Chapter 2

1627 Words
  "Lo pasti bisa, Daru!"   "Lo cuman harus ke Panti Asuhan itu, bertemu Pak Frans yang ada disana, menandatangani kontraknya, preman-preman itu pergi dan beres. Lo akan langsung pulang."   Andaru menghembuskan nafasnya panjang, kakinya yang mengenakan sepatu bergerak-gerak tidak bisa diam. Lelaki itu mengusap peluh yang membanjiri dahi dan badannya. Sial, ia seperti sedang berolahraga saja.   "Saya sudah di titik, Mas."   Andaru melihat pesan yang dikirimkan driver ojek online yang sudah ia pesan. Lelaki itu tidak membalasnya lagi ketika menemukan sebuah motor terpakir di sebrang rumahnya.    Lelaki itu mengambil helm yang ada di atas meja terasnya. Ia sengaja memakai helm sendiri, itu lebih aman.   Andaru memejamkan matanya ketika hendak melangkah ke luar rumah, ia tidak pernah menyangka semuanya akan berakhir hari ini. Lima tahun selalu berada di rumah, melakukan apapun dari rumah. Lelaki itu akhirnya meninggalkan tempat teramannya.   Lelaki itu melangkah cepat, ia berusaha tidak peduli dengan sekitarnya. Andaru membuka cepat pagarnya lalu menutup pagarnya kembali.   Dia kembali melangkah dengan cepat dan berusaha untuk tidak peduli pada kiri dan kanannya. Ketika kakinya sudah menapaki aspal, sebuah teriakan membuatnya tersadar dan mundur.   "AWAS ADA MOBIL MAS!"   Andaru jatuh terduduk di aspal dengan mata menatap nanar, detak jantung pria itu rasanya hendak meledak detik itu juga. Nafasnya nampak terengah seperti habis berlari maraton sepuluh kilo meter.   Mobil yang hampir saja menabraknya itu terus melaju, seperti tidak merasa bersalah.   "Mas enggak papa?" tanya seorang pria paruh baya yang mengenakan jaket ojek online. "Bocah sinting yang bawa mobil itu, padahal ini jalan perumahan, harusnya pelan," ocehnya sambil mengangkat tubuh Andaru yang gemetaran.   "Mas enggak papa?" tanya Pak Septo—-nama yang diketahui Andaru dari aplikasi ojek online yang ia pesan.   "Saya rasanya hampir mati, Pak." Andaru tidak biasa menyembunyikan isi hatinya.    Pak Septo yang mendengar terkekeh kecil ketika melihat bagaimana pucatnya wajah Andaru."Mas-nya udah enggak papa?"   "Makasih ya, Pak,” tutur Andaru namun ia bingung mau tetap ingin melanjutkan atau tidak. Perasaannya tiba-tiba menjadi tak enak.   "Mas mau dicancel aja atau mau tetap pergi?" tanya Pak Septo ketika Andaru masih terlihat shock.   "Enggak papa, Pak. Lanjut aja,” ucap Andaru akhirnya.    "Ayo Mas," ajak bapak itu Pak Septo.   Perasaan lelaki itu berubah menjadi tak enak setelah kejadian tadi. Andaru merasa kejadian tadi itu seperti memperingatinya untuk tidak keluar dari rumah.   "Sudah siap, Mas? Jangan lupa berdoa ya, Mas."   "Iya, Pak,” angguk Andaru.   Motor yang dikendarai Pak Septo mulai berjalan dengan perlahan, pria paruh baya itu membawa motornya dengan baik membuat rasa takut milik Andaru perlahan menghilang. Lelaki itu meneguk ludahnya sendiri ketika mereka sudah berada di jalan raya yang ramai.    Lelaki itu sering menjelajahi situs maps untuk melihat kondisi kotanya walau hanya dari balik layar. Andaru tidak sempat untuk terkagum-kagum dengan kotanya sekarang sebab perasaannya berubah menjadi dua kali lipat menjadi tak enak.    "Mas kok dari tadi kenapa resah terus saya perhatikan?" tanya Pak Septo ketika motor berhenti tepat di lampu merah.   "Perasaan saya enggak enak, Pak," tutur Andaru. "Seperti ada sesuatu yang akan terjadi dan tidak baik."   "Mas Andaru kenapa memikirkan sesuatu yang belum terjadi?" tanya Pak Septo, pria paruh baya itu kembali menatap ke arah depan.   Andaru terdiam, dia juga sebenarnya tidak mau memikirkannya.    "Biarlah itu menjadi urusan sang pencipta. Lagi pula bukannya kita tidak akan diberi musibah yang melewati batas kita?"   "Apa bapak memiliki orang yang bapak sayang?" tanya Andaru tiba-tiba.   "Punya, nak." Senyum di bibir Pak Septo mengembang. Raut wajah pria paruh baya yang memiliki kulit hitam coklat itu terlihat bahagia.   Andaru yang melihatnya dari spion termenung, harusnya orang-orang yang memiliki ketakutan adalah orang-orang yang memiliki orang terkasih, contohnya seperti Pak Septo. Orang terkasih itu mungkin akan merasa sedih jika Pak Septo pergi selamnya.   Bukan seperti dirinya yang tidak memiliki siapapun, jika pun ia mati. Tidak ada yang akan manangisinya.   Setelah lampu hijau menyala, motor milik Pak Septo bergerak lalu masuk sebuah gang yang cukup sepi.    Andaru menghembuskan nafasnya ketika merasa tak nyaman dengan kondisi yang cukup sepi, ia takut jika sewaktu-waktu ada orang yang tak dikenal lalu mencegat mereka, belum lagi jika diancam dengan senjata tajam.   Perasaan tak nyaman itu menjadi, Andaru makin gelisa. Lelaki dua puluh lima tahun itu tiba-tiba tersentak ketika mengingat sesuatu. Jantungnya makin mengggila, nafasnya perlahan menjadi sesak.   Pak Frans tidak pernah mengirimkan pesan, Pengacara dari Mamanya itu selalu mengirimkan email jika ingin memberi tahu sesuatu.   "Sial," kesal Andaru yang langsung percaya dengan pesan itu. Ia bahkan tidak melacak IP dari nomor itu mencari tahu siapa yang menjadi pemiliknya. Bagaimana jika orang-orang itu yang mengirimkannya untuk membunuhnya.   Andaru ingin meminta Pak Septo untuk memutar balik arah. Namun jika ia beralasan bahwa perasaannya tak enak, pasti pria itu akan memberikannya petuah lagi.   Motor terus berjalan, tidak ada terjadi sesuatu yang nampaknya membahayakan. Andaru berusaha untuk berpikiran baik, seperti tujuan awalnya, ia akan sampai di Panti Asuhan, memastikannya semuanya lalu kembali ke rumah dengan selamat.   Andaru mengerutkan dahinya ketika motor yang dibawakan Pak Septo bergerak ke tengah jalan yang dilewati dua arah. Jika terus seperti ini, mungkin mereka akan bertabrakan jika ada mobil yang berjalan dari arah lawan.   "Pak," panggil Andaru. “Pak, kayaknya kita terlalu tengah.”   "Pak Septo..." panggil Andaru lagi melirik ke arah kaca spion. Bola mata pria itu membola ketika melihat wajah Pak Septo yang nampak kaku, matanya nampak melotot dengan mulutnya yang perlahan mengeluarkan busa.   "Pak! Pak Septoo!" seru Andaru ketika pria paruh baya itu yang nampaknya memaksakan membawa motor itu. Ia sudah berusaha untuk menggerakan tubuh pria paruh baya itu namun Pak Septo seperti menahannya dengan begitu kuat.   Jantung Andaru berdetak kencang, di otaknya sekarang terlintas bahwa Pak Septo keracunan dan mungkin akan menabrakan motor ini. Andaru menggeleng, ia tidak akan selamat.   Sebuah mobil truk tiba-tiba muncul dari arah berlawanan dengan kecepatan cepat, Andaru pasrah. Dia tidak mau berpikir seperti apa yang di otaknya tentang Pak Septo, bahwa lelaki itu dibayar untuk membunuhnya lalu ikut membunuh nyawanya deluan dengan meminum racun.   "Saya titip anak saya ya, mas,” lirih Pak Septo.   Andaru memejamkan matanya ketika truck itu makin bergerak menuju ke arahnya. Lelaki itu merasakan jaketnya di genggam erat sebelum merasakan tubuhnya di dorong begitu kuat.   "Akh!" Andaru terbanting ketika tubuhnya menghantam pinggiran jalan. tepat jatuh di luar jalan. Kepala lelaki itu terasa pusing dan sangat sakit, sebelum pandangannya mengabur. Andaru melihat bagaimana truck itu menabrak motor yang masih dikendarai Pak Septo.   BRAKKKKK!     ————     "Ughhh...."   Andaru mengerang ketika merasakan rasa sakit yang teramat di kepalanya ketika hendak membuka kelopak matanya.  Lelaki itu memegang kepalanya yang terasa hendak pecah, seperti ada palu besar yang memukulnya serentak. Sangat sakit.   Lelaki itu berusaha menarik nafasnya pelan lalu menghembusnya perlahan, begitu terus hingga sakit kepalanya mulai berkurang.   Rumah Sakit. Pikir Andaru ketika mengerjap-ngerjapkan matanya dengan ruangan serba putih. Lelaki itu berusaha bangkit dari brangkarnya.    Tubuhnya membeku ketika Andaru mengingat kejadian sebelumnya, nafasnya memburu. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya.   Pintu ruangan inap terbuka, seorang suster masuk untuk mengecek kondisi Andaru.   "Istirahat beberap jam lagi, Pak Andaru bisa pulang nanti," kata Suster itu yang diangguki Andaru.   "Sus, bagaimana driver ojek online yang membawa saya?"   "Mohon maaf, Pak. Kecelakaan yang dialami Pak Septo membuatnya tak terselamatkan," ujar Suster itu membuat Andaru terdiam.   "Saya ingin melihatnya, boleh?" tanya Andaru.   "Boleh, tapi hanya sebentar. Pak Andaru harus segera istirahat lagi."   Andaru mengangguk, lelaki itu berterima kasih ketika diberi tahu dimana ruangan mayat. Pria dua puluh lima tahun itu meneguk ludahnya susah payah, ia berjalan menunduk ketika hampir sampai menuju di ruangan mayat, hanya satu belokan lagi.   Bruk!   "Ah, maaf," ujar seseorang perempuan dengan suara bergetar ketika Andaru menabrak punggungnya.   Andaru mengangguk, lelaki itu tidak niat untuk membalasnya. Suasana hatinya sedang tidak baik.    "Maaf, jika boleh, dimana ruangan mayat?" Andaru ingin mendengus pada perempuan berjilbab panjang yang tadi ia tabrak. Padahal saat ini mereka sudah berada di depan ruangan mayat namun apakah matanya sudah buta karena tidak bisa melihat tulisannya?    "Saya tidak bisa melihat," kata perempuan itu mendongak menatap ke arah Andaru dengan mata yang kosong namun mengeluarkan air mata yang banyak.   "Ruangannya di depan kamu."   "Hiks— bapak..." tangis gadis itu pecah membuat jantung Andaru seperti diiris-iris.   "Saya titip anak saya, Mas Andaru." Andaru tersentak ketika mendengar suara itu melewati telinganya. Ia menoleh ke kiri dan kanan. Tidak ada siapapun.    Selain seorang suster yang berjalan ke arah mereka.   "Keluarga dari Pak Septop Pramono?" tanya Suster.   "Saya anaknya hiks.” Perempuan itu berusaha menahan tangisnya namun ia tidak sekuat itu saat tahun bahwa keluarganya yang tersisa sudah tidak ada.   "Ada keluarga lain? Masnya?" tanyanya ke arah Andaru yang dijawab gelengan. “Saya tidak kenal, Sus.”   "Apa Mbaknya punya kerabat lain?" tanya Suster itu ketika melihat kondisi anak Pak Septo yang tidak bisa melihat.     "Saya hanya hidup dengan Bapak saya."   "Sebelumnya saya minta maaf karena tidak menunggu kehadiran Mbak. Pihak Rumah Sakit telah mengubur mayar dari Alm. Pak Septo beberapa menit yang lalu."   "Apa saya tidak bisa bertemu dengan Bapak saya terakhir kali pun?" tanya gadis itu dengan air mata yang mengalir.   "Maaf, Mbak." Suster itu menggeleng. "Tapi, dari perusahaan ojek tempat Pak Septo bekerja, Mbak berhak mendapatkan asuransi sebesar 10 miliar."   "Saya hanya ingin melihat Bapak saya hikss..." tangis perempuan itu kembali pacah, sungguh menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.   Andaru yang mendengar betapa besarnya uang kompensasi itu tersenyum sinis. Benar dugaannya, Pak Septo pasti sudah bersekongkol dengan orang yang ingin ia tiada. Pantas saja pria itu bahkan diambang kematiannya tetap mempertahankan motor itu melaju ke tengah jalan. Namun, satu yang membuat Andaru bingung. Ckck, tapi kenapa Pak Septo malah menyelamatkannya?   "Saya turut berduka cita, Mbak. Saya permisi terlebih dahulu."   Andaru menatap perempuan yang ada di hadapannya. Tidak, ia tidak akan sebaik itu untuk menerima permintaan dari Pak Septo yang hampir membunuhnya. Lagi pula, gadis itu memiliki uang yang banyak. Ia bisa tidak bekerja selama hidupnya jika bisa menggunakan uang itu dengan baik.   "Saya pamit juga,” kata Andaru berbalik, mulai melangkah.   "Tun-tunggu Mas!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD