Part 3 - Mantan Kekasih Gendis Khalila

1631 Words
Suasana ruang rapat saat ini sudah ramai. Banyak sekali karyawan yang memiliki posisi yang tinggi di perusahaan berada disana. Sebagain memang berniat untuk melaksanakan tugasnya tapi sebagai lagi berniat untuk mendapatkan perhatian dari calon pemimpin baru perusahaan. “Katanya calon bos kita itu masih muda ya? Gue mau dekatin ah, siapa tahu dia suka,” bisik seorang gadis pada temannya yang melihat kedatangan anak pemimpin perusahaan. “Jangan mimpi, lo cuman karyawan biasa,” balas temannya sambil tertawa jahat. Andre tentu saja menjadi sorotan hangat di kantor. Pak Yudha—pria paruh baya yang selama ini menjabat sebagai pemimpin tidak pernah sama sekali mengenalkan anaknya pada karyawan. Ada desus-desus yang mengatakan bahwa anaknya itu adalah hasil selingkuhan. Namun tentu saja itu hanya gosip belakang, membuat mereka tak berani berbicara dengan suara yang keras ketika mengatakannya. “Selamat datang di ruang rapat, Pak Andre!” sapa seorang wanita yang berdiri di ruang rapat. Andre mengangguk kecil bertepatan dengan pintu ruangan itu dibuka, sepatu mahalnya melangkah masuk ke dalam ruang rapat dimana membuat karyawan yang tadi asik sendiri, menatapnya tak segan. “Sebelumya, mungkin kalian sudah tahu bahwa hari ini calon pemimpin perusahaan yang baru akan datang dan melihat rapat,” ujar Vano yang diberikan tugas dari Pak Yudha untuk memperkenalkan putranya. “Ini Pak Andre Nugroho, anak dari Pak Yudha Nugroho.” Banyak orang yang memperhatikan Andre namun beberapa juga memperhatikan ke arah perempuan dan seorang anak laki-laki di belakangnya. Mereka yang berada di dalam ruangan itu sontak bertanya-tanya, apa itu isteri dan anak Pak Andre? Tapi kenapa penampilannya tidak meyakinkan sekali. Gendis yang melihat tatapan tak meyakinkan orang-orang yang berada disini kepadanya, berdecih. Namun dalam hatinya ia langsung tertawa, lihatlah semua orang-orang itu, dirinya akan membongkar seberapa buruknya mereka. “Ini...” Vero menatap ke arah Gendis dengan tak suka. “Saya Khalila, teman baiknya Gendis Ruli Indiarta,” jawab Gendis tanpa keraguan sekali pun. Ia tenang dan nampak berwibawa. “Kenapa temannya si perempuan gila bekerja itu kesini? Apa kamu mau mengambil barang-barangnya, bukannya sudah dibuang ya?” tanya Bu Ismi membuat Gendis yang mendengarnya menggeram marah. Dulu saja di depannya, wanita itu selalu bertingkah baik dan manis. Ternyata dibelakangnya, ia mencibirnya. “Saya kesini ingin memberikan presentasi milik Gendis.” “Gendis memang wanita yang hebat tapi apa kamu mengerti tentang hal yang dikerjakannya?” tanya Pak Dono memandang ke arah tubuh Gendis Khalila tidak yakin. Tidak ingin membuat orang-orang disana curiga, Gendis pun berpikir cepat. “Hasil presentasinya itu disimpan di laptopnya dan saya tahu passwordnya.” “Laptop Gendis bukannnya sudah install ulang? Itu milik kantor, jadi setelah pemiliknya tidak ada akan diberikan ke orang yang baru.” Gendis yang mendengar itu membulatkan matanya. Ia lupa tentang hal ini dan betapa bodohnya dirinya yang tidak menyimpan file sepenting itu akun drivenya. Suasana di ruangan seketika menjadi hening, Gendis jadi tidak bisa memberi tahu Andre tentang kebusukan yang ada di kantor ini. “Pak Andre, apa saya usir saya mereka ini?” tanya Varo yang bisa bernafas lega, ia tadi sempat merasa takut saat mendengar apa yang diucapkan perempuan ini saat di pintu masuk. Bagaimana jika wanita itu benar-benar akan mengungkapkan kebusukannya dan yang lain? “Laptop Bu Gendis ada disini!” seorang wanita muda masuk, membawa sebuah laptop di tangannya. “Dewi!” seru Gendis luar biasa senang saat melihat sekretarisnya itu membawa laptopnya. Sedangkan Dewi yang sama sekali tidak pernah melihat wanita di depannya, sontak mengerutkan dahi. Bagaimana dia tahu namanya? “Ah, Gendis bilang kalo kamu Sekretasinya,” kata Gendis saat menyadari tatapan bingung Dewi. Ternyata berpura-pura menjadi orang lain dan melihat orang yang ia kenal itu sulit. “Silahkan tunjukan yang ingin kamu tampilkan.” Dewi lalu mengajak Gendis menuju sudut ruangan, dimana agar laptop bisa terhubung ke proyektor. Setelah passwordnya terbuka, Gendis langsung mengarahkan kusor ke file. Ia melihat sebuah file yang bertuliskan BUKTI KEJAHATAN lalu mengkliknya. Lalu ia membuka semua yang ada didalam sana. Video, dokomen dan beberapa bukti lainnya. Semua yang ada di ruangan rapat itu sontak tercengang, termasuk Bu Ismi dan Varo yang sudah pucat. Gendis masih baik pada kedua orang itu tidak membongkar perselingkuhannya namun tak lama pasti mereka akan berpisah karena hal ini. “Gendis bilang, ini hadiah perpisahannya untuk teman-temannya di kantor,” tutup Gendis sebelum akhirnya keluar bersama Gaffi. Wanita itu melangkahkan kakinya dengan riang sambil menggandeng tangan Gaffi yang ternyata sedari tadi menatapnya terus menerus. “Kenapa?” tanya Gendis ketika melihat tatapan eum—anaknya? “Aku enggak tahu kalo Ibuk punya temen kayak si Gendis Ruli Indiarta tadi.” Gendis dengan cepat memutar isi kepalanya. “Itu teman jauh, Ibuk.” Gaffi menganggukkan kepalanya, puas. Ketika mereka hendak melewati sebuah ruangan untuk turun ke bawah, Gendis sontak menghentikan langkahnya. Menatap ke arah ruangan itu dengan pandangan sendu. Dulu sebelum menjadi seorang Manejer, ia bermimpi untuk bekerja di ruangan yang besar ini. Lalu setelah ia duduk disana, dirinya tak tahu lagi ingin mengejar apa. Jadi hari-harinya sedikit membosankan ketika telah menjabat. “Ayah ini ruangan siapa?” tanya seorang gadis kecil tidak jauh berdiri dari Gendis. Pria yang mengenakan seragam petugas kebersihan itu tersenyum kecil. “Sabila harus selalu ingat dengan Gendis Ruli Indiarta.” “Kenapa, Yah?” tanya gadis kecil itu bingung. “Dia yang udah nyelamatin Sabila.” Gendis yang melihat itu mau tak mau tersenyum, ia pikir setelah kematian tubuhnya. Tidak akan ada orang lagi yang akan mengingatnya. Yah, walaupun cuman satu. Itu sudah cukup untuknya. “Ayo pulang,” ajak Gendis sambil menggandeng Gaffi. Ia lalu mengucapkan selamat tinggalnya pada ruangan itu dan perusahaan ini. Kedua ibu dan anak itu sudah berada di lantai bawah dan walau ia sudah keluar dari perusahaan, itu bukan berarti masalahnya selesai. Gendis saat ini tengah kebingungan karena tidak memiliki uang untuk menggunakan taksi. Uang di dompet yang ia bawa sudah habis, tidak ada apapun lagi disana kecuali sebuat kartu debit. Gendis nampaknya harus mengutuk orang yang mempunyai dompet ini karena uangnya terlalu sedikit. “Kamu punya ponsel enggak? Coba telepon Ayah kamu,” suruh Gendis, hanya itu satu-satunya cara yang tersisa di otaknya. “Aku enggak punya ponsel, Buk,” jawab Gaffi sedikit kebingungan. Harusnya ibunya tahu bahwa ia tidak memiliki ponsel, toh wanita itu yang setuju dengan Gyan untuk tidak memberikannya ponsel. “Serius kamu enggak punya ponsel? Umur kamu berapa?” tanya Gendis dengan ekpresi terkejut. Selama bertemu orang-orang yang telah menikah dan punya anak, jika anak itu sudah bisa mengangguk dan menggeleng pasti sudah punya ponsel. “Sebelas, Buk,” jawab Gaffi lagi. Gendis seketika memikirkan, apa yang dilakukan anak seusia Gaffi setelah pulang sekolah? “Lila!” teriak sebuah suara dari arah pintu. Gendis yang tidak merasa dipanggil hanya diam, tidak peduli. Hingga seorang laki-laki muncul di dekatnya dengan nafas tak beraturan. “Ada apa Pak Andre?” tanya Gendis ketika melihat pria itu seperti mengejarnya. “Kamu mau pulang? Saya bisa minta sopir untuk mengantarkan.” Gendis yang mendengar itu langsung mengangguk dengan semangat. Ia langsung menggandeng tangan Gaffi untuk mengikuti Andre menuju parkiran. “Silahkan masuk,” kata Andre sambil membuka pintu mobil. Tapi, sayangnya pintu itu tidak terbuka. “Pak, pintu mobilnya masih terkunci,” kata Gendis yang merasa aneh. Apa Andre tidak mengerti cara membuka pintu mobil? “Oh, iya, saya lupa.” Pria itu meringgis lalu menggerakan kepalanya mencari sopirnya. “Suryo, cepat buka pintu mobilnya dan antar tamu saya!” “Siap, Pak!” sahut sopirnya. Barulah pintu mobilnya terbuka. Gendis menyuruh Gaffi untuk masuk lebih dulu, barulah dia yang masuk. Saat wanita itu hendak menutup pintu, Andre terlihat menahannya. “Buk, kayaknya Om itu mau masuk.” “Duduk di depan aja, udah enggak muat!” sahut Gendis melemaskan pintunya sedikit sebelum menutupnya dengan kuat. Andre yang melihat pintunya tertutup menghela nafas, padahal ia ingin masuk dan duduk bersama dengan Gendis. Pria itu akhirnya duduk di depan bersama sopirnya. Tidak ada pembicaraan di dalam mobil. Gendis memilih memejamkan matanya dan menyandarkan tubuhnya di bangku. Wanita itu sangat lelah. Lalu Gaffi yang merasa kagum dengan interior mobil mewah ini. Ayahnya tidak memiliki mobil, jadi ia tidak tahu rasanya naik mobil, apalagi semewah ini. Andre mencuri-curi kesempatan untuk melihat Gendis. Mantan kekasihnya itu masih terlihat cantik walau fakta bahwa sudah menikah dan mempunyai anak. Hati pria itu seketika terasa perih. Mobil yang dikendarai Suryo akhirnya sampai di Rumah Sakit. Gendis yang meminta pada Andre untuk mengantarkan kesini. Gendis lalu keluar bersama Gaffi, disusul dengan Andre yang terus memamerkan senyumnya. “Pak Andre, terima kasih banyak,” kata Gendis. “Buk, itu Ayah,” lirih Gaffi ketakutan ketika melihat Gyan berjalan ke arah sini dengan tatapan tajam. “Bukannya diam di ruang rawat, kamu malah bersama pria lain. Harusnya saya enggak bawa kamu ke Rumah Sakit, biarkan kamu mati saja,” ucap Gyan tajam ketika berada di depan isterinya. Andre terkejut ketika mendengar perkataan pria yang nampaknya suami Gendis. Ia langsung menyadari bahwa hubungan wanita itu dan suaminya cukup buruk. “Lalu kenapa enggak kamu biarin mati?” tanya Gendis balik dengan berani membuat Gyan semakin menatapnya marah. “Buk, jangan lawan Ayah,” cicit Gaffi yang takut jika Ayahnya melakukan hal kasar lagi. Gendis yang menyadari Gaffi ketakutan entah karena apa, akhirnya memilih untuk mengabaikan Gyan. Pria itu benar-benar buruk. “Ayo kita kembali,” ajak Gendis sambil menggandeng tangan Gaffi dengan melewati suaminya. Gyan yang melihat itu sontak mengerutkan dahinya, banyak hal aneh yang hari ini dia lihat dari isterinya. Pertama, wanita itu berani melawannya dan kedua, sejak kapan Gendis peduli dengan anaknya sampai menggandeng Gaffi? Ia pun memutuskan untuk mengejar isteri dan anaknya. Andre yang melihat itu mau tidak mau tersenyum lebar. Ia seketika mendapat harapan untuk kembali bersama dengan kekasih masa lalunya yang masih ia cintai. Jika wanita itu tidak bahagia dengan suaminya, maka ada kesempatan untuk Andre mendapatkan Gendis lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD