Dalam waktu singkat setelah memiliki jumlah uang sebanyak kurang lebih 29 miliar rupiah, Paula telah menyewa apartemen tidak terlalu besar seperti milik Ayahnya. Meski usaha itu dari hasil mencuri, entah Paula merasa ini adalah hal terbaik untuk mendapatkan kualitas hidupnya kembali, dia bisa membeli apa pun yang diinginkan. Tetapi, dia tetap fokus akan kesembuhan Efran.
Sudah seminggu lebih Paula hanya fokus kuliah dan memberi les privat beberapa orang, termasuk Rio. Aura laki-laki itu memang beda, tidak seperti dari kebanyakan murid yang selalu saja mempunyai alasan, terkadang sampai mengajak Paula jalan-jalan lebih dulu. Ada yang sempat ingin tidur bersamanya, itu hal gila bagi Paula.
Berkali-kali Narash menghubungi. Tetapi, Paula segera mengganti nomor ponselnya. Saat berangkat ke kampus saja dia seperti buronan, lengkap dengan tudung dari hoodie nya. Terkadang Paula mendapat tatapan miring dari banyak murid di kampus, bukan hanya dari penampilan karena kini Paula sudah jarang menggunakan mobil setiap berangkat kuliah.
Napas Paula seolah akan habis saat sudah berada di kelas, dia kembali melihat ke jendela lantai 3 agar dapat tahu apakah Narash datang ke kampus nya. "Untung, dia… Enggak tau kalau aku sekarang kuliah malam."
Teman sebangku, bernama Lula Jonathan sedang memperhatikan Paula. Dia pun mengambil pensil dan menekan pipi itu dengan ujungnya. "Hei, kau kenapa?"
Paula seketika menoleh, dia terkejut bukan main. "Kau ini, kenapa mengganggu huh?"
"Hei, kau yang kenapa? Aku hanya menekan sedikit kau langsung ketakutan?" tanya Lula setengah mengejek.
"Um… Aku… Sedang dikejar orang," ucap Paula setengah berbisik. "Dia… Ingin aku…,"
"Paula, apa yang sedang kau diskusikan huh?"
Sebuah teguran datang dari guru pembimbing, Paula pun langsung terkejut dan mengatur sikap juga tempat duduk. "Iya, Pak. Um… Maaf, aku sedang membahas apa yang Anda lakukan di papan tulis."
"Apa yang aku lakukan? Memangnya aku sedang apa?" tanya dosen yang ada di depan.
Lula menahan tawa akan jawaban Paula. "Kau salah masuk kelas, Paula."
Kedua mata Paula terbelalak. Dia menatap sekitar, dan memang benar jika Paula salah memasuki kelas bahasa Jerman. Sial. Dia baru menyadari jika Lula bukan teman satu kelas, Paula hanya ingin menemui sahabatnya tersebut.
"Hei, Paula. Ada apa? Memangnya apa yang aku lakukan di sini? Apakah aku harus keluar?" tanya lagi dosen pembimbing.
"Tidak, akulah yang seharusnya keluar," Paula segera mengambil kacamata hitamnya. "Maaf sekali lagi, aku… Sudah mengganggu kelas Anda."
Betapa Paula sangat malu ketika berjalan ke depan, saat ada yang menggodanya dengan menampar bokongnya Paula pun enggan melawan. Sialan. Batinnya sangat geram. Dia kembali melanjutkan langkahnya, dan berhasil keluar.
Atas kelakuan nya ini Paula pun langsung berjalan ke lorong lain. Namun, dia urung untuk masuk ke kelasnya yang asli. "Ah, ini pasti bakal jadi keadaan yang… Buruk, mereka pasti godain aku lagi."
Tanpa mengurangi rasa sesal, Paula justru berjalan ke arah perpustakaan. Dia ingin menghabiskan sisa jam pelajaran di sana, dan bukan tempat lain justru buku-buku yang ada di rak akan menjadi solusi terakhir menghibur diri.
"Hai, Paula sayang. Kau lupa ya?" tanya seorang penjaga perpustakaan.
Paula pun tidak mengerti. "Um… Aku… Melupakan sesuatu? Sungguh?"
"Ya, kau lupa jika perpustakaan ini akan tutup huh?"
Sudah berapa kali dalam satu waktu saja Paula telah kehilangan konsentrasi, dia pun tidak banyak bicara dan kemudian keluar. Mata lelah, juga pikiran tentang uang 2 juta dolar itu masih menjadi penghuni setia. Haruskah mengembalikan kepada Narash? Paula pun segera menyadari jika dia sangat membutuhkan uang tersebut.
Pada saat akan keluar, menuju kantin Paula mendengar teriakan Lula. Dia pun dengan lega bisa mengenali suara tersebut dan memang benar Lula sedang berjalan ke arahnya. Paula pun duduk di bangku dekat mading, di sisi ruang kantor.
"Hei, kau sedang apa?" tanya Lula sambil menata 2 buku tebal di tangannya.
Paula mengangkat kedua bahu. "Entahlah, jika kau mendengar semua ceritaku pasti kau akan… Mati."
"Menyeramkan sekali," Lula menatap serius wajah Paula. "Memangnya ada kabar lebih buruk kalau… Kau sudah berhenti mabuk-mabukan?"
"Lebih buruk karena aku berubah profesi." Paula ragu akan bercerita kepada Lula.
"Memangnya… Apa? Kau… Jadi simpanan kepala profesor Aldin?" tanya Lula setengah mengejek.
Cucu dari pendiri kampus memang sedang mengincar Paula untuk dijadikan istri kedua. Namun, Paula menjadikan ini sebuah keuntungan karena setiap akhir pekan dia akan mabuk-mabukan secara gratis. Tetapi, itu dulu sebelum Paula akhirnya mengatakan fakta bahwa dia takut menjadi selir orang terpandang di kota itu.
"Aku tidak pernah kencan lagi dengannya," Paula menatap ke lantai. "Aku bosan."
"Ah… Aku tahu, kau… Sudah memiliki pengganti lebih hebat dari Tuan Aldin?" Lula sok tahu.
"Apa tidak ada anggapan lain selain aku menjadi wanita penghibur huh? Padahal aku tidak seburuk itu, hanya… Menguras isi dompetnya saja." ucap Paula menampar ringan pipi Lula.
"Lalu apa? Kau ubah profesimu menjadi apa?"
Paula melirik Lula. "Pencuri."
Tidak dapat disangka jika Paula akan menyebutkan dirinya sebagai 'pencuri'. "Aku… Mencuri uang Bos, 2 juta dolar Amerika."
Napas Lula seakan tertahan oleh sesuatu, dia tidak dapat berkata-kata. Tangannya memegang erat jari-jari lentik Paula. Kemudian Lula memukuli d**a, bertujuan agar dia tetap bisa mengambil napas dengan mudah.
"Ayolah, aku serius. Aku sudah mencuri uang sebesar 2 juta dolar Amerika." tandas Paula memperjelas lagi.
"Kenapa bisa kau mendapatkan itu? Bosmu yang sekarang bukankah wanita? Apa… Dia sudah berkeluarga?" tanya Lula dengan mimik tegang.
"Ya, wanita. Belum, dia… Masih lajang, dan… Aku mendapatnya dari seorang pria yang tiba-tiba datang ke kafe." ucap Paula setengah berbisik, dia tentu takut jika suaranya sampai didengar oleh orang lain.
Lula menggeser tempat duduknya, lebih dekat dengan Paula. "Seorang pria? Bukankah kau… Mendapatkan uang itu dari Bos wanita?"
Terpaksa Paula menceritakan asal-usul dari mana uang 2 juta Amerika tersebut, dari semua penjelasan itulah membuat Lula terperangah. Bahkan Lula juga memukuli wajahnya dengan telapak tangan, sebagai alat agar tersadar jika memang ini mimpi.
"Kau gila, Paula." Lula kembali sesak napas.
Reaksi Paula hanya mengerjap cepat sambil menatap kosong ke arah lain, baginya ini memang sudah takdir. "Aku… Butuh sekali uang tersebut."
"Semua orang butuh uang, kau tahu itu!" jawab Lula mulai kecewa atas tindakan Paula.
"Tapi ini demi Ayahku," Paula menahan diri agar tidak meneriakkan sesuatu. "Dia… Perlu obat setiap minggu nya. Cek up ke dokter, makanan yang benar-benar terjamin, tempat tinggal, dan itu semua harus dengan uang!"
Terlihat Paula murung. "Aku tahu ini salah, tapi aku juga ada niat akan mengembalikan uang tersebut."
"Dengan cara… Menjadi pramusaji maksudmu? Berapa lama? Selamanya?"
Dari atas keyakinan tentu saja Paula ragu bisa mengembalikan uang tersebut, kecuali dia menjadi b***k Narash selamanya. Entah, Paula enggan memikirkan dampak itu dan hanya mencoba untuk menikmati uang hasil curian. Dia tidak menganggap perkataan Lula akan benar terjadi, dan jika memang benar Paula ingin menghadapi semua nanti.
"Ayo, pergi!" ajak Paula bangun, dia merebut buku tebal dari tangan Lula.
Lula pun segera menyusul Paula yang lebih dulu berjalan. "Hei, kita akan ke mana?"
"Ke mana saja, yang penting kita aku bisa traktir kamu sepuasnya hari ini." Paula ingin menghabiskan sisa malam bersama Lula.
"Kau itu gila Paula," Lula mengarahkan sensor kunci ke mobilnya yang berada di jarak 10 meter. "Bagaimana jika Bos mu itu mencarimu, huh?"
"Ayolah, jangan pikirkan itu dulu! Kita akan bersenang-senang dulu!" Paula membuka pintu mobil.
Mereka pun pergi meninggalkan kampus menggunakan mobil van milik Lula. Entah ke mana, yang jelas keduanya masih sama-sama memikirkan banyak hal mengenai hidup. Bahkan untuk menghadapi keadaan besok saja mereka harus mempersiapkan diri. Namun, lain hal dengan Lula yang hidup sendiri bersama adik laki-lakinya. Dia harus bekerja keras demi bertahan hidup, juga pendidikan 2 orang.
[...]
Arah yang dituju berakhir pada pesisir pantai di Praia da ursa. Paula yang menjumpai air di malam hari langsung melepas jaket dan celana, menyisakan pakaian dalam dia pun berlari mengejar ombak yang sudah berlalu dari pinggir.
Lula pun sama, dia melepas kostum dan menyisakan pakaian dalam lalu menyusul Paula. "Hei, jangan lama-lama ya! Aku… Harus makan malam bersama adikku."
"Tenang saja, aku… Hanya sebentar." ucap Paula mulai berenang ke tengah.
Keduanya menikmati momen malam di mana sang rembulan seolah berada di atas kepala. Angin yang berembus menyiram wajah mereka, sejuk dan seolah bisa mengikis semua penat hari ini. Termasuk Paula, meski dia sedang berada di titik paling berat karena perbuatan yang dilakukan Minggu lalu.
Setelah dirasa puas menikmati air laut, Paula pun berjalan ke tepian. Dia duduk di atas pasir, dengan tubuhnya yang basah Paula menatap jauh ke sana. Indah, karena tidak banyak orang yang berenang jika malam seperti ini kecuali akhir pekan. Dia melambaikan tangan di mana Lula sedang asyik berenang menuju ke tepi.
"Ayo, kita harus kembali!" teriak Paula pada Lula.
Lesung pipi berasal dari senyum manis itu menyebar ke pandangan seorang pria, Paula pun tersadar ada yang sedang mendekat ke arahnya. Dia langsung mengenakan celana, dan menyambut pria yang terlihat membawa botol alkohol.
"Hai, kau hanya berdua?" tanya si pria dengan celana kolor biru.
"Hm… Ya, aku hanya berdua bersama temanku." jawab Paula memandang ke arah lain.
"Aku lihat kau… Asing, tidak biasa ke sini ya?"
Paula memperhatikan lagi pria di sebelahnya, kini dia tahu jika yang sedang berbicara itu merupakan penjaga pantai. "Oh, iya aku… Baru 2 kali ke sini."
"Kau ingin gabung bersamaku?" ajak pria itu sambil menatap ke arah teman-temannya yang sedang berkumpul.
"Ah tidak, terima kasih." Paula menolak secara halus.
Pria itu pun mengangguk kecil. "Baiklah, mungkin lain waktu jika kita sudah saling mengenal."
"Ya, mungkin saja."
Kemudian langkah itu berbalik. Tetapi, seketika kembali ke arah Paula, pria itu menatap lebih teliti lagi wajah di depannya. "Apakah kau ini imigran?"
Sedikit kesal jika ada yang ingin tahu siapa dirinya, Paula hanya mencoba untuk ramah dengan orang sekitar. "Ya, aku… Imigran."
"Kau berasal dari mana?" tanya lagi pria dengan tinggi 180 sentimeter.
"Indonesia."
"I… Indo… Indo…," pria itu mencoba untuk mengucapkan kalimat dari Paula.
"Indonesia."
"Oh, maaf aku tidak tahu." jawab pria yang kini sedang menghadap ke arah teman-temannya.
Merasa terburu-buru, pria itu pun hanya melambaikan tangan tanda berpisah dengan Paula. Saat bersamaan Lula datang sambil menahan hawa dingin. "Hei, itu siapa?"
"Entah, aku tidak kenal." jawab Paula mengambil pakaian Lula lalu memberikannya.
"Terima kasih."
Paula menampar keras b****g Lula. "Ayo, kau ada janji bersama adikmu 'kan?"
Segera Lula mengenakan pakaian, mereka pun langsung meninggalkan pesisir pantai menuju apartemen. Kali ini Paula tidak pulang ke rumah Efran, dia hanya mengirim pesan singkat bahwa malam ini akan berada di apartemen barunya.
[...]
Pemandangan dari gedung 12 membuka semua penglihatan pada malam indah kali ini, Paula menaiki balkon kemudian duduk di sana. Menatap luas pada bagian langit, melihat lagi lebih dalam betapa rembulan sedang asyik bersinar.
Kala sendiri seperti ini, Paula ingat akan semua kenangan masa dulu bersama Ibunya. Ketika mereka dapat merasakan sebuah kehangatan bersama, saat di mana dia bisa dengan puas memeluk dan memelihara semua situasi yang menyenangkan. "Kenapa… Aku kangen sama Mami? Padahal dunia kita udah beda, dan… Mami udah bahagia kekal di sana."
Lamunan Paula tiba-tiba hilang saat dia merasakan ada getaran pada ponsel di tangan, dia mendapati Efran menelpon. "Ya, Pi. Kenapa? Baru 2 hari aku pindah, udah kangen ya?"
"Sayang, ada yang mencarimu tadi sore."
Mendadak detak jantung Paula terhambat oleh keadaan ini, dia bergegas turun dari dinding pembatas pada balkon. "Um… Siapa?"
"Papi enggak paham siapa, yang jelas orang itu bawa Bodyguard. Dia… Butuh kamu datang ke kafe nya." ucap Efran sambil terbatuk.
Paula pun langsung merasa mual dan pusing. "Um… Iya, itu bosku. Lain kali kalau dia cari… Bilang aja Paula di kampus, suruh dia cari ke kampus ya!"
"Memangnya… Kamu ada urusan apa sama dia?"
Pertanyaan Efran seketika membuat Paula panik. "Um… Dia cuma minta aku kerja lagi di sana. Tapi… Ya aku… Sedang fokus kuliah Pi, dan… Udah dapet kerjaan yang gajinya lumayan dari sana."
"Bener kamu enggak terlibat kasus apa-apa sama dia?" tanya Efran penasaran.
Seketika saja Paula tertawa, meski tidak ada yang lucu. "Enggak dong, kan Papi tau sendiri gimana aku. Banyak yang suka."
"Dasar kamu, Papi serius sayang."
"Udah," Paula cepat-cepat masuk, dia tidak ingin ada orang yang melihatnya di luar. "Papi tenang aja ya! Semua baik-baik aja kok, Papi tidur ya!"
Belum sempat Efran mengatakan sesuatu, Paula sudah mengakhiri panggilan. Tertekan. Ya, Paula gelisah bukan main saat berada di kamar. Dia langsung menutupi bagian tubuh dengan selimut. Meski tidak ada apa-apa di sana, bayangan Narash melabrak kemudian penjaga bawaannya itu menyeret Paula hingga lantai dasar gedung ini.