"Rosa!" pekik seorang perempuan paruh baya yang tiba-tiba menangkap basah Rosa yang sedang masuk ke dalam rumah bibinya dengan cara mengendap-endap. Perempuan paruh baya yang bernama Anda itu memandang Rosa- keponakannya- dengan heran. Ia berjalan ke arah Rosa yang tubuhnya basah karena kehujanan. "Kenapa kamu bisa basah kuyup gini sih?" tanya Anda pada Rosa. Tangannya menjamah tubuh Rosa sana sini, membuat Rosa risih.
"Disiram sama langit, bibi, " jawab Rosa ngasal.
"Hemmm ... Lagian kamu kok bisa-bisanya sih kehujanan gitu. Gak bawa payung?" tanya Anda lagi. Rosa memilih melenggang ke dapur. Perutnya lapar dan berharap di kulkas ada makanan sisa. Sisa apa aja yang bisa dimakan.
"Gak. Rosa lupa," jawab Rosa seraya membuka kulkas dan mengeluarkan air dingin. Perutnya lapar dan ia ingin makan, tapi di kulkas bahkan tak ada makanan. Tak ada sisa. Jangankan sisa, jejak piring atau kantong makanan aja gak ada. Itu berarti bibinya tak masak hari ini. Ia merasa bersalah karena pulang tak bawa makanan. Ia sedih melihat kulkas kosong.
Rosa meneguk air yang ia ambil dari kulkas dan telah ia tuang ke gelasnya. Anda mendekatinya perlahan.
"Kamu lapar, ya?" tanya Anda merasa bersalah karena makan siang telah ia habiskan. Rosa menggeleng ke arahnya.
"Tadi pas wawancara ketemu cowok cakep, dia pinjem telepon aku dan aku dikasih nasi bungkus," kata Rosa setengah bohong setengah jujur. Ia memang ketemu cowok yang pinjem ponselnya tapi cowok itu bahkan gak memberinya nasi bungkus. Bibi menatap Rosa penuh curiga, ia tak yakin apa yang dikatakan Rosa itu benar.
Anda berlalu dari dapur dan masuk ke kamarnya, ia membuka dompetnya dan menemukan uang dua ratus ribu di sana. Ia menoleh ke kalender, masih tanggal lima dan masih ada dua puluh lima hari lagi sebelum uang pensiunnya yang tak seberapa itu turun. Ia menghela napas, bagaimana cara membagi uang dua ratus ribu untuk dua puluh lima hari?
Ah, sudahlah.
Anda keluar kamar dan tak mendapati Rosa di dapur. Ia memanggil keponakan kesayangannya tersebut tapi tak ada sahutan sama sekali. Lalu Anda ke halaman belakang rumah, di sana rupanya ia melihat Rosa sedang mengambil sayur yang gadis itu tanam. Rupanya gadis itu telah selesai mandi dan mengganti pakaian basahnya tadi.
"Bibi keluar dulu ya, beli tempe, malam ini kita nyambal tempe sama ngelalap aja," kata Anda dan Rosa mengacungkan jempolnya.
Sawi yang ada di tangan Rosa itu segera ia bersihkan dan ia rebus begitu saja. Tak ada bumbu dapur, jadi ia sering makan tempe dikukus dengan sambal terasi dan sayur yang dipetik di belakang rumah.
Sementara ia merebus, ia kemudian melihat beras. Rosa menghela napas berat, beras yang dibelinya sebanyak tiga liter seminggu kemarin itu tinggal segelas saja.
"Gak papa, tambahin air biar lemes dan nanti kelihatan banyak," kata Rosa menjaga perasaannya sendiri.
Kadang hidup kayak gitu membuat Rosa ingin segera nikah biar ada yang menjamin hidupnya. Gak papa jadi emak-emak berdaster asal perut gak lapar, token listirk gak terus bunyi, air gak mati dan yang terpenting rumah gak ngontrak. Tapi, Rosa gak mau jadi perempuan yang udah nikah lalu sang suami kawin lagi dengan alasan syariat agama, mencontoh nabi dan hidup Rosa jadi ngenes kayak tokoh utama sinetron ikan terbang. Belum lagi kalau punya anak.
Nggak!
Akhirnya, sambil mencuci beras dengan semangat, Rosa berpikir kalau ia harus kerja di perusahaan besar dan jadi staff yang cantik serta pintar. Lalu naik tingkat jadi sekretaris bos. Sapa tahu nanti dia jadi istri bos dan hidup mewah.
Rosa tersenyum senang membayangkan bagaimana dirinya nanti akan jadi toko mas berjalan karena emas-emas yang ia pakai.
Ah, Senangnya!
"Rosa! Kamu cuci berasnya kok kayak nyuci baju aja! Hancur tuh!" bibi datang dan membuyarkan Lamunan Rosa yang indah. Rosa bahkan hampir terbang, terbukti kakinya sedari tadi terus berjinjit sebelum bibi datang dan beras di baskom menjadi pecah kecil-kecil.
"Enak kecil-kecil, bi. Jadi kelihatan banyak nanti kalau makan," jawab Rosa dan bibi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja, tanda tak paham dengan apa yang Rosa pikirkan itu.
Bibi ambil wajan dan hendak menuangkan minyak yang tinggal sedikit, tapi buru-buru Rosa mencegahnya. Bibi menoleh ke arah Rosa dan menatapnya dengan bingung.
"Dikukus terus dipenyet sama sambal terasi," saran Rosa. Anda mengangguk setuju.
"Hampir tiap hari kita makan tempe kukus, Sa. Kamu gak bosen?" tanya Anda.
"Saran ibu mantan presiden itu sangat berguna di tengah-tengah harga minyak yang naik," kata Rosa dengan senyum yang mengembang.
"Ihh! Tapi sekarang banyak minyak curah," kata sang bibi.
"Sama aja, tetep beli, kan?" tanya Rosa.
Rosa dan Anda melanjutkan aktifitasnya kembali di dapur. Banyak hal yang diceritakan oleh Rosa. Hal-hal kecil yang membuat bibinya selalu tertawa dan merasa bahagia. Rosa pandai melucu dan Anda senang menghabiskan sisa waktunya bersama dengan Rosa.
Saking lucunya, Anda sampai tertawa terbahak-bahak hingga perutnya sakit dan ia juga batuk-batuk. Rosa pikir hal itu biasa terjadi, tapi melihat bibinya yang batuk-batuk terus, Rosa mulai cemas.
Rosa segera beranjak dari aktivitasnya mengulek sambal dan berlari ke arah air dalam galon. Rosa kembali ke meja makan dimana sang bibi masih terbatuk-batuk. Dia memberikan air di gelas yang segera diterima dengan senang hati oleh Anda. Anda meminumnya dan berharap sesak di dadanya serta gatal di tenggorokannya hilang.
Sayang, harapan sederhana Anda dan Rosa tak terwujud. Batuk Anda semakin menjadi-jadi, dan kini ia juga muntah darah. Melihat hal itu Anda segera beranjak menjauh dari Rosa, ia tak ingin keponakan tersayangnya itu tertular penyakitnya. Batuk berdarah yang ia pikir mungkin adalah penyakit tubercolosis atau TBC.
"Bibi!" seru Rosa kesal karena setiap kali ia maju untuk membantu Anda, Anda selalu mundur dari hadapan Rosa. Rosa tak tega. Ia tahu akhir-akhir ini bibinya sering batuk dan setiap kali ia meminta sang bibi untuk berobat, tiap kali itu pula sang bibi menolak. Rosa tahu kenapa, mereka tak punya uang untuk pergi ke rumah sakit.
Rosa berlari ke kamarnya dan langsung menyambar tas kecilnya yang menggantung di tembok. Mau tak mau ia akan membawa paksa bibinya ke rumah sakit malam ini. Ia tak ingin kehilangan satu-satunya keluarganya yang tersisa di dunia ini. Apapun akan ia lakukan agar bibinya selamat.
Rosa membuka laci lemarinya dan mengeluarkan celengannya. Ia memecah celengannya ke lantai. Anda mendengar suara pecahan itu, ia ingin beranjak, tapi dadanya sakit. Jadi Anda pasrah di lantai.
Rosa memungut uang hasil tabungannya sejak ia sekolah dasar sampai sekarang. Rosa sempat kaget karena tak menyangka sama sekali kalau uang celengannya banyak. Seingatnya, ia jarang mengisi celengannya itu. Lalu siapa yang mengisinya?
Ahh! Gak penting siapa yang ngisi. Mungkin ada tuyul yang baik hati yang miris lihat celengan Rosa yang sedikit dan memutuskan uang hasil curiannya dimasukkan sebagian ke celengan Rosa.
Sesederhana itu pola pikir Rosa.
Ia memunguti uang-uang itu dan menatap nanar celengannya yang pecah. Ia berharap tuyul masih akan datang ke kamarnya dan menyelipkan uang hasil curiannya ke sela-sela baju Rosa.
Rosa tetap berpikir positif tapi gak realistis. Hidup susahnya adalah drama tragedi, jadi ia harus tetap waras dengan cara bikin alur komedi di hidupnya.
Rosa keluar kamar setelah memasukkan uangnya begitu saja ke dalam tasnya. Ia tak sempat menata uangnya itu dan memilih memprioritaskan bibinya.
"Bibi ikut saya ke rumah sakit sekarang!" kata Rosa seraya membantu bibinya berdiri dari duduknya. Anda menggeleng kuat-kuat ke arah Rosa, ia benar-benar tak bisa ke rumah sakit. Uangnya tinggal seratus sembilan puluh ribu saja.
Rosa kesal. Bibinya gak mau berdiri. Jadi Rosa dengan semangat kemerdekaan yang ke tujuh puluh tujuh tahun, menggendong bibinya di kedua tangannya dan langsung berlari keluar rumah. Anda hanya bisa melongo dengan aksi heroik Rosa itu.
***
"Bu Anda terkena kanker paru-paru," kata dokter lelaki paruh baya di hadapan Rosa yang kaget mendengar ucapan dokter tersebut.
"Kanker?" tanya Rosa dengan suara pelan.
"Stadium 2. Beliau harus mendapatkan perawatan insentif dari rumah sakit," kata dokter itu kembali. Rosa tak tahu harus berkata apa lagi. Ia terdiam dan membeku. Langit seolah runtuh di hadapannya saat ini. Ia merasa tak berdaya. Pikirannya penuh dan yang terutama ia tak mengerti harus mencari biaya pengobatan ke mana lagi.
Setelah mendengar penjelasan tentang kondisi bibinya, Rosa keluar ruangan dokter itu dengan lemas. Telinganya masih terngiang-ngiang ucapan dokter itu yang mengatakan sang bibi harus menjalani kemoterapi dan berbagai pengobatan lainnya.
Sementara ini sang bibi akan dirawat menggunakan kartu kesehatan gratis yang diberikan oleh pemerintah. Tapi Rosa ingin memberikan perawatan lebih baik dan terjamin kepada bibinya. Hanya saja ia tak mampu akan hal tersebut.
Saat sedang berjalan dengan kaki lemas di sepanjang lorong rumah sakit, tanpa ia sadari ia tengah berpapasan dengan pria yang telah meminjam ponselnya di halte tadi sore. Pria itu sedang tergesa-gesa menuju ruangan IGD dengan troli tempat tidur yang juga didorong oleh tiga perawat.
Langkah kaki Rosa terhenti. Ia menoleh ke belakang dan melihat punggung lelaki itu menjauh.
Satu hal yang Rosa punya adalah insting dan perasaannya sangat tajam. Instingnya selalu benar dan tak pernah keliru. Sekarang instingnya sedang bekerja mempengaruhinya dengan mengatakan bahwa pria kaya yang sempat miskin sesaat di halte saat bertemu dengannya tadi akan bisa menyelamatkan hidupnya dari kesusahan. Bagaimana caranya? Rosa tak tahu. Ia akan cari tahu.
Rosa mengikuti langkah kaki pria tadi yang sudah menghilang masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat. Di ruang itu Rosa menoleh ke kanan dan kiri mencari pria tadi.
"Ganteng banget, ya!" seru seseorang di dekat Rosa. Meski dengan suara pelan karena tiga orang perempuan di sebelahnya yang sedang menangani pasien itu bergossip, Rosa bisa mendengarnya dengan baik.
"Dia pemilik Lampion Propery," jawab yang lainnya.
"Tadi yang sakit istrinya?"
"Iya. Cantik banget, kan? Namanya Marina Seloria, lo tahu pelukis terkenal yang punya galeri langganan konglomerat? Nah itu dia, si Marina!" kata perawat yang lainnya.
Mata Rosa membulat sempurna karena mendengar nama Marina disebut barusan. Rosa langsung merasa instingnya keliru. Dan ia pun berbalik, tapi sayang ia malah menabrak tubuh Andrew hingga botol infus yang ada di tangan Andrew jatuh.
Sial!
Pertemuan kedua yang tak memberikan kesan baik.