SUASANA rumah Devan waktu subuh sudah mulai sibuk dengan kegiatan persiapan salat Subuh. Seluruh keluarga berkumpul di ruangan depan dengan imam Papi Herman. Tak ketinggalan Rini dan Bi Sumi.
Selesai salat dan bersalaman dengan orang tuanya, Devan segera berlalu tanpa melihat Rini lagi, dan Rini pun hanya meliriknya sekilas. Ia kembali sedih teringat ayahnya yang telah tiada.
Rini kembali ke kamarnya, berganti baju, dan mulai beraktivitas pagi seperti saat ia masih di desa. Ia biasa bangun subuh. Selesai salat, biasanya Rini memasak nasi beserta lauknya, lalu bersih-bersih rumah. Sebab ia hanya tinggal bersama ayahnya, segala keperluan Rini yang mengurus.
Rini mulai membantu Bi Sumi di dapur, membuat nasi goreng campur untuk dirinya sendiri karena kata Bi Sumi orang-orang di rumah jarang sarapan nasi goreng. Selesai memasak, Rini membantu mencuci piring. Setelah itu, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya sebelum memakan sarapannya.
Devan yang sudah selesai dengan olahraga paginya berjalan menuju dapur untuk mengambil air putih hangat. Saat hendak kembali, dirinya melihat ada nasi goreng di meja, iseng dicobanya dan ternyata rasanya sangat enak, pas di lidahnya.
Devan terus menyuapkan nasi hingga tidak terasa tinggal suapan terakhir—tepat saat itu, Bi Sumi masuk ke dapur.
“Tumben nasi goreng Bibi pas banget bumbunya,” ucap Devan mengacungkan dua jempol yang dibalas tawa Bi Sumi.
“Haha … itu, kan, nasi goreng Rini, dan dia juga yang masak.” Bi Sumi tertawa pelan melihat Devan yang salah tingkah. Tiba- tiba Rini masuk ke dapur dan mencari nasi gorengnya.
“Mhmm … maaf, nasi gorengnya sudah aku makan,” ucap Devan pada Rini dengan kepada tertunduk. Rini hanya manggut-manggut, lalu mengambil pisang goreng dan air hangatnya. Setelahnya, ia menuju ke taman belakang. Ia lebih nyaman duduk di taman belakang.
Akhhh!
Devan yang lanjut melihat jadwal di ponselnya, kaget mendengar suara teriakan. Bukan hanya ia, seisi rumah juga kaget dan segera menuju ke asal suara. Mata Mila terbelalak melihat apa yang terjadi.
“Rini!” pekik Bi Sumi melihat anak angkatnya itu mengaduh kesakitan sambil bersandar pada pohon.
“Ya Allah …. Kamu kenapa, Nak?” tanya Bi Sumi panik. “Pak, tolong gendong Rini dulu!” teriak Bi Sumi pada suaminya yang juga bekerja di rumah Devan sebagai sopir pribadi papi Devan.
“Biar saya saja yang gendong, Pak,” ucap Devan spontan, lalu segera menggendong Rini. Ia langsung membawa Rini ke mobil atas anjuran Mila.
“Loh, mau dibawa ke mana ini, Nyonya?” tanya Rini sambil meringis menahan sakit.
“Ke rumah sakit,” ucap Mila yang segera menyuruh Bi Sumi duluan, sedangkan ia akan menyusul. Devan tidak ikut, hanya Bi Sumi dan suaminya yang mengantar Rini.
“Kamu kenapa tadi, Nak?” tanya Bi Sumi dengan wajah khawatir saat mereka sudah di dalam mobil.
“Jatuh dari pohon, Bi. Tadi Rini lihat ada sarang burung yang jatuh, jadi Rini taruh lagi ke atas pohon. Pas mau turun, udah di dahan yang bawah, eh, pegangan Rini kurang kuat,” ucap Rini masih meringis menahan sakit. “Ini kenapa dibawa ke rumah sakit segala, sih, Bi? Kan, diurut sama Bibi saja pasti sembuh.”
“Sudah, dibawa ke rumah sakit saja biar tahu yang mana yang sakit,” ucap Bi Sumi yang membuat Rini bergidik. Ia takut disuntik dan minum obat.
“Pulang saja, ya, Bi,” tawar Rini lagi yang benar-benar takut. “Enggak apa-apa, Nak, ada bibi sama Ayah juga,” ucap Bi Sumi menunjuk suaminya yang memang sedari kecil dipanggil Rini ayah. Bi Sumi tetap dipanggil bibi walau ia sudah mengajari
Rini memanggilnya dengan sebutan ibu.
Tiba di rumah sakit, Rini segera masuk yang langsung ditolong perawat dengan membawakan kursi roda. Setelah melalui pemeriksaan, Rini hanya mengalami memar di kakinya, tapi diharuskan menginap dulu satu malam untuk pemeriksaan lanjutan.
“Bi Sumi,” panggil suara yang sangat Bi Sumi kenal. “Bibi, kok, di sini? Siapa yang sakit?” Adrianlah yang tadi memanggilnya.
“Itu, Mas, anak angkat bibi tadi jatuh dari pohon, tapi sudah enggak apa-apa. Ini masih menunggu si bapak pulang ngambil uang. Tadi terburu-buru sampai dompetpun bibilupa. Buat ngurus administrasi dan tebus obat Rini,” jelas Bi Sumi pada Adrian.
“Nanti biar Ian yang urus administrasinya, Bi. Kalau ada apa-apa panggil Ian saja, ya.” Adrian tersenyum pada wanita yang seusia maminya tersebut.
“Ndak usah, Mas, itu si bapak udah pulang ngambil uangnya,” tolak Bi Sumi karena majikannya selalu saja membantunya, membuatia merasa tidak enak.
“Hahaha … kalau bibi nolak, nanti Ian bilang sama mami, lho.” Adrian tertawa pelan karena tahu Bi Sumi akan terdiam jika sudah menghadapi maminya.
“Terima kasih, Mas. Ajak Non Freya ke rumah, ya, nanti bibi masakin masakan kesukaan Mas Ian sama Non Freya,” ucap Bi Sumi dengan senyum tulusnya.
Bi Sumi lebih dekat dengan Devan karena ia yang mengasuh Devan dari kecil, sedangkan Adrian lebih banyak diasuh maminya karena saat itu papi mulai melarang mami bekerja dan melakukan kegiatan yang tidak perlu di luar rumah.
“Iya, Bi, nanti kalau weekend Ian ajak Freya ke rumah biar Freya gemuk kalau terus makan. Apalagi dia suka sekali sama masakannya Bi Sumi,” ucap Adrian, lalu berpamitan pada Bi Sumi karena ia juga harus memeriksa pasien dan mengurus biaya administrasi Rini.
Bi Sumi lalu masuk kembali ke kamar Rini. Saat itu Rini sedang duduk sambil bersandar di kepala tempat tidur. “Pulang saja, ya, Bi. Rini enggak betah di sini, apalagi lihat obat sama jarum suntik,” ucap Rini bergidik takut. Sejak kecil Rini memang tidak suka minum obat.
“Jangan, Nak, di sini dulu. Kita periksa dulu lebih lanjut. Enggak apa-apa, kok, jangan takut,” ucap Bi Sumi sambil membelai rambut putri angkatnya itu. Rini hanya diam saja karena tidak enak rasanya terus membantah.
“Nanti bibi mau pulang dulu. Kamu enggak apa-apa, ya, sendiri sebentar? Selesai urusan di rumah, bibi balik ke sini lagi.” Bi Sumi merasa tidak enak jika harus berlama-lama di rumah sakit walau nyonyanya pasti mengizinkan.
“Iya, Bi, Rini enggak apa-apa. Maafin Rini, ya, sudah merepotkan Bibi sama ayah.” Sambil menerawang, lagi-lagi ia kembali teringat pada ayahnya.
Sebenarnya ia ingin bicara pada Devan agar bisa segera menceraikannya, tapi pria itu terlihat begitu cuek dan Rini takut mendekatinya. Apalagi saat menggendong Rini tadi. Walau panik, wajah Devan tetap datar dan tidak bersahabat. Rini ingin segera pergi dari rumah tempat Bi Sumi bekerja dan mencoba mencari pekerjaan.
“Kamu mikir apa, Nak? Bibi sama ayah enggak merasa kamu repotkan. Kami sudah menganggap kamu seperti anak kami sendiri,” jawab Bi Sumi sambil tersenyum. Ia kasihan pada Rini. Walau sebenarnya ia punya saudara, Bi Sumi akan berusaha menyembunyikan Rini dari tantenya itu hingga tiba saatnya mereka bertemu. Setelah Bi Sumi pulang, tinggallah Rini sendiri. Merasa bosan, ia mencoba untuk tidur, melupakan sejenak kesedihannya.