IJAB dan QOBUL

1230 Words
Akhirnya hari pernikahan Nayla dengan Ridho tiba juga. Nayla menunggu di dalam kamar dengan perasaan berdebar. Hal itu karena saat ini, Ali dan Firman sedang duduk berhadapan dengan Ridho di depan semua orang. Pengajian tiga hari meninggalnya Abi Yahya baru saja selesai dan akan segera dilanjutkan dengan ijab dan qobul Ridho dengan Ali sebagai wali Nayla. “Sudah siap?” tanya seorang penghulu yang juga menjadi saksi dalam pernikahan itu. “Insya Allah, Pak Ustadz.” Ridho dan Ali menjawab dengan serentak. Baik Ali apalagi Ridho, keduanya tampak sama-sama gugup dan sedikit gerogi. Maklum saja, tidak hanya bagi Ridho yang mana ini adalah pernikahan pertamanya dan ia berharap sebagai pernikahan terakhir juga. Sama halnya dengan Ali yang memang baru ini pula kali pertamanya menjadi wali nikah. “Silakan dimulai dengan Bismillah.” Penghulu itu memimpin ucapan Bismillah dan diikuti oleh semua orang yang hadir di sana. “Bismillahirrohmanirrahim. Ridho Irawan, saya nikah dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya – Nayla Khairunnisa binti Yahya Maulana dengan mahar seperangkat alat sholat dan sebentuk cincin kawin dibayar tunai!” “Saya terima nikah dan kawinnya adik kandung Abang – Nayla Khairunnisa binti Yahya Maulana dengan mas kawin tersebut tunai!” “Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak Penghulu kepada para saksi pernikahan. “Sah.” “Alhamdulillah, Sah.” “Sah!” “Alhamdulillah, Sah.” Silih berganti orang mengucapkan Alhamdulillah dan puji syukur lainnya kepada Allah atas lancarnya prosesi ijab qobul yang dilakukan oleh Ridho dengan Ali tadi. Meski masih tampak kegugupan di wajah keduanya, akan tetapi senyum cerah dan penuh kebahagiaan jelas terpajang nyata di sudut bibir keduanya. Ridho masih merasa gugup dan gemetaran karena baru saja sah menikahi seorang gadis yang memang sudah lama disukainya. Meskipun Nayla memang tidak seperti gadis pada umumnya di sini, tapi itu lah yang justru membuat daya tarik tersendiri bagi Ridho. Ridho menyukai Nayla ketika gadis itu menatapnya dengan jutek dan berlalu begitu saja tanpa ada rasa ketertarikan sama sekali. Sementara itu, saat ini Ali tengah berusaha menahan air mata haru dan bahagianya. Ia sudah melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang abang kepada satu-satunnya adik perempuan yang dia punya. Ali baru saja menggantikan tugas seorang ayah yang harusnya dilakukan oleh Abi Yahya, andai beliau masih hidup dan sehat saat ini. Namun, sayangnya hal itu dilakukan tepat pada memperingati tiga hari meninggalnya Abi Yahya. Meski begitu, mereka semua tetap berusaha untuk tegar dan bersuka cita. Itu lah amanah yang ditinggalkan oleh Abi Yahya dan mereka sudah menunaikannya sekarang. “Silakan panggil pengantin wanitanya untuk keluar. Ada beberapa surat yang harus ditanda tangani sekarang,” ucap pak penghulu kepada pihak wanita. Tidak lama kemudian, keluar lah seorang sosok yang sangat cantik mempesona bak bidadari surga. Meski wajahnya tertutup dengan cadar berwarna putih, kecantikan Nayla jelas masih terpancar dari sorot matanya yang tajam. Gaun pengantin berwarna putih itu membalut tubuhnya meski tidak mencetak sempurna. Tentu saja keluarga Nayla tidak ingin jika Nayla mengenakan gaun pernikahan yang mencetak bentuk tubuhnya sempurna. Nayla berjalan didampingin oleh Syifa dan Marwah sebagai dua kakak iparnya yang mengenakan pakaian serba hitam dan lengkap pula dengan cadar mereka. Sementara Zulha menunggu sejak tadi di antara para tamu dan juga orang tua Ridho. “Masya Allah … cantik sekali pengantin wanitanya. Itu Nayla?” “Iya, cantik banget Nayla.” “Ya jelas itu Nayla lah. Kan yang nikah Nayla, gimana sih kamu!” “Bisa aja sih tiba-tiba bukan dia nanti pengantinnya. Kayak di film india gitu, pas dibuka cadarnya ternyata dia orang lain.” “Eh, bisa juga tuh terjadi. Soalnya, aku dengar juga Nayla nggak setuju dengan pernikahan ini awalnya.” “Ah, masa sih Nayla nggak setuju? Suaminya kan ganteng banget gitu, dari keluarga kaya lagi. Siapa sih yang bakalan nolak dinikahin sama orang seperti itu!” “Eheem ….” Ami Zulha terpaksa mendehem karena mendengar bisik-bisik tidak berfaedah dari para santri wanita yang memang seumuran dengan Nayla. Mereka juga berteman dengan Nayla meski tidak terlalu akrab. Nayla memang terkenal dengan pribadi yang humble sehingga dia dengan sangat mudah memiliki banyak teman. Hanya saja, dia tidak suka kehidupannya dikekang dan diatur oleh orang lain. Dia merasa bahwa dia bisa menentukan dan menemukan jalan hidupnya sendiri. Dia yang akan menemukan kebahagiaannya sendiri. Namun, semua itu tidak lagi berlaku saat ini. “Semua surat sudah ditanda tangani, tinggal kita menunggu buku nikah selesai dari pengadilan Agama. Itu memang akan memakan waktu yang lama karena banyaknya pasangan menikah bulan ini. Jadi, mohon bersabar untuk kedua pengantin baru,” ungkap pak penghulu dengan tegas dan kemudian tersenyum kepada Ridho dan juga Nayla. “Silakan disalami dan dicium punggung tangan suaminya!” titah pak penghulu kepada Nayla. Nayla tampak sangat gugup dan canggung. Ia tidak terbiasa menyentuh tangan lelaki, apalagi yang dia benci seperti ini. Meski pun Nayla memang termasuk gadis berjiwa bar-bar, akan tetapi dia masih menjaga dan menghormati dirinya sendiri dari sentuhan lelaki selama ini. “Nanti, suaminya mencium kening istrinya. Selamat karena kalian sekarang sudah sah sebagai suami istri. Semoga kalian bisa menjalani rumah tangga ini dengan sebaik-baiknya. Menjadi imam yang baik dan sholeh untuk istri dan anak-anak kalian kelak. Menjadi istri yang sholehah dan menyayangi anak-anak kalian kelak. Aamiin Allahuma Aamiin.” “Aamiin.” “Aamiin Ya Rabbal Alamiin.” Semua orang itu mengaminkan doa dari pak penghulu kepada Nayla dan Ridho. Sementara keduanya masih tampak sangat canggung untuk bersentuhan. Nayla ragu-ragu mengulurkan tangannya, dan dengan sigap Syifa membantu Nayla untuk tidak menarik lagi tangan yang sudah terulur ke depan itu. Tangannya yang dihiasi dengan henna merah dan sangat indah. Hanya saja tersembunyi di balik sarung tangan berjaring-jaring berwarna putih pula. Nayla tidak bisa lagi mengelak dan dengan cepat ia berusaha menuntaskan kewajibannya yaitu menyalami dan mencium punggung tangan Ridho. Ia hanya menyentuhkan kening dan hidungnya saja di punggung tangan lelaki itu. Begitu pula dengan Ridho yang langsung mencondongkan kepala dan mencium kening Nayla saat wanita itu selesai menciumi punggung tangannya. Semua hal itu diabadikan oleh seorang fotografer yang memang sudah siap siaga sejak tadi. Dia adalah orang yang dibayar oleh orang tua Ridho, beserta seorang lagi yang mengambil gambar berbentuk video dari awal hingga semua selesai. “Alhamdulillah. Acara sudah berjalan dengan sangat lancar dan baik atas izin Allah dan bantuan semua pihak. Kami dari pihak keluarga Abi Yahya, mengucapkan ribuan terima kasih untuk saudara semuanya yang berkenan direpotkan dan hadir dalam acara tahlilan Abi sekaligus pernikahan dari adik kami – Nayla. Untuk sebab itu, kami mempersilakan para tamu dan keluarga besar untuk bisa menikmati hidangan yang sudah kami – tuan rumah sediakan. Salah dan khilaf mohon dimaafkan. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” “Waalaukumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Semua orang menjawab dengan serempak ucapan salam penutup dari Ali dan perlahan orang-orang mulai berdiri untuk mengantri mengambil makanan yang sudah terhidang di halaman luar dengan beberapa orang santri yang menjaga hidangan itu sejak tadi. Sementara Nayla dan Ridho sudah selesai saling sungkem kepada keluarga dan orang tua mereka. Duduk di tengah keluarga dan Nayla diberikan sekotak perhiasan dari orang tua Ridho. Di dalamnya berisi cincin, gelang, dan juga kalung emas yang harganya sudah jelas sangat mahal. Meski tidak terlalu jelas, tapi Nayla bisa merasakan bahwa senyuman ibu mertuanya tidak lah tulus kepada dirinya. “Awas aja kalau sampai dia macam-macam sama aku, aku nggak akan tinggal diam. Aku nggak akan jadi istri seperti yang ada di dalam sinteron itu!” batin Nayla dengan menatap lurus pada senyum palsu ibu mertuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD