7 - Sulit Ditolong

1246 Words
7- Sulit di tolong ‘Tentu saja aku menyesal! Aku bahkan merasa musibah! Kamu bukan tipeku! Sudah kita tidak usah menikah saja!’ Ingin rasanya Faras mengatakan hal itu secara langsung kepada Sofika. Tapi, dia masih ingat butuh uang untuk usahanya. Jadilah, kata-kata itu dia ucapkan saja dalam hati. “Aku tak akan menyesal menikah dengan wanita secantik, sebaik, dan seseksi kamu,” sebenarnya, dia merasa mual dengan gombalannya sendiri. Sungguh, Faras hanya berbohong saja. Sofika tersenyum di tempatnya berada, dia tidak peduli andai ternyata Faras hanya berdusta saja. Dia sungguh tak peduli! Yang penting, saat ini dia merasa bahagia karena akan dinikahi lelaki idamannya. “Faras, aku…” Sofika menghela napas dalam dan mengembuskannya dengan pelan. Faras sudah siap menerima apa yang akan dikatakan wanita itu. Dia duga, Sofika akan mengatakan cinta kepada dirinya. “Aku mencintaimu,” dengan menghilangkan rasa malunya, Sofika berkata. Bagaikan jatuh saat membetulkan genteng, lalu tertimpa tangga yang berat, ditambah lagi datanglah anjing menggonggong dan menggigitnya, itulah yang saat ini Faras rasakan. Dia merasa begitu sial sekali dicintai gadis yang jauh dari tipenya. “Kamu pasti terkejut ya?“ tanya Sofika, yang membayangkan wajah tampan Faras yang begitu menggemaskan saat ini, ah pasti mukanya memerah dan sangat imut sekali. “Ekhm, ekhm, ekhm. Iya aku sangat terkejut, sudah dulu ya aku mau tidur dulu, Em sayang,” ucap Faras, yang setelah panggilan ditutupnya, di langsung lari ke kamar mandi untuk membasuh muka dan kumur-kumur untuk memuntahkan semua kata-katanya barusan. Apa bisa ya kumur-kumur membersihkan semua perkataannya tadi? Faras ada-ada saja. Berbeda dengan Faras, Sofika tersenyum lebar sambil memeluk bantal. “Nggak nyangka aku begitu beruntung bisa mendapatkan pria seperti Faras,” jeritnya tertahan sambil guling guling seperti ulat yang biasa menghuni pohon sirsak. Itu loh ulat yang gemuk, hijau dan membuat Author geli jika melihatnya. Tok tok Pintu kamar di ketuk dari luar. Dengan malas, Sofika membukanya. Ternyata sahabatnya, Ali tampak nyengir di depan pintu. “Ada apa? Ini udah malam loh?“ dengkus Sofika. “Ish mentang-mentang besok nggak lajang lagi, judes amat,” rajuk Ali. Sofika hanya manyun, suka merasa geli kalau sudah melihat tampang merajuk Ali. Rasanya sudah bosen aja sedari balita terus-terusan melihat rengekkan lelaki penakut ini. Ali memang tergolong petakilan sejak kecil, penakut juga, dan sering kali menangis jika bertengkar dengan anak seusianya dulu. Dan, Sofikalah sosok wanita yang selalu membelanya. Melawan semua anak yang suka gangguin Ali. Ali jadi merasa senang, karena semua yang suka nakal kepadanya jadi tak mengganggu lagi. Sofika memang ditakuti, meski usianya lebih muda dari Ali tapi karena badannya kayak kingkong, jadilah semua takut. Ya, Sofika seringkali diejek kingkong betina semasa sekolah dasar dulu. “Ngobrol yuk di taman,” ajak Ali sambil menarik tangan gempal itu untuk mengikutinya. “Aku besok jadi istrinya pangeran tampan loh,” sambil menepis tangan Ali, Sofika berkata. Ali tertawa geli. Beberapa orang yang belum tidur, tampak kasak kusuk melihat kedekatan Sofika dengan Ali. Ya siapa lagi kalau bukan kerabat Sofika yang memang sedang menginap untuk menghadiri acara besok. Pernikahan memang sengaja akan diadakan di rumah orang tua Sofika, di halaman belakang dengan tema Garden party. Halaman belakang memanglah seluas lapangan bola, jadi untuk apa menyewa hotel, kalau sangat bisa dimanfaatkan. Ali sengaja duduk di pelaminan, yang akan menjadi tempat duduk Faras besok. “Kenapa di sini? Di sana aja yuk,” rasanya Sofika tak rela Ali duduk di sampingnya, kan kursi itu untuk tempat duduk Faras sang pria idamannya, besok. Tapi Ali tidak menanggapi perkataan Sofika. Dia malah mengenang masa kecil mereka dulu. “Inget nggak kalau dulu kita sering main nikah-nikahan?“ Ali menatap lurus ke depan, tampak deretan kursi-kursi untuk tamu, juga bunga-bunga asli yang indah, hasil dekorasi wedding organizer ternama di kota ini. “Iya ingat,” jawab Sofika, dia jadi mengingat masa lalu. Saat masih kecil, yang selalu menjadi pengantin Ali. “Aku juga sering bilang seperti ini, Fika nanti kalau aku besar mau benar-benar menjadi pengantinmu,” diiringi tawa kecil, Ali berkata. Sofika ikut tertawa. “Iya. Dan aku pun bilang seperti ini sama kamu, iya Ali aku mau jadi pengantinmu supaya selalu bisa jagain kamu,” sahut Sofika. Dan mereka pun tertawa bersama. “Tapi akhirnya kamu akan menikah dengan lelaki lain sekarang,” suara Ali yang tadi ceria kini berubah sendu. Sofika bisa menyadari hal itu. Menyadari perubahan dari nada suara sahabat satu-satunya itu. Sofika menoleh ke arah samping, dimana ada Ali yang masih menatap lurus ke depan. Dia bisa melihat kesedihan dari raut wajah temannya itu. “Ali,” panggil Sofika pelan dan penuh kecemasan. Ali menoleh. Otomatis mereka jadi saling tatap dengan intens. Hati mereka tiba-tiba saja berdebar kencang, terutama Ali. Sofika mengerjapkan mata, lalu memutus duluan tatapan mereka yang membuatnya menjadi salah tingkah. “Ekhm,” dan Ali pun segera mengalihkan pandangannya, sambil berdehem untuk menetralkan detak jantungnya yang bertalu-talu tak karuan. “Jangan bilang kamu naksir aku,” kedua jemari tangan Sofika yang besar-besar itu saling tertaut dan meremas cukup erat. Sementara, tatapan matanya lurus ke sandal kelinci yang di pakainya. Sandal hadiah ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga dari Ali, tahun kemarin. Ali tertawa pelan sambil menggeplak lengan Sofika agak keras, “ada-ada saja kamu Fika. Bisa-bisanya punya pikiran seperti itu, ha ha ha ha ha,” dan tawanya pecah sampai air matanya berderai. Sofika jadi meradang, karena merasa di preng Ali. “Ya pantas saja aku punya pikiran ke situ, kamunya tadi ngomong kayak gitu sih,” bela Sofika dengan menunjukan wajah seseram Kong yang sedang marah, di film itu loh. Dan Ali masih tertawa ngakak. “Udah ah, aku mau bobo. Biar besok segar dan cantik saat menjadi pengantinnya Faras,” pipinya sampai merah merona seperti tomat matang yang sering Sofika geprek dan campur gula merah, kesukaannya. Sofika sudah mengangkat b****g, hendak berdiri. Tapi, Ali menahannya dengan kata-kata. “Tunggu, aku masih mau mengobrol. Setelah besok, entah kapan kita bisa seperti ini lagi,” suara Ali berubah sendu, dan tawanya sudah menghilang. Sofika merasa perkataan Ali betul. Dia pun duduk kembali. “Apa kamu yakin Faras tulus kepadamu?“ tanya Ali, dia mencemaskan sahabatnya, takut dijahati atau dikhianati lelaki itu. “Apa karena postur tubuhku, kamu jadi merasa begitu?“ sorot kecewa bisa Ali lihat dari mata Sofika. “Maafkan aku Fika, tapi aku tidak mau berbohong. Kamu juga harus bisa menerima kenyataan, kalau kalian secara fisik sungguh bagai bumi dan langit,” meski menyakitkan, tapi Ali merasa perlu mengatakannya. Sofika mengembuskan napas kasar, lalu tertawa getir. “Kamu benar, tapi aku tak peduli. Aku mencintai Faras, aku suka dia dan tak peduli andai dia tidak mencintaiku. Seiring berjalannya waktu, dia pasti akan berubah mencintaiku,” dengan serius Sofika berkata. Mata Sofika menatap lurus ke arah lampu yang menghiasi taman dekorasi pernikahan di hadapannya. “Andai dia ternyata memanfaatkan kamu untuk kepentingannya bagaimana?“ tanya Ali kembali, dia menatap wajah Sofika dari samping. Pipi cabi, hidung mancung yang mungil karena terimpit pipinya yang cabi, bibir tipis yang mungil, lagi-lagi karena terimpit pipinya yang cabi. Mata yang indah dan tajam, yang paling sukai dari wanita gemuk ini. Bahkan, mata indah milik Sofika pun sempat membuat Faras terpesona. Lagi-lagi jawaban Sofika membuat Ali mengembuskan napas pelan dan gusar. Sahabatnya ini sungguh sudah bucin kepada Faras dan sulit untuk di tolong, pikir Ali. “Tak masalah. Aku akan menerima meski nyatanya dia sedang memanfaatkan aku. Tapi apa yang bisa dia manfaatkan dariku?“ dahi Sofika berkerut. Ali hanya mendengus. “Pikir sendiri,” sahutnya yang membuat Sofika menggerutu mendengar jawaban menyebalkan Ali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD