Chapter 3

1704 Words
Sebelum hari ini, Andaru pernah memutuskan satu hal yang merubah seleruh hidupnya. Tepat 5 tahun yang lalu, ia memutuskan untuk tidak akan pernah keluar dari rumah, berlindung di dalam sana entah sampai kapan. Dan, hari ini, Andaru kembali membuat keputusan yang luar biasa. Dia menikahi seorang gadis yang baru saja ia temui selama dua hari, bahkan bisa dibilang belum sampai 2 kali 24 jam. "Saya terima nikahnya dan kawinnya Sabrina Azahra binti almarhum Sapto dengan maskawinnya yang tersebut, tunai!" Ucapan lantangnya saat menjabat tangan penghulu tadi masih terngiang-ngiang di telinga Andaru, disaksikan oleh dua temannya yang menjadi saksi dan seorang Wali Hakim. Andaru Prasmana K akhirnya resmi menjadi seoranh suami untuk Sabrina Azahra. "Hah..." Andaru menjatuhkan bokongnya ke kasur lembutnya, membuka satu per satu kancing bajunya. Karena tak memiliki siapapun yang bisa menikahinya, mereka akhirnya mengunakan seorang Wali Hakim untuk menikahkan Sabrina. Wali sendiri sebenarnya terbagi menjadi dua, yaitu Wali Nasab dan Wali Hakim. Wali Nasab itu sendiri antara lain Ayah, Kakek, Paman dan Saudara laki-laki. Sayangnya, Sabrina adalah anak tunggal, Ayah dan Kakeknya telah tiada. Gadis itu sebenarnya memiliki seorang Paman namun telah kehilangan kabarnya selama hampir 10 tahun. Sulit untuk menemukannya. Dan akhirnya mereka menggunakan seorang Wali Hakim, mudahnya adalah seorang yang diberi hak dan wewenang sebagai wali nikah, biasanya ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat setempat.  DUK! Andaru mengerutkan dahinya ketika mendengar suara sesuatu yang mengenai pintu kamarnya, ketika ia berpikir itu mungkin kucing kesayangannya, pria itu tiba-tiba bangkit dari duduknya saat mengingat seorang wanita yang membuatnya cemas. Clek! "Sssshh..." Sabrina berdiri di depan kamarnya, tangan gadis itu mengusap-usap jidatnya yang memerah. Jadi kepala wanita itu yang mengenai pintu, bukan Molly yang hendak meminta makan? "Kamu kenapa?" tanya Andaru bodoh, padahal ia tahu gadis itu menabrak pintunya. Sabrina malah menyengir, "tadi enggak sengaja nabrak pintu kamar, Mas." "Tongkat kamu mana? Terus tadi naik tangga gimana?" tanya Andaru. "Sabrina ngeraba aja, Mas. Tapi tongkatnya enggak tahu kemana," jawab gadis itu sambil tersenyum lembut membuat Andaru heran. Bagaimana gadis itu bisa santai saja saat kehilangan alat bantunya? "Ceroboh," decak Andaru agak sedikit keras membuat Sabrina menunduk. "Saya cari dulu, kamu jangan kemana-mana!" Bisa-bisa gadis itu menabrak barang lain di rumahnya. Andaru lalu turun ke lantai bawah, bergerak mengeliling lantai untuk mencari tongkat wanita itu. Dan akhirnya menemukannya di atas meja. Pria itu lalu kembali naik ke lantai atas dan melihat Sabrina sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. "Ini tongkatnya," kata Andaru memberikannya pada gadis itu. Sabrina menggerakan tangannya, sayangnya karena tak bisa melihat, ia hanya bisa menggapai-gapai hingga telapak tangannya menyentuh sesuatu yang sedikit keras dan sedikit bergelombang. Ini d**a Andaru! "Astaga!" pekik Sabrina sambil menarik tangannya membuat Andaru ikut terkejut. "Maaf, Mas. Seharusnya saya enggak menyentuh d**a Mas Andaru, kita bukan muhrim." "Bukan muhrim? Bukannya beberapa jam yang lalu kita baru saja menikah, Sabrina?" tanya Andaru sambil menahan gemas, selain ceroboh ternyata gadis ini juga begitu pelupa. "Hah? Astagaa, maafin Sabrina Mas." Pipi Gadis itu seketika memerah ketika mengingat beberapa jam yang lalu ia baru menejadi isteri dari Andaru. Sungguh keterlaluan dirinya yang melupakan sang suami. "Kamu ceroboh, pelupa, ckck. Saya heran bagaimana kamu bisa bertahan hidup selama ini?" tanya Andaru membuat Sabrina menundukan kepalanya, gadis itu menjalin jari-jemarinya gusar. Ia pasti membuat Andaru menyesal menikahinya. Sabrina langsung tersentak, ia tidak boleh berpikiran buruk kepada suaminya. Ia memang ceroboh dan pelupa, itu memang sifatnya. "Maaf, Mas." "Seterah, pokoknya kamu jangan nyusahin saya aja." Andaru kembali ingat kemarin, saat ia hendak pulang dan gadis itu memanggilnya. Sabrina ternyata memintanya untuk diantar ke makam bapaknya. Pria itu sebenarnya menolak namun ketika sudah sampai di pintu keluar rumah sakit, ia kembali masuk dan melihat Sabrina tengah meminta maaf karena menabrak orang lain. Pria itu heran dan tak percaya kenapa ia bisa kembali untuk membantu gadis ini bahkan mengantarkannya hingga ke Makam sang Ayah. Harusnya sampai disitu saja, sesuai permintaan gadis itu padanya. Namun Andaru malah menunggun disana dan mendengarkan semua yang dikatakannya pada nisan yang tak akan bisa menjawab tangisannya. "Sabrina sekarang sendirian, Pak. Hiks—-Sabrina tinggal sama siapa." Gadis itu mengingatkannya pada seorang remaja laki-laki berusia 20 tahun yang menangis di kuburan Ibunya, keluarga yang satu-satunya dimiliki. Sama seperti Sabrina, Andaru sudah tidak memiliki siapapun selain ibunya saat itu. Andaru akhirnya memutuskan untuk hidup seorang diri dan hanya tinggal di rumah. Tapi, gadis itu? Bagaimana nasibnya tanpa memiliki penglihatan? "Bapak kamu berpesan untuk menjaga kamu," tutur Andaru membuat gadis itu tersentak ketika menyadari ada orang di dekatnya. "Bagaimana kalo kita menikah?" Dan, seperti inilah yang terjadi sekarang. Andaru terjebak bersama seorang wanita yang bahkan belum ia tahu tanggal lahir dan makanan kesukaannya. "Mas Andaru mau mandi? Biar saya siapin pakaiannya?" tanya Sabrina ketika mengingat bawah hari sudah sore. "Kamu enggak usah peduliin saya, kamu harusnya peduliin diri kamu. Saya punya mata untuk ngelihat, kamu yang harus dikhawatirkan." Jujur, Andaru takut perabotan rumahnya rusak karena ditabrak oleh gadis itu. Sabrina kembali menunduk, walau sedikit merasa pedih di hatinya. "Maafin Sabrina, Mas." "Iya, lebih baik kamu ke kamar kamu sekarang." "Kamar Sabrina? A—apa kita enggak sekamar?" tanya Sabrina tergugup. "Tidak, saya menikahi kamu karena berterima kasih dengan Bapak kamu yang sudah menyelamatkan nyawa saya," jawab Andaru sedikit berbohong, padahal Pak Sapto sama sekali tidak meminta untuk menikahi anaknya.   Namun karena Andaru tak mau keluar dari rumah untuk menengok keadaan gadis itu, ia akhirnya menikahinya. Hanya itu yang ada diotaknya saat itu. "Gunakan tongkat kamu, jangan hilang lagi!" Sabrina mengangguk, ia lalu diberi tahu bahwa kamarnya berada di sebelah Andaru. Walau mereka tidak sekamar, setidaknya mereka bersebalahan kan? Sabrina tersenyum manis, seperti dirinya yang masih terkejut, Andaru mungkin lebih terkejut. Pria itu mungkin juga sedikit keberatan saat menikahi gadis yang tak bisa melihat sepertinya. Sabrina menggerakan tongkatnya lalu duduk dengan perlahan. Ia menghembuskan nafasnya, berusaha membuat hatinya tidak sesak karena perkaraan Andaru. Ia harus yakin, jika sang Bapak sudah mengamanatkan seperti itu, pasti Andaru adalah orang yang baik. Gadis itu menyentuh kasur kamarnya, merasakan sebuah kelembutan yang tak ia rasakan di kasur lamanya. Sabrina mencoba berbaring, seketika mengingat bahwa sekarang ia tak akan pernah merasakan kehangatan dari Bapaknya. Tanpa sadar, Sabrina yang merasakan kamarnya yang terasa dingin karena pendingin ruangan, terlelap dengan nyenyak dan berharap bisa bertemu dengan Ayahnya walau di mimpi. TOK! TOK! Sabrina tersentak bangun ketika mendengar suara pintu kamarnya digedor, gadis itu lalu bangkit menuju kamar dengan linglung karena memikirkan sudah jam berapa sekarang. "Mm—mas Andaru?" panggil Sabrina. "Iya, ini saya. Cuman ada kita berdua di rumah, kalo kamu ketemu orang lain di rumah ini, hati-hati. Siapa tahu makhluk gaib," ujar Andaru panjang lebar. "Mas ini udah jam berapa?"  "Setengah tujuh." Sabrina yang mendengar itu jadi gelagapan, ia langsung hendak masuk ke dalam kamar. Ia melewatkan waktu ibadahnya. Sedangkan Andaru yang melihat gadis itu jadi panik sendiri, takut terjadi hal buruk padanya. "Kamu mau kemana?" tanya Andaru memegang lengan Sabrina. Pria itu sudah hendak melepasnya, takut gadis itu melupakan bahwa mereka sudah menikah dan menepisnya. Tapi ternyata, gadis itu nampaknya ingat bahwa mereka sudah menjadi suami isteri. "Sabrina mau sholat dulu, Mas. Udah lewat," ujar gadis itu sedikit resah, bahkan menggigit bibir bawahnya. "Kamar kamu ini enggak ada kamar mandinya," ujar Andaru memberi tahu membuat Sabrina semakin kebingungan. "Saya langsung ke bawah aja, Mas," ujar Sabrina agak buru-buru, ia takut tak sempat mengejar waktu sholat. "Di kamar saya aja!" suruh Andaru yang tak mau gadis itu turun ke bawah, takut jika gadis itu jatuh dan menggelundung cantik. "Makasih, Mas." "Tongkat kamu mana?" tanya Andaru tak melihat alat bantu itu di tangan Sabrina. "Kayaknya di kasur, Mas," ringgis Sabrina. "Ayo saya antar," ujar Andaru yang masih menggengam tangan wanita itu dan membawanya menuju toilet kamarnya. Takut jika Sabrina terpeleset, Andaru langsung membuka bungkus sendal anti keset yang pernah ia beli. Benda itu sebenarnya tidak pernah terpakai olehnya dan terlihat kebesaran saat dipakai oleh kaki mungilnya. Bukannya beranjak dari pintu kamar mandi, Andaru malah berdiri disana seperti seseorang yang hendak menagih bayaran karena masuk ke kamar mandi. Andaru memilih duduk di kursi kamarnya  ketika melihat Sabrina sholat hingga akhirnya mengucapkan salam. Gadis itu berdoa hingga akhirnya membuka mukenahnya, jantung Andaru tiba-tiba berdetak ketika melihat Sabrina dengan rambut cantiknya. "Untung Mas Andaru bangunin," menolog Sabrina hendak memakai jilbabnya. Ia pikir hanya seorang diri di kamar. "Mangkanya kalo sore jangan tidur." Sabrina yang mendengar itu langsung memakai jilbabya dengan secepat kilat. Ia takut ada orang lain yang melihat rambutnya namun ketika sadar bahwa itu adalah suaminya sendiri, ia meringgis. "Mas Andaru sudah sholat?" tanya Sabrina sambil merapikan jilbab instant yang ia kenakan. "Sudah," jawab Andaru. "Mas Andaru jahat," ujar Sabrina dengan wajah ngambek. "Kenapa saya jahat?" Andaru memasang wajah heran. "Sabrina kan mau diimami Mas Andaru." Andaru membatu beberapa saat ketika mendengar ucapan gadis di depannya, sebelum mengerjap kelopak matanya beberapa kali. Padahal tidak ada yang aneh menurutnya tapi kenapa Andaru menjadi aneh ketika mendengar permintaan Sabrina. "Nanti waktu sholat isya, ayo makan," ajak Andaru membuat Sabrina kembali panik. Pasalnya, gadis yang sudah menjadi isteri itu menyadari bahwa ia belum menyiapkan apapun untuk makan malam. Rasa bersalah kembali menyeliputi hatinya. "Saya tadi udah pesan nasi goreng, kamu suka kan?" tanga Andaru, ia tadi asal memilih saja dan merasa Sabrina tidak mungkin, tak akan suka dengan nasi goreng. "Suka, Mas," jawab Sabrina. Bagaimana ia bisa menolak saat harusnya menyiapkan makanan adalah tugasnya tapi malah sang suami yang mengerjakan? Mereka lalu turun ke lantai bawah untuk makan malam bersama, ketika Sabrina hendak bergerak membantu. Andaru langsung meminta wanita itu untuk duduk saja, takut piringnya akan berpecahan jika wanita itu bergerak. "Uhuk! Uhuk!" Sabrina memang bukan pemilih makanan namun ia tidak bisa memakan, makanan yang pedas. Andaru yang merasa tidak ada makanan lain di rumahnya untuk Sabrina, akhirnya menuangkan kecap dan mengadukannya untuk wanita itu. Entalah, ia merasa bersalah jika isterinya itu tidak makan. Eh? Isteri? Tapi, memang Sabrina isterinya kan? "Sudah saya taburin kecap, kayaknya enggak pedas lagi." Sabrina tersenyum manis. "Terima kasih, Mas." Gadis itu dengan lahap memakan nasi gorengnya, selain karena lapar yang menyerangnya, nasi goreng ini yang awalnya terasa pedas sekarang bisa ditelannya berkat bantuan sang suami. Andaru yang melihat Sabrina makan dengan lahap, membuat pipinya menggembung kembali terdiam. Ia baru menyadari bahwa gadis itu memiliki wajah yang manis dan imut. Tunggu, apa karena gadis itu Andaru sekarang malah tak jadi lapar?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD