Part 2 - Jadi Isteri dan Ibu mendadak

2045 Words
“AYAHHH BURUAN KESINIII!” Seharusnya bukan bocah itu yang berteriak histeris ketika ia membuka kelopak mata dan membuat beberapa orang masuk ke dalam ruang rawatnya. Gendis yang harusnya berteriak karena terbangun di tubuh orang lain. Gendis sekarang mengerti ucapakan terakhi Malaikat sialan itu padanya. Ia memang hidup kembali namun bukan di tubuhnya. Mudahnya, jiwanya masuk ke dalam tubuh orang lain. Lupakan tentang itu sejenak, karena ia memiliki waktu yang panjang untuk memikirkannya. Ada hal penting yang harus dilakukannya sekarang, yaitu pada orang-orang yang berada di depan ranjang, menatapnya penasaran seolah ia adalah alien yang baru saja sampai bumi. “Mbak Gendis udah bangun?” tanya seorang gadis muda sambil tersenyum manis ke arahnya. Gendis mengerutkan dahinya ketika mendengar panggilan gadis itu, sontak saja ia menatap gelang di tangannya ketika mendengar panggilan gadis muda itu, Ny. Gendis Khalila. Jadi pemilik tubuh ini punya nama sama dengannya? Batin Gendis. “Kenapa? Jangan bilang kalo kepala kosong kamu itu terbantur, jadi lupa ingatan?” tanya seorang pria terdengar angkuh sambil menatap datar ke arah Gendis. “Kepala kosong? Siapa yang bilang kepala kosong hah?!” balas Gendis tak terima, membuat pria itu terkejut. Tidak hanya pria itu sebenarnya, gadis muda tadi dan dua anak laki-laki yang berada di sebelah ranjangnya ikut tercengang. “Wah, Ibuk beneran lupa ingatan!” seru anak laki-laki yang pertama kali Gandis lihat saat bangun. “Mbak Gendis, Ini Kak Gyan. Suaminya Mbak,” ujar gadis muda itu dengan ekspresi terlihat khawatir. “Suami? Pria sok keren kayak gini?” tanya Gendis dengan nada terkejut. “Asal lo tahu ya, gue ini Gendis Ru—-“ Belum selesai mengatakannya, tiba-tiba sosok Malaikat yang ditemuinya saat mati itu muncul sambil menggelengkan kepala membuat Gendis bungkam. Ah, wanita itu lupa dengan pesan Malaikat itu untuk tidak mengatakan siapa dirinya. Lebih baik sekarang ia turuti saja kemauan Malaikat itu daripada terjadi sesuatu yang buruk padanya. Gendis tidak mau mati dua kali. Sebenarnya, banyak pertanyaan yang ingin Gendis ajukan pada Malaikat itu sekarang. Tapi, bagaimana caranya ia bisa mengusir orang-orang ini? Aha! “Aduh, aww!” Gendis tiba-tiba memegang kepalanya, ekspresi wajahnya seolah menahan sakit. “Duh, kayaknya gue butuh istirahat yang tenang,” ucapnya sambil membuat empat orang disana saling menatap. “Kalo gitu, Kina sama yang lain keluar dulu ya, Mbak.” Keempat orang itu akhirnya pergi dari ruangan Gendis membuatnya bisa bernafas dengan lega. Ia lalu menatap ke arah kiri dan kanannya, untung hanya ia yang berada di ruangan ini sekarang. Namun ada hal yang membuat Gendis kesal, masa dirinya harus berbagi ruang rawat bersama pasien lainnya? Apa keluarga pemilik tubuh ini berasal dari keluarga miskin sehingga tidak bisa menyewa kamar sendiri? Bagaimana ia beristirahat jika satu kamar diisi tiga orang dan hanya dibatasi tirai? “Astaga sialan!” pekik Gendis ketika Malaikat itu tiba-tiba muncul di hadapannya. Untung ia tidak terkena serangan jantung dan kembali mati. “Kenapa gue masuk ke tubuh orang lain?” tanya Gendis to the point. “Tubuh kamu yang sebelumnya sudah hancur.” Gendis yang mendengarnya sontak meneguk ludahnya susah payah, seketika ia merinding saat mengingat bagaimana rasa sakitnya dihantam mobil dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya pasti hancur. “Tapi, kenapa harus ditubuh wanita ini sih? Kenapa enggak wanita kaya raya lain?” tanya Gendis heran, ia sudah bisa menebak bahwa wanita pemilik tubuh ini berasal dari keluarga sederhana yang tidak akan bisa mengikuti keinginannya. Malaikat itu menggelengkan kepalanya. “Kamu harusnya bersyukur, Gendis. Diluar sana, masih banyak jiwa-jiwa yang ingin berada diposisi kamu sekarang. Diberi kesempatan kedua.” “Terlalu banyak kesalahan yang kamu lakukan di masa lalu dan akhirnya kamu diberi kesempatan untuk menebusnya. Pergunakanlah dengan baik hingga batas waktunya.” “Jadi maksud lo gue akan tetap ditubuh ini sampai gue eumm... mati lagi?” tanya Gendis ragu. Malaikat itu mengangguk sambil mengambil buah apel yang ada di atas nakas ruangannya. “Terus orang yang ditubuh ini kemana?” “Oh, seorang Gandis peduli dengan orang lain?” tanya Malaikat itu sambil menatap ejek ke arahnya. “Gue cuman nanya, enggak lucu kan kalo roh orang itu muncul dan pengen ambil tubuhnya.” Tidak lucukan jika ia dihantui? “Dia udah mati, bener-bener mati,” jawab Malaikat. “Saya enggak bisa memberitahu kamu bagaimana kehidupan setelah mati, kecuali kalo kamu benar-benar sudah mati.” “Lo enggak ngasih informasi sedikit pun tentang wanita ini gitu buat bertahan hidup?” tanya Gendis, dulu dikehidupan sebelumya. Informasi adalah senjata terkuatnya untuk menghancurkan musuh. Malaikat itu menggeleng sambil menggigit apel. “Pokoknya selamat menjalani hari kamu. Dan, satu lagi. Jangan pernah memberi tahu siapa kamu sebenarnya.” Malaikat itu tiba-tiba hilang, tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. “Jadi, sekarang gue mau ngapain?” tanya Gendis yang bingung dengan sendiri. Ia lalu menghela nafas dan menatap ke arah tirai pembatas. Jika dipikir-pikir, di kehidupan lamanya, Gendis sama sekali tidak memiliki tujuan hidup kecuali bekerja. Ia tidak memiliki keluarga ataupun teman yang bisa diajak jalan sehabis pulang kerja. Ia benar-benar sendiri. Jadi ketika ia dinyatakan mati, tidak ada yang membuat Gendis menyesal. Toh, tidak ada yang akan menangisinya. Ia akan dilupakan mungkin paling lama satu bulan—ah, mengingat betapa buruknya perilakunya semasa hidup. Mereka akan melupakan Gandis selama satu hari. Betapa menyedihkan dirinya. Jadi, apa ini kesempatan kedua untuknya memulai hidup yang baru? “Udah berapa lama ya gue tidur?” tanya Gendis sambil melihat ke arah kalender. Matanya membulat ketika mengingat tanggal ini. “Gue lupa kalo hari ini ada presentasi!” Gendis langsung melompat dari ranjangnya, ia harus segera menuju kantornya untuk mengungkapkan orang-orang yang merugikan perusahaan. Selain ingin mempresentasikan kerjaannya, Gendis sebenarnya ingin membuat semua orang yang ada di ruang rapat terkejut melihat apa yang ia akan tampilkan. Ini benar-benar penemuan terbesar yang didapatkannya. Ketika hendak pergi dari ruang rawat, ia melihat sebuah dompet tergeletak diatas nakas. Tanpa tahu itu milik siapa, Gendis langsung memgambilnya. Ia tidak memiliki uang sekarang. “Ibuk mau kemana?” tanya seorang anak laki-laki berusia 11 tahun ketika Gendis keluar dari ruang rawatnya. “I—ibuk?” tanya Gandis kebingungan, ia sama sekali belum mencari tahu apapun tentang tubuh wanita yang sekarang menjadi tubuhnya. Tapi, itu tidak penting untuk sekarang. “Yang lain kemana?” tanya Gendis mengedarkan pandangannya. “Semuanya pergi ke kantin,” jawab anak laki-laki itu membuat Gandis mengangguk. “Gue mau pergi, nanti kalo ada yang tanya gue kemana, bilang aja ada urusan!” “Tapi, Buk...” cegah anak itu menatap Gandis khawatir. Wanita itu tiba-tiba terpikir sesuatu, jika anak laki-laki ini adalah anaknya. Itu berarti bocah ini mengetahui tentang wanita bernama Gendis Kalila ini yang tubuhnya sekarang menjadi miliknya. Gandis menebak, pasti orang-orang yang mengenal sosok Gendis Kalila ini akan semakin banyak datang ke ruang rawatnya nanti. Jadi lebih baik ia mencari informasi saja dari anak ini. Gandis berbalik, mengambil tangan anak itu dan mengenggamnya. “Lo ikut gue.” ———- “Semuanya 450 ribu, Buk,” kata sopir taksi itu menyebutkan argo perjalanan dari Rumah Sakit menuju kantornya. “Ini,” ujar Gandis sambil memberi semua uang yang ada di dompet hitam itu. “Ini dompet siapa sih? Kartu ATM cuman satu, kartu kredit enggak ada, cash juga udah habis. Miskin banget,” ledek Gendis ketika turun dari taksi. Gaffi yang mendengar omelan ibunya itu meringis, andai Gendis tahu jika dompet yang ia pegang itu milik suaminya sendiri. “Ibuk,” panggil Gaffi membuat Gandis menoleh. “Ibuk pake jaket aku aja,” kata anak laki-laki itu memberikannya jaket yang ia kenakan pada Gendis. “Kenapa?” tanya Gendis yang sontak menatap tubuhnya. Detik selanjutnya, ia benar-benar ingin menenggelamkan dirinya yang masih mengenakan pakaian Rumah Sakit. Ia pun dengan terpaksa memakai jaket milik anak laki-laki yang baru ia ketahui namanya Gaffi. “Kita mau masuk ke dalam, Bu?” tanya Gaffi ketika mendongak dan langsung kagum saat melihat betapa besar dan tingginya gedung perusahaan ini. “Iya, lo pokoknya ikut gue aja. Jangan kemana-mana!” perintah Gendis membuat Gaffi mengangguk. “Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas keamanan ketika Gedis hendak masuk ke dalam. “Saya mau masuk ke dalam, hari ini saya ada presentasi,” kata Gendis dengan wajah datar, ia benar-benar tak sabar membuat orang-orang terkejut dengan penemuannya. Dan setelah itu ia akan dipuji dan dinaikan jabatan! Benar-benar luar biasa! “Kalo gitu, Mbak boleh tap id cardnya disana,” kata satpam itu menujuka mesin yang digunakan untuk izin masuk perusahaan besar itu. Seketika bola mata Gendis melotot ketika menyadari bahwa sekarang ia berada di tubuh orang lain. Astaga, kenapa ia bisa sampai melupakan hal ini? Ia bahkan tak tahu dimana id cardnya itu berada sekarang?! Dan sekarang apa yang harus ia lakukan? Berpikir! Berpikir, Gendis—batin wanita itu dalam hatinya. “Begini, Pak. Nama saya Gendis Kalila, temanya Gendis Ruli Indiarta. Bapak pasti kenalkan? Siapa yang enggak kenal perempuan keren itu?” tanya Gendis memasang wajah harap-harap cemas. Tapi, wajah satpam itu langsung berubah kesal ketika mendengar nama Gendis Ruli Indiarta. “Teman Buk Gendis Ruli Indiarta?” tanya Satpam itu membuat Gendis baru ingat, ia pernah memaki satpam ini karena menabraknya. “Saya kesini mau wakilin beliau untuk presentasi kantornya,” ucap Gendis, kali ini saja biarkan ia masuk dan membeberkan siapa yang membuat perusahaan rugi. “Berikan saja file presentasinya, nanti saya akan kasih ke atasan,” kata satpam itu membuat Gendis menggeleng. Bisa-bisa, isi filenya dihapus. “File ini penting banget, Pak. Enggak bisa dikasih ke sembarangan orang. Izinin saya masuk ya, Pak.” “Tidak memiliki id card, artinya tidak boleh masuk.” Satpam itu menggeleng dengan tegas membuat Gandis berdecak. “Bolehin saya masuk sebent—-“ “Tidak boleh!” tegas Satpam itu membuat Gendis kehabisan akal untuk masuk ke dalam perusahannya. Ide nekat tiba-tiba muncul di otaknya, jika tidak diperbolehkan masuk maka ia terobos saja! Sontak saja Satpam itu emosi dan hendak mendorong Gendis namun Gaffi yang tak terima ibunya hendak didorong langsung menghadang dan membuat bocah itu jatuh. “APA-APAAN KAMU HAH?! BERANI DORONG ANAK SAYA!” teriak Gendis naik emosi ketika melihat Gaffi tersungkur, entah amarah dari mana yang membuatnya sampai berteriak seperti ini. Namun itu seperti tak rela dan marah ketika bocah itu jatuh. “Ada apa ini?” tanya sebuah suara membuat Gendis sontak menoleh dan Satpam itu langsung memasang wajah ketakutan. “Ini biar satpam saja yang mengurusnya, Pak. Kita langsung saja ke ruang rapat,” ujar Vano pada pria yang lebih muda darinya. Gendis ingat, hari ini anak dari pemimpin perusahaan akan hadir dan memantau rapat karena sebentar lagi akan menggantikan jabatan Ayahnya. Kalo tak salah namanya Andrea Nugroho. “Perusahaan Pak Andre banyak yang korupsi!” teriak Gendis ketika anak pemimpin itu hendak masuk ke dalam perusahaan. Sontak saja itu membuat langkahnya berhenti dan berbalik menatap Gendis. “Pak, wanita itu sepertinya orang gila. Lihat pakaian Rumah Sakitnya, jadi tidak usah dihiraukan!” kata Vano membuat Gendis yang menderngar itu melotot. Sialan Vano, lihat saja nanti! Andre hendak mengangguk, mengikuti Vano tapi ketika melihat dengan jelas wanita itu. Seketika tubuhnya membeku ketika tahu siapa wanita yang sekarang ada di depannya. “Maksud kamu? Perusahaan Papa saya banyak yang korupsi?” tanya Andre berjalan mendekat ke arah Gendis itu memastikan bahwa wanita ini benar yang ia cari selama belasan tahun. “S—saya punya bukti bahwa banyak karyawan perusahaan yang korupsi,” jawab Gendis ketika sekarang semua mata tertuju padanya. “Apa kamu karyawan disini?” tanya Andre. “Dia bukan siapa-siapa, Pak. Ayo kita pergi dari sini,” ucap Vano yang mulai ketakutan ketika mendengar kata korupsi, padahal ia sudah lega ketika Gendis mati. “Saya memang bukan siapa-siapa, tapi Gendis Ruli Indiarta menitipkan sesuatu pada saya sebelum beliau meninggal.” Andre mengangguk. “Biarkan dia masuk!” ucapnya sambil menatap ke arah Gendis. Gendis yang mendengar itu sontak tersenyum dengan lebar, ia langsung menggengam tangan Gaffi untuk ikut masuk ke dalam perusahaan dengan riang. Lihat saja, ia akan memghabisi orang-orang disini! “Dia tidak perlu iku—“ Vano sontak bungkam ketika anak pimpinan perusaaan itu menatapnya tajam. Andre sendiri kembali mengarahkan pandangannya ke arah Gendis dan Gaffi yang sudah masuk lebih dulu. “Apa kamu melupakan aku, Lila?” lirih Andre ketika melihat wanita dengan pakaian Rumah Sakit itu terlihat sama sekali tidak mengenalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD