9 - Sah sah sah

1156 Words
9- Sah sah sah “Eh lihat mempelai perempuan sudah keluar, wah cantik banget!“ bisik sang Kakak lelaki Faras. Faras sudah merasa seolah rohnya tak ada lagi di dalam tempatnya, mendengar perkataan sang kakak. Dia yakin, kakaknya sedang mengejek dirinya secara nyata. “Cepat tengok, kamu ini malah tak menengok,” dan sang Kakak langsung menyikut adik lelakinya itu. Faras menengok ke arah mempelai datang. Matanya membulat, seorang wanita cantik dan langsing sedang berjalan ke arahnya. Dan di samping wanita itu, barulah Sofika yang gemuk sedang di gandeng si cantik itu. Tak Faras pungkiri, Sofika sangatlah cantik meski bertubuh gemuk. “Eith tunggu, yang istrimu itu yang mana?“ bisik kakaknya. “Yang pake kebaya pengantin lah, yang mana lagi,” ujar Faras dengan nada jengkel. “Apa! Eh iya juga ya, hehehe. Jadi istrimu itu yang gemuk ya, ekhm pandai juga kamu cari istri. Pasti empuk dan besar, hahaha,” dengan nada mengejek sang kakak berkata, bahkan diiringi dengan tawa pelan, takut kedengaran keluarga Sofika. Faras sudah mengeluarkan keringat besar-besar sebesar biji jagung sepertinya. Sofika pun duduk di sampingnya dengan gemetaran dan gugup. Mereka pun menjadi bahan godaan dari para anggota keluarga yang hadir. Cium, cium, cium. Gema anggota keluarga terdengar bagai petir menyambar di telinga Faras. “Cium sana,” sikut kakaknya. “Lihatlah istrimu itu betapa cantik, seksi dan mungkin juga pintar,” ejek sang kakak. Ya bagaimana tak mengejek Faras. Pria itu seringkali berkata pongah dengan mengatakan akan mendapatkan istri yang langsing, cantik, seksi dan pintar. Saat dirinya dulu memperkenalkan wanita pilihannya yang memang punya badan gempal. Tidak terlalu gemuk sih, hanya saja lebih montok dan berisi. Faras serasa mendapatkan karma atas ucapan yang sudah mengejek istri sang kakak di masa lalu. Hingga, sekarang dia mendapatkan istri yang jauh lebih gemuk dari istri kakaknya. Setelah mengembuskan napas sepelan mungkin, Faras langsung mendekat ke arah Sofika. Gadis itu tampak menunduk malu-malu, saat Faras mengikis jarak diantara keduanya. Dan, chup. Faras mengecup tepat di bibir tipis sang istri. “Huuuuh,” semua menyorakinya. “Lanjut di kamar nanti malam, kyaaa!“ Muka Faras sudah memerah karena malu. Pun dengan Sofika yang menunduk dalam, untuk menyembunyikan rasa malu dan debaran hatinya yang semakin kuat saja. Maksudnya, tadi mau mengecup kening sang istri bongsornya. Eh, entah kenapa malah menyasar ke bibir. Sepertinya, dirinya eror, Faras merutuki dirinya yang tak fokus. Dari suatu sudut, seseorang tersenyum namun dengan sorot mata yang menunjukkan kesedihan. Siapa dia? Dia adalah Ali. Ya, Ali tersenyum untuk kebahagiaan yang dirasakan oleh Sofika sahabatnya. Tapi, hatinya patah berkeping-keping. Karena, harus kehilangan gadis berbadan gempal itu. Sahabat terbaik yang dia sayangi. Yang selalu melindunginya, semasa kecil dulu. Ali anak bertubuh ceking yang sering di ganggu, selalu diselamatkan oleh Sofika yang usianya lebih muda dari dia. Karena badan besarnya ternyata membuat anak-anak yang lainnya pada takut. “Setelah hari ini, sepertinya kita akan sangat jarang sekali bertemu. Bahkan mungkin tak akan pernah,” gumamnya pelan. Pukk Ali terkejut saat merasakan tepukan di bahunya. Lalu, dia menoleh ke arah yang sudah menepuknya tadi. “Ayah,” ternyata sang ayah pelakunya. “Jangan sedih, gadis cantik dan baik pasti sedang menunggumu saat ini,” ujar sang ayah dengan seulas senyuman dan nada bercanda. Ali tersenyum kikuk, sambil menggaruk hidung. “Apa maksud ayah?“ tanya Ali. “Kamu sedih karena cinta pertamamu menikah? Ini salahmu sendiri yang tak pernah mau mengungkapkan perasaan,” jawab sang ayah. Ali tertawa. “Ayah ada-ada saja, ngaco. Kami ini hanya berteman saja, tak lebih,” sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Sang ayah hanya mencibir sambil pergi meninggalkan Ali. Raut wajah Ali kembali sendu setelah kepergian ayahnya. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis, bukan senyum bahagia. Melainkan senyuman getir, yang tampak kesedihan di dalamnya. Acara berlangsung sampai sore. Malamnya. “Ekhm, besok saya akan membawa Fika pindah,” ujar Faras memberanikan diri. “Pindah? Secepat ini?“ Ibu Sofika menatap Faras dan Sofika bergantian. “Mereka sudah berumah tangga, Sofika sudah menjadi tanggung jawab menantu kita sekarang. Jadi, kita hanya tinggal mendoakan saja untuk kebahagiaan mereka,” sahut ayah Sofika dengan bijaksana. “Tapi,” tampak jelas kesedihan dari raut wajah ibu Sofika. “Bu,” dengan tatapan sedih, Sofika menyapa ibunya. “Fika,” desah ibu. “Fika akan jaga diri, dan Faras pasti akan membuatku bahagia,” ujar Sofika meyakinkan ibunya, meski tak dipungkiri, dia pun merasakan sedih dan takut harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Akhirnya, malam itu jadi arena drama tangis-tangisan antara Sofika dengan ibunya. Hari menunjukkan pukul sebelas malam. Sofika sudah berbaring di atas tempat tidur pengantin dengan memakai dress tidur tipis pemberian sang ibu. Tangannya gemetaran, memikirkan hal yang iya iya. Apa malam ini Faras akan menyentuhnya? Apa malam ini adalah akhir dari dirinya menyandang status perawan? Ah Sofika jadi panas dingin rasanya. Kedua jemari tangannya sudah saling meremat dengan kuat, saking gugupnya. Tiba-tiba saja dia mau pipis. Bergegas turun dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi. “Leganya,” bergumam setelah selesai mengeluarkan pipisnya. Lalu, kembali ke tempat tidur. “Tenang Fika tenang! Faras adalah pria baik, dia pasti tidak akan memaksamu, dan tidak akan berbuat kasar,” gumamnya sambil mengatur napas. Sementara itu, Faras sedang mondar-mandir di depan pintu kamar Sofika. Merasa gugup dan malu masuk kamar gadis itu. “Aku harus bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menyentuhnya malam ini juga? Ah sial sekali aku,” gumamnya dengan kepala yang mulai nyut-nyutan. “Faras!“ Suara panggilan itu membuat Faras terkejut dan lututnya semakin lemas. Dia menoleh. “I ibu,” sahut Faras dengan pelan dan kaget. “Kenapa malah mondar-mandir di situ? Masuk saja jangan malu, sekarang kalian kan sudah halal,” dengan nada menggoda sang ibu mertua berkata. Faras berusaha menunjukkan senyuman manis, tapi jatuhnya jadi senyuman aneh. “I iya Bu,” jawab Faras dengan gugup. “Ayo masuk sana!“ Mertuanya itu malah sengaja membuka pintu kamar dan mendorong Faras untuk masuk, lalu pergi sambil terkekeh. Brakk Pintu terbuka. Sofika menatap ke arah pintu dengan gugup. Tampak suaminya yang super tampan berdiri dengan kikuk di sana. “Di kunci pintunya Mas,” ujar Sofika dengan nada lembut dan pelan. Hah Faras terperangah mendengar perkataan Sofika. Apa perempuan itu sedang berharap dirinya melepas keperjakaan malam ini juga? Spontan, Faras menyentuh miliknya sambil meneguk saliva susah payah. Sofika yang melihat hal itu dari kejauhan, jadi semakin malu dan berpikir kalau Faras sudah tak tahan. “Ish dia m***m juga rupanya,” bibirnya tersenyum malu-malu membayangkan yang iya-iya. “Kunci pintunya Mas,” ujar Sofika lagi. Karena Faras masih diam mematung di tempatnya berdiri. Faras terkejut. “I iya,” entah kenapa tapi otaknya mendadak bleng, dia pun membalikkan badan menutup pintu dengan rapat, lalu mulai menguncinya. “Kemarilah!“ Sofika melambaikan tangan dengan senyuman malu-malu yang membuat pipi cabinya berkumpul. Dengan langkah seringan bulu, Faras menghampirinya. Naik ke atas tempat tidur, lalu duduk di samping Sofika dengan tangan gemetar. Dan selanjutnya sungguh mengejutkan. Sofika sampai kalang kabut dan heboh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD