang kantor mereka. Gadis itu membawa kantong plastik yang berasal dari mini market yang baru saja dikunjunginya yang terletak di basement gedung setelah membeli cemilan untuk dinikmatinya sore hari nanti.
Bella baru saja memasukkan belanjaannya ke dalam laci meja kerjanya. Saat ia mendongakkan wajahnya, tiba – tiba saja ia dikejutkan dengan wajah seorang pria yang menunjukkan seringainya yang sangat menyebalkan sedang memandanginya dari jarak amat dekat.
“Haaa!” teriak Bella histeris.
Pria itu tertawa terbahak – bahak setelah mendapati ekspresi wajah Bella yang seperti baru saja melihat setan di siang bolong.
“Apaan sih lo! Aneh banget tau gak!”
“Gue tuh lagi meneliti lo. Kenapa lo masih jomblo sampai sekarang. Lo jelek. Gak kayak adek lo.”
Sontak Bella memukul lengan Revano dengan keras sampai Revano mengaduh.
“Aduh!”
“Bella, kok kasar gitu sih ke Revano?” tiba – tiba saja Ajeng muncul bersama Tita yang baru saja kembali dari toilet.
Bella ternganga mendapati Ajeng dan Tita memergokinya memukul lengan Manager mereka.
“Tau nih Bella. Kekerasan Dalam Ruang Kantor. Gimana kalau nikah, bisa – bisa dia KDRT lho,” balas Revano yang kini sudah mendarat di kursi meja kerjanya.
“Hah? Kak Bella mau nikah sama Mas Revano?” ujar Tita dengan polos setelah ia juga mendarat di kursinya.
“Tita!” teriak Bella membentak rekan kerjanya yang teramat sangat polos itu.
“Ih, Kak Bella galak banget,” balas Tita seraya mengelus perutnya agar anaknya tidak terkejut mendengar suara rekan kerja ibunya yang galak.
“Jangan galak – galak dong, Bella. Tita kan lagi hamil. Lagipula, nanti kamu jomblo terus lho kalau galak – galak begitu,” goda Revano.
“Lo aja jomblo!” balas Bella dengan wajah sewotnya.
“Kalau dua – duanya jomblo, kenapa gak pacaran aja?” tanya Tita yang lagi – lagi terlalu polos dalam mengerti apa yang terjadi pada Bella dan Revano.
‘Aduh! Ini anak kenapa gak ngomong begitu ke Gavin aja sih?!’ keluh Bella membatin seraya ingin mencabik – cabik Tita.
“Iya, kalian cocok lho,” ujar Ajeng menimpali ucapan Tita yang membuat Bella ingin mencekik leher atasannya itu.
“Gimana, Bel? Kita pacaran aja, yuk. Nih anak – anak udah pada setuju,” ujar Revano seraya terkekeh melihat wajah Bella yang sudah memerah.
“Mending jomblo seumur hidup daripada harus pacaran sama lo!” balas Bella.
“Oke. Gue sumpahin lo akan jomblo seumur hidup,” balas Revano.
Bella pun mendengus kesal pada Revano. “Gak usah sok sumpahin orang! Lo aja gak laku!”
“Ah, berisik lo berdua. Gue sumpahin lo berdua beneran nikah dan jadi suami istri!” ujar Ajeng untuk menghentikan perdebatan itu berhubung sebentar lagi jam kerja kembali dimulai.
“Ogah!” seru Bella dan Revano berbarengan.
“Hmm.. Kalau Kak Bella sama Mas Revano nikah, salah satunya gak perlu resign, kan?” tanya Tita setelah menyeruput air mineral dari dalam botol minum miliknya.
Bella dan Revano pun memandangi Tita dengan ganas yang membuat Tita bertanya – tanya mengapa kedua orang tersebut terlihat marah padanya.
“Lho? Kenapa sih? Aku kan cuma nanya,” ujar Tita yang mulai ketakutan dipandangi seperti itu.
Sementara itu, Ajeng dan anggota tim Finance yang duduk di area belakang tim Accounting mulai cekikikan mendengarkan keributan antara Bella, Revano dan Tita, kecuali Riris yang sedari tadi merengut seraya meremas ujung rok yang dipakainya dan memandangi Bella dengan sebal sebab gadis itu diam – diam menyukai Revano. Ia tidak suka jika Revano dijodohkan dengan wanita lain, apalagi dengan Bella.
***
Hujan rintik – rintik menemani pertemuan ketiga orang sahabat pada Jum’at sore setelah jam pulang kerja. Seperti biasa, Bella yang terakhir datang ke tempat janjian mereka. Sebuah kafe di kawasan Senopati yang didesain agar pengunjung dapat berkumpul bersama para sahabat dan keluarga dengan nyaman.
Bella menghempaskan tubuhnya di atas sofa di samping Shinta. Kedua orang sahabatnya itu sudah bersiap – siap untuk mendengarkan keluh kesah sahabat mereka yang menurut prakiraan cuaca sedang dirundung duka akibat kehadiran Manager baru di divisi tempatnya bekerja.
Bella bersedekap memandangi kedua orang sahabatnya yang hanya diam saja tanpa bertanya kabar atau pun makanan apa yang ingin ia pesan. Ia mengerucutkan bibirnya.
“Beli obat tidur di mana sih?” tanya Bella yang membuat Venita dan Shinta mengerutkan dahinya.
“Obat tidur?” tanya Shinta.
Bella pun menganggukkan kepalanya.
“Untuk apa? Lo gak bisa tidur, Bel?” tanya Venita.
“Mau gue taro di minumannya si manusia laknat itu biar dia gak gangguin gue selama di Riau.”
“Lo mau ke Riau?” tanya Shinta.
“Iya. Mau ngitungin pohon dan buah yang ada di masing – masing pohon itu,” jawab Bella dengan raut wajah penuh dendam.
“Hah?”
“Yang mulia bapak Revano yang nyuruh!”
Shinta pun cekikikan. “Gak begitu juga cara stock opname-nya, Bel.”
“Gue mau taro obat tidur di minumannya Revano. Terus, pas dia udah tidur, gue seret ke tengah – tengah kebon kelapa sawit biar dia abis digigitin nyamuk. Nyamuk di tengah kebon pasti ganas – ganas,” ujar Bella bersemangat saat membayangkan Revano akan tersiksa dengan rasa gatal yang diberikan nyamuk – nyamuk itu.
Venita hanya terkekeh saja seraya menggelengkan kepalanya mendengarkan ide nyeleneh yang terlintas di otak Bella.
“Kalau gue lihat fotonya di medsos, orangnya ganteng deh, Bel,” ujar Shinta.
“Ganteng sih, sayang nyebelin,” balas Bella seraya bersandar di sandaran sofa dan memandangi langit – langit kafe tersebut.
“Lulusan XYZ Amerika lho dia. Daripada lo ngejar – ngejar Gavin terus, mending lo sama si Revano itu. Gue yakin dia mapan. XYZ kan gajinya gede, apalagi XYZ Amerika,” ujar Shinta yang mendapati anggukkan kepala Venita sebagai pertanda bahwa ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Namun, Bella hanya diam saja seraya terus memandangi langit – langit yang sejak tadi ditatapnya itu.
“Tapi, gue cintanya sama Gavin.”
***