“A-apa maksudmu? Aku tidak menyembunyikan apapun,” balas Jena gugup, berusaha setenang mungkin. Tapi, Lia yang memasang wajah serius, menatapnya masih dalam keadaan menunggu jawaban. Sorot matanya benar-benar kuat dan bercahaya tegas. Jena merasa tidak nyaman, lalu memiringkan kepalanya sedikit. “Jika pembicaraan kita berdua berakhir buntu seperti ini. Maka pulanglah, Lia. Ini tidak ada gunanya.” Lia melunakkan ekspresi, merilekskan tubuhnya. Helaan napasnya berat, lalu menarik kursi tunggal tak jauh dari dekatnya untuk duduk di sana. Jena melirik cemas, memerhatikan kalau wanita berkacamata itu sudah duduk cantik. Dia pun menolehkan kepala melihatnya yang begitu sabar dan tenang. “Aku tidak akan pergi sampai kau mengatakan yang sebenarnya kepadaku. Jika benar kamu mengalami amnesia,