Bella mengambrukkan tubuhnya ke atas ranjang. Sejak hadirnya Revano di kantor tempatnya bekerja, mendadak pekerjaan Bella terasa semakin berat. Ada saja yang diminta Revano untuk segera dilakukan oleh Bella. Fotokopi, scan dokumen, cari dokumen pembukuan sepuluh tahun terakhir. Ada saja yang disuruh seolah Revano tidak mengizinkan Bella untuk beristirahat sehingga Bella berpikir pria itu ingin menyingkirkannya. Ia yakin Revano menginginkan dirinya segera angkat kaki dengan sukarela dari kantor tersebut karena tidak mungkin pria itu yang memecatnya. Bagaimana pun, Revano baru saja bergabung di perusahaan tersebut. Akan sangat tidak beretika jika ia segera memecat karyawan yang sudah mengabdikan diri cukup lama di perusahaan mereka.
Suara notifikasi di ponselnya membuat Bella merogoh tasnya. Kedua matanya segera memicing dengan tajam saat melihat nama tertera di layar ponselnya.
From : Revano Jelek
[Jangan lupa packing]
Bella pun mendengus kesal setelah membaca pesan singkat itu. Keberangkatannya ke Riau masih beberapa hari lagi, tetapi pria terkutuknya itu sudah mengingatkannya untuk segera mengepak pakaian yang akan dibawa untuk keperluan dinas.
To : Revano Jelek
[Ok]
Setelah mengirimkan balasan pesan singkat itu, Bella mengubah posisi tubuhnya dengan posisi tengkurap seraya melingkarkan kedua tangannya pada boneka panda kesayangannya yang terletak di atas kepalanya. Ia mengusap – usap boneka panda yang sudah menemaninya selama 26 tahun itu hingga kantuk datang menyerang. Napasnya mulai teratur. Kesadarannya mulai hilang. Ia tertidur. Namun, tak lama berselang, ponselnya berdering dengan nyaring. Bella pun terjaga dari tidurnya dengan kepala yang terasa sakit karena terjaga secara mendadak. Diambilnya ponsel dari meja rias yang terletak di samping ranjangnya. Ia bangkit dari posisi tengkurapnya dan duduk di atas ranjangnya seraya menendang – nendangkan kakinya ke sembarang arah. Untuk apa pria jelek itu meneleponnya?
“Halo!” ujar Bella menjawab panggilan telepon itu dengan ketus.
Di seberang sana, Revano terkekeh. Dari nada suara saja, ia tahu saat ini Bella sedang merengut.
“Galak banget sih jawab teleponnya. Nanti makin keriput lho. Kalau keriput, gimana mau dapet jodoh?”
“Au ah! Lo aja gak laku!”
“Eh, gue tuh bukannya gak laku. Terlalu banyak yang mau sama gue makanya gue bingung mau pilih yang mana.”
Revano pun dapat mendengar suara teriakan Bella yang sudah hampir menangis dan hal itu membuatnya gembira.
“Mereka gak tau aja gimana kelakuan asli lo. Kalau tau juga mereka gak akan sudi! Cuma orang gak waras yang mau sama lo!”
“Bodo. Yang penting banyak yang mau sama gue. Tinggal pilih mau yang mana. Gak kayak lo.”
Bella menghela napasnya. “Lo nelpon gue cuma mau ngomong itu doang?”
Revano meneliti keseluruhan isi walk in closet miliknya. “Gue ada tugas buat lo.”
“Apa?”
“Packing baju – baju gue buat dibawa ke Riau.”
Bella ternganga setelah mendengar ucapan Revano. Yang benar saja? Masa Revano menyuruh stafnya mengepak pakaian ke dalam koper.
“Ogah!” balas Bella dengan ketus.
“Oh gitu. Jadi, lo gak mau? Ya udah, gue pakai baju lo aja kalau gitu.”
“Dasar bocah sableng! Mana muat! Badan lo kan gede. Lo tinggi. Gue pendek.”
“Ya terserah. Pokoknya kalau lo gak mau packing baju – baju gue, nanti di Riau lo harus minjemin gue baju.”
“Sewa pembantu aja sih! Kenapa lo harus nyuruh gue?!”
“Ya kan ada lo, kenapa gue harus bayar sewa pembantu?”
“Revano!!!”
Tawa Revano pun meledak setelah mendengar suara teriakan Bella. “See ya tomorrow, ya.”
“Besok Sabtu. Libur!”
Tok tok tok. Terdengar suara ketukan di pintu kamar tidur Bella.
“Bella?” ujar seseorang di luar kamar tidur Bella.
“Ya, Ma?” balas Bella.
Meira pun masuk ke dalam kamar tidur Bella. “Bel, turun yuk.”
“Bella mau tidur.”
“Adik kamu datang.”
“Apa?!”
“Iya, Gisel udah pulang.”
Bella ternganga. Ia lupa hari ini Gisella dan Wisnu pulang dari acara bulan madu mereka.
“Bella tutup telepon dulu.”
“Telepon dari siapa?”
“Teman kantor.”
“Oh, ya udah. Jangan lama – lama.”
Bella menganggukkan kepalanya lalu Meira keluar dari dalam kamar tidur Bella untuk kembali menghampiri Gisella dan Wisnu di ruang keluarga. Bella menghela napasnya. Lebih baik adu pancu sama si cowok jeleknya daripada harus menghadapi Gisella dan Wisnu.
“Halo.”
“Ya udah sana, temuin adek lo. Siapa tau dia mau kasih lo oleh – oleh,” ujar Revano yang sedari tadi menguping pembicaraan antara Bella dan Meira.
“Ya.”
“Bye.”
“Bye.”
“Hey.”
“Ya?”
“Smile.”
Bella menyengir walau ia tahu Revano tidak dapat melihatnya. “Udah.”
“Good. Ya udah, sana pergi.”
“Ya.”
Sambungan telepon itu berakhir. Bella pun segera bangkit dari ranjangnya dan melangkah menuju ruang keluarga di lantai dasar rumahnya.
Sementara itu, di sebuah unit apartemen di bilangan Senopati, Jakarta Selatan, Revano tersenyum memandangi layar ponselnya. Tadinya ia berpikir setelah kembali ke tanah air, hidupnya akan membosankan. Apalagi setelah Clarissa, gadis yang ia inginkan, menginginkan pria lain. Namun, dengan kehadiran gadis selucu Bella, ia merasa hidupnya di Jakarta akan sangat menarik. Menyenangkan sekali memiliki seseorang yang bisa ia goda sesuka hati.
***
Bella melangkah menuruni tangga rumahnya dengan malas – malasan. Mengapa adiknya itu cepat sekali kembali ke Jakarta? Ia berharap adiknya itu tersesat di pegunungan Alpen dan tidak dapat menemukan jalan pulang.
“Hai, Bella,” sapa Wisnu seraya memberikan senyuman terbaiknya.
“Hai,” balas Bella yang berusaha tersenyum pada Wisnu dan Gisella.
Gisella segera mengambil salah satu paper bag di hadapannya dan memberikannya pada Bella.
“Ini, untuk Kak Bella,” ujar Gisella.
Bella menerima paper bag dari Gisella dan mengintip isi di dalamnya. Sebuah cardigan dengan motif warna – warni yang terkesan ceria.
“Aku tau Kak Bella pengen punya cardigan itu sejak lama. Inget gak dulu Rasya pernah ngasih aku cardigan kayak gini waktu dia balik dari liburannya ke Eropa? Aku tau Kak Bella juga mau punya cardigan yang kayak gini juga makanya kemarin aku beliin waktu aku ke Jerman.”
Hati Bella terasa teremas setelah mendengar ucapan adiknya itu. Mengapa setan kecil itu harus mengungkit lagi luka bodoh itu?!
“Thanks,” balas Bella mencoba sebisa mungkin untuk tidak terpancing emosi agar Wisnu tidak mengetahui betapa bar – barnya kakak dari istrinya itu kemudian ia duduk di tengah – tengah antara ibu dan ayahnya, di seberang Gisella dan Wisnu.
“Kamu suka, Bel?” tanya Wisnu.
Bella menganggukkan kepalanya. “Suka.”
“Syukurlah. Aku udah bilang ke Gisel, gak mungkin kamu mau cardigan warna – warni itu. Cardigan itu lebih cocok dipakai sama anak remaja.”
“Gapapa. Cardigan itu cocok kok dipakai sama kak Bella. Kak Bella tuh suka sama yang lucu – lucu gitu. Sampai sekarang aja dia masih suka pakai bando, tidur sambil meluk boneka panda, berkhayal jadi putri di negri dongeng, nikah sama pangeran.”
“Waw, Bel, how childish you are!” ujar Wisnu diiringi kekehan dan senyum penuh kemenangan dari istrinya.
Bella mendesis dan memutar kedua bola matanya. Adiknya memang nomor satu untuk urusan mempermalukan sang kakak di depan orang lain.
“Kamu harus berubah, Bel. Kamu harus bersikap lebih dewasa sesuai umur kamu,” lanjut Wisnu.
“Iya, Bella, kamu harus lihat, apa kamu masih pantas pakai pakaian atau bando yang menurut kamu imut. Harus sadar, muka kamu tuh udah tua, gak cocok pakai pakaian yang remaja lagi,” ujar Meira.
“Ma, ini cardigan yang dikasih sama Gisel coraknya gak cocok lho untuk wanita tua,” balas Bella dengan kesal.
“Itu kan cuma cardigan. Masih pantas kok kamu pakai cardigan itu,” balas Meira santai.
Bella mendengus kesal demi mendengar ocehan ibunya yang selalu membela anak kesayangannya itu.
“Sudahlah. Kenapa perkara pakaian saja harus diributkan? Kita harus memakai pakaian yang membuat kita nyaman dan percaya diri. Kalau Bella masih suka pakai pakaian lucu – lucu asal sopan ya sudah,” ujar Rama yang membuat Bella menganggukkan kepalanya karena mendapatkan pembelaan dari ayahnya.
“Oh ya, kita makan, yuk. Aku laper,” ujar Gisel untuk mengalihkan perhatian ayahnya pada Bella.
“Ayo. Mama udah masakin ayam bakar kesukaan kamu,” balas Meira dengan semangat.
“Ehm.. Ma, Gisel mau makan di luar. Mau makan iga bakar,” ujar Gisella.
Meira tersenyum maklum. “Ide bagus tuh. Mama juga mau makan iga bakar.”
“Ayo, Ma, kita berangkat sekarang,” balas Gisella dengan semangat.
“A-aku di rumah aja, ya,” ujar Bella.
“Kenapa?” tanya Gisella.
“Mama kan udah masak. Sayang kalau gak dimakan,” jawab Bella.
“Bisa dimasukin ke kulkas, Bella,” ujar Meira.
***
Bella mengambrukkan tubuhnya di atas ranjang setelah lelah selama tiga jam mendengarkan celotehan Gisella tentang bulan madunya di Eropa. Ia curiga sebenarnya Gisella menceritakan hal tersebut bukan karena ia ingin bercerita betapa menyenangkan kehidupannya pasca menikah, tetapi adiknya itu hanya ingin membuatnya semakin menderita.
Drrttt ddrrttttt. Ponselnya berdering.
From : Revano Jelek
[Dapet oleh2 apa?]
Bella merengut membaca pesan singkat itu. Apa pedulinya?
To : Revano Jelek
[Cardigan yg gak akan muat dipake sama lo]
Revano yang sedang menikmati segelas wine di balkon unit apartemennya pun cekikikan membaca balasan pesan singkat dari Bella.
***
Bella masih tertidur pulas bersama boneka pandanya ketika Meira masuk ke dalam kamar tidurnya.
“Bella, ayo bangun, Nak.”
Bella pun terjaga dari tidurnya dengan ogah – ogahan. Ia masih ingin bergelung di dalam selimut tebalnya bersama paman pandanya.
“Ayo, cepet bangun, mandi, makan. Hari ini kita mau ke rumah baru Gisel,” ujar Meira dengan wajah sumringah.
Bella kembali memejamkan matanya. Kalau boleh, ia ingin absen dari acara penuh kebahagiaan anak bungsu di keluarga mereka itu.
“Eh, kok tidur lagi? Ayo, bangun, Bella!”
“Gak mau! Setengah jam lagi.”
“Lima belas menit lagi.”
Bella pun menganggukkan kepalanya. Meira keluar dari dalam kamar tidur Bella setelah mendapatkan keputusan akhir atas tawar – menawar itu. Bella menghela napasnya. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada paman panda.
“Paman panda, what should I do?”
Lima belas menit kemudian, Meira kembali ke kamar tidur Bella. Wanita paruh baya itu berkacak pinggang mendapati anak gadisnya masih berada di dalam selimut.
“Bella! Udah 15 menit!”
Dengan malas, Bella membuka kedua kelopak matanya. “Ma, Bella di rumah aja, ya.”
Meira menghela napasnya setelah mendengar ucapan Bella. “Gak boleh. Kamu harus ikut. Gak enak dong sama Wisnu dan keluarganya kalau kamu gak ikut.”
“Badan Bella agak gak enak.”
“Gak enak kenapa?”
“Kayaknya masuk angin.”
“Kan Gisel udah pasang water heater. Kamu bisa mandi pakai air hangat. Ayo, bangun, Sayang. Gisel mau kakaknya ikut ke rumah barunya.”
Bella pun bergegas bangkit dari ranjangnya dan pergi menuju kamar mandi. Sialnya, Wisnu baru saja keluar dari dalam kamar mandi di lantai dua rumah itu dan mendapati Bella dengan tank top dan celana super pendeknya baru saja keluar dari dalam kamar tidurnya. Bella sedang melangkah menuju kamar mandi seraya berusaha mencepol rambutnya asal – asalan hingga tank top yang dikenakannya sedikit terangkat dan terlihatlah kulit perutnya yang mulus. Wisnu terpana melihat kaki jenjang, kulit mulus, wajah polos dan rambut acak – acakan khas bangun tidur kakak ipar yang usianya lebih muda daripada dirinya itu. Dan jangan lupakan bahwa ternyata Bella memiliki d**a dengan bentuk cukup memukau.
Bella berteriak saat menyadari Wisnu sedang menatapnya. Reflek disilangkan kedua tangannya di depan d**a untuk menutupi kedua gundukan yang menonjol dari balik tank top yang ia pakai.
Meira dan Gisella yang mendengar suara teriakan Bella pun sontak berlari menuju tempat sumber suara.
“Bella, ada apa?” tanya Meira yang panik karena berpikir anak sulungnya baru saja mengalami hal buruk. Sementara itu, Gisella mendapati suaminya memalingkan pandangannya dari Bella.
“Gak ada apa – apa, Ma. Bella cuma kaget aja ada Wisnu di rumah,” jawab Bella dengan wajah merahnya. Ia kesal sekali telah lupa bahwa tadi malam Wisnu menginap di rumahnya.
“Oh, kirain ada apa kamu sampai teriak histeris gitu. Berlebihan deh kamu, Bel,” balas Meira.
“Maaf,” ujar Wisnu dengan kepala yang tertunduk dan tanpa menatap siapa pun yang berada di tempat itu. Kemudian ia bergegas masuk ke dalam kamar tidur Gisella. Gisella pun menyusulnya.
“Ya udah, mandi sana,” ujar Meira pada Bella.
Bella pun menganggukkan kepalanya dan segera melaksanakan perintah ibunya.
***