Bab 5

860 Words
"Anjir !" Umpat Mili, inginnya ia mati saja. Ia memeluk bantal memahan geram. Apa dengan membalas ciuman dia, seenaknya mengatakan bahwa menjadi milknya?. Jujur ia sama sekali tidak mengenal Raja. Laki-laki itu tidak bisa seenaknya seperti ini. Dia pikir ia cewek murahan yang mau sama siapa. Huh ! Jangan harap Raja bisa menghakiminya begitu saja. Mili tidak ingin Raja bersikap tidak adil seperti ini. Ia butuh jalur hukum atas perbuatan Raja. Raja sudah bertindak asusila kepadanya. Ia kembali teringat bagaimana jika Raja adalah seorang psikopat. Oh Tidak, ia tidak bisa membayangka kehidupannya setelah ini. "Yang benar saja !," "Oh Tuhan, gue pacarnya dokter m***m, yang nggak tau diri. Langsung mengklaim bahwa dirinya adalah sang pacar?," Proses pacaran itu memerlukan waktu yang lama bahkan berbulan-bulan. Setidaknya mereka harus saling mengenal satu sama lain. The happy cloud menjadi tahapan awal untuk memulai hubungan. Hingga akhirnya proses jatuh cinta. Setelah itu saling mengenal kepribadian satu sama lain. Lalu keduanya belajar menjadi kesempurnaan. Bukan seperti ini, ia bahkan baru mengenal Raja dalam hitungan jam. Mili dengan cepat mentap layar ponsel, ada beberapa pesan masuk. Ternyata dia dokter gila itu. "Halo," "Aku udah nyampe rumah. Kamu istirahat, besok aku jemput kamu jam 5 sore acara reuni," "Noted, jangan kabur," Mili nyaris menganga mendengar kata jangan kabur. Sepertinya Raja tahu apa yang dipikirannya. Hal yang pertama ia pikirkan tadi memang kabur dari pria itu. Mili memandang ke arah layar ponsel. "Niar Calling" Mili menarik nafas, ia duduk disisi tempat tidur. Ia menangkan emosinya. Lalu menggeser tombol hijau pada layar, ia meletakan ponsel ditelinga kiri. Mili yakin sepupunya ini ingin tahu siapa yang ia bawa tadi diacara pertunangannya tadi. "Iya Niar," Mili memandang balkon kamar, ia mengambil tisu dan mengusap bibir. Bibirnya terasa kebas karena lumatan Raja beberapa menit yang lalu. "OMG ! pacar lo dokter?," "Sok tau," "Kata nyokap lo, itu pacar lo ! Gila keren parah, internist? Dimana? Lo kok nggak pernah cerita ke gue, dapat cowok keren, dokter pula !" Mili menyungging senyum mendengar deretan pertanyaan Niar. Ada kebanggaan tersendiri ketika Niar mengetahui ia memiliki pacar dokter keren seperti Raja. Biasanya Niar selalu membanggakan kekasihnya itu, bahwa dia selalu lebih unggul, darinya. "Jerman," "OMG ! beneran di Jerman !," "Iya," "Lo, kok ngga pernah cerita?," Niar semakin ingin tahu. "Ya gue sih emang dasarnya nggak mau pamer aja. Gue beda lah, bukan lo !," timpal Mili lalu terkekeh. "Lo kapan nyusul gue?," Mili menarik nafas, ia membaringkan tubuhnya di sisi tempat tidur, "Gue nggak mau buru-buru, pacaran aja dulu," Mili tersenyum culas. "Tapi nyokap lo pengen banget lo nikah, punya anak," Niar menimpali, sepertinya wanita itu, mendesaknya untuk segera menikah sepertinya. Tanggapan seperti inilah yang paling ia tidak suka. Menganggap bahwa pernikahan sebagai prestasi, tujuan dan jaminan hidup. Ia salah satu wanita beruntung yang belum menikah, karena pada dasarnya ia belum siap. Ia harus berpikir ribuan kali tentang pasangan mana yang harus ia pilih sebagai pendamping hidup. Jujur ia tidak mengerti kenapa banyak anak muda yang berani mengambil tindakan menikah, padahal mereka baru berpacaran satu bulan. Apalagi finansial belum cukup baik dan tabungan hanya sekedarnya saja. Ia mengiris ngeri mendengar kisah-kisah anak muda yang berani menikah semuda itu, seperti melihat seseorang melompat ke dalam jurang. Mereka sangat gila dan nekat menurutnya. Banyak teman-temannya di luar sana menyesal menikah secepat itu, karena setelah menikah mereka seperti terkurung dirumah dan mengabdi kepada keluarga. Menurutnya pernikahan bukanlah perlombaan. "Biarin, ngapain nikah cepet-cepet," dengus Mili, gini nih kalau berhadapan dengan Niar, nggak pernah akur. "Harusnya lo liat gue, gue tiga bulan lagi nikah," "Bodo amat, gue mah seneng-seneng dulu. Nikmati masa-masa singel gue," Mili lalu terkekeh. "Ih enakan nikah, ada suami, ada temenya," ucap Niar melakukan pembelaan. "Terus," "Ya enak, bisa enak-enak," "Pacaran juga bisa enak-enak, dimanapun, kapanpun," ucap Mili asal. "Berarti lo pernah, sama si dokter itu?," "Iyalah," "Jago?," "Pastinya," "Hotel mana?," "Mau tau aja," "Miliii ...!" "Udah deh jangan kepo, lo tau kan pacar gue lebih keren dari pada tunangan lo," "Ya cakepan pacar gue kemana-mana lah, manager BI," "Iya, iya tunangan lo paling keren. Mau lo apa?," Ucap Mili to the point. Karena ia tahu, jika Niar menghubunginya ada maksud tertentu, bukan hanya sekedar menelfon menanyakan tentang Raja. Niar menarik nafas, "Temenin gue ke pameran wedding," "Tuh kan, lo ada maunya," "Temenin Mil," "Sama tunangan lo si manager BI itu aja," "Sibuk kerja, soalnya wedding exponya lusa gitu. Ya hitung-hitung kita jalan, udah lama kan nggak jalan, ngemall, nge-grill, spa, lunch, semua gue traktir," "Hemmm," "Thank you so much, gue do'ain deh biar lo cepet nyusul gue nikah," Amiinnn teriak Mili dalam hati, ia merubah posisi kesamping. "Yaudah Mil, makasih ya, gue mau tidur capek," "Iya," Mili mematikan sambungan telfonnya, ia berjalan menuju kamar mandi. Segera membersihkan make up dan mengganti pakaian. Hari ini penuh dengan janji-janji yang mengerikan. Oke lah, Niar memang selalu dapat diandalkan dan ada sedikit sisi baik. Dan si Raja, dokter m***m otaknya hanya tidur-tidur membuatnya hampir gila. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana besok jika mereka bersama ke acara reuni. Bagaimana reaksinya? Apakah benar acara reuni? Atau dibawa ke kamar hotel? Semoga saja besok ada badai, sehingga Raja tidak bisa menjemputnya. Sepertinya Itu hanya expetasinya saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD