Perkara yang akan tetap menjadi beban seumur Paula menghirup udara. Dia yang awalnya dapat tenang kini sudah selayaknya orang bersalah dan harus diminta pertanggungjawaban. Setiap bepergian Paula harus mengenakan sesuatu yang bisa melindungi wajah, bahkan ke toko di mana Lula bekerja saja dia sudah tidak lagi berbaur dengan orang-orang di sana.
"Kau mau minum apa?" tanya Lula pada sahabatnya yang sedang membaca buku.
Paula menatap sekeliling. "Apa aja, yang penting bisa membasahi tenggorokan."
"Ok, aku ada sisa bir semalam." Lula segera pergi, mengambil apa yang dimaksud.
Rasanya apa yang dibaca tidak merasuk sempurna dalam kepala, Paula harus terus menatap waspada di area dia duduk. Bahkan ketika bunyi bel pintu terbuka, dia akan terkejut bukan main. Benar-benar Paula sedang dipermainkan oleh situasi, dia harus menjaga diri agar bisa jauh dari Narash.
Pada sekitar pukul 2 siang, Paula telah menghabiskan sisa bir dan akan bersiap-siap pergi ke kampus. Namun, dia mendapati sebuah pesan dari Rio yang mengatakan jika kelas besok diganti hari ini saja. "Mana bisa? Ah, aku paling males kalau ada murid yang begini. Sialan!"
"Ada apa, Paula?" Lula yang sedang berada di mesin kasir pun mendengar, dia tidak paham perkataan Paula.
"Ah, ini…," Paula menyimpan ponselnya. "Aku harus mengajar setelah pulang kuliah."
"Ke mana? Jessy?" tanya Lula sok tahu.
Paula enggan menjawab, dia langsung pergi sambil menaruh uang kertas ke meja untuk membayar buku yang sudah dibaca. Otak Paula sedang kacau karena malam ini dia harus pulang tepat waktu ke apartemen Efran. Mereka berencana akan makan malam. Betapa ini sangat sial.
[...]
Menjadi seperti apa yang diinginkan oleh para murid selalu disanggupi Paula, bahkan keinginan Rio yang terbilang masih sederhana. Setelah kelas selesai, Paula segera datang ke rumah Rio. Sesampainya di halaman luas menyerupai lapangan sepak bola, barulah Paula melepas penutup pada hoodie nya.
"Di sini aman pasti, Narash enggak mungkin datang ke sini." gumam Paula.
Setelah berjalan lumayan jauh ke arah pintu utama, Paula segera diantar oleh seorang pria menuju kamar Rio. Namun, pada saat akan menaiki anak tangga lantai 2 Paula dikejutkan oleh pria yang sepertinya dia kenal. Paula mencoba mengingat, dan betapa dia ingin musnah seketika hari itu.
Keadaan semakin runyam karena Paula melihat pria yang memberikan amplop di kafe Narash. Tanpa pikir panjang, Paula langsung lari keluar rumah. Sedang pelayan Rio bingung dengan kelakuan tersebut.
"Nona,"
Langkah Paula seperti sedang mengejar bom waktu, agar cepat sampai di pintu gerbang rumah besar Rio. Namun, justru Paula menabrak seseorang dan itu membuatnya seketika berteriak.
"Hei, kau kenapa?"
Paula melihat Rio sedang kebingungan. "Ah, aku… Um… Maaf Tuan, eh Pak. Oh bukan, Rio. Maaf aku buru-buru dan harus pergi."
Tangan Rio menahan Paula lenyap dari sana. "Hei, besok aku tidak bisa mengikuti pelajaran Bahasa. Jadi… Tolong, sempatkan hari ini!"
Jari telunjuk Paula mengarah ke dalam rumah. "Tap… Tapi… Itu… Ada…,"
"Ada apa? Katakan!" Rio mendesak.
Paula bingung harus berkata apa, dia pun mencoba untuk menetralkan matanya saat melihat lagi rumah Rio. Apakah itu hanya halusinasi? "Maaf, ayo kita masuk!"
Rio mengerutkan kening, bingung. "Oh, ayo!"
Walau membingungkan, Rio tidak peduli karena dia benar-benar butuh Paula untuk sesi pelajaran hari ini. Esok dia ada beberapa pekerjaan, yang mengharuskan Rio menunda semua kegiatan pribadi termasuk les privat bahasa.
Setelah meyakinkan diri, Paula menduga jika dirinya sedang berhalusinasi mengenai pria berjaket hitam itu. Dia pun kembali fokus akan hari ini, materi yang akan diberikan kepada Rio mengenai kosa kata dan lawan kata dalam bahasa.
"Kau… Tinggal sendiri?" Paula memastikan agar memang pandangannya barusan tidak nyata.
"Aku tinggal bersama para pekerja di sini, ada apa?" tanya Rio heran, dia sedang menyiapkan buku dan kamus sebagai bahan materi hari ini.
Paula termenung, pria yang dilihatnya beberapa menit lalu tampak berpakaian sangat rapi, dengan setelan jas di mana orang tersebut tampak berkelas. Paula segera menampar pipinya, membuat Rio terkesiap akan hal itu.
"Ada apa?" tanya Rio sambil mengamati buku-buku di meja.
"Tidak, aku… Hanya mimpi sambil berjalan," Paula mengerjap cepat kemudian mencari halaman yang sudah ditandai. "Maafkan aku, dan… Lupakan saja!"
"Baiklah."
Tidak lama Paula hanya fokus memberikan materi hari ini kepada Rio, meski sesekali dia memikirkan sesuatu atas kesalahan besar tentang uang di tangannya. Setelah berlalu sekitar 1 jam, Paula merasakan jenuh bukan main, hal itu bisa dilihat dari kegelisahannya.
"Kau… Baik-baik saja?" tanya Rio bingung, dia merasa terganggu saat sedang mengerjakan 2 tugas soal dari Paula.
"Eh, tidak. Apa… Kau ingin bertanya sesuatu, Tuan Rio?"
"Tidak ada, hanya… Kau tampak gelisah dan itu membuatku merasa…,"
"Maaf," Paula salah tingkah. "Aku… Sudah membuat suasana hari ini menjadi lain, tapi… Aku hanya tidak enak badan saja hari ini."
Rio mengangguk paham. "Hei, kenapa kau tidak mengatakan hal itu dari tadi? Kan bisa ditunda, aku yang seharusnya meminta maaf. Karena… Memaksamu datang, yang seharusnya itu besok."
"Bukan masalah, aku… Bisa mengatasi masalah diriku sendiri nanti. Yang terpenting Anda… Tidak beranggapan macam-macam."
"Macam-macam? Tentu saja tidak," Rio menyerahkan hasil tugas soal dari Paula. "Sekarang kau sudah menyelesaikan tugas hari ini dengan baik, Nona Paula. Terima kasih."
"Sama-sama." Paula mengambil lembar kertas soal untuk Rio.
Tidak lama Paula mengamati lagi ruang sekitar, memang sepi. Namun, begitu menakutkan. "Um… Aku cek nanti di rumah ya!"
"Iya," Rio masih memperhatikan wajah gelisah Paula. "Terima kasih atas materi hari ini, kau hebat."
Saat mendapat pujian, Paula mendadak salah fokus. Dia mengamati mata indah Rio, yang mana sedang melihatnya juga. "Ah, Anda juga hebat."
"Oh ya, kapan-kapan… Kau bisa datang ke sini untuk makan malam bersamaku?" tanya Rio setengah berbisik, dia bahkan ragu Paula akan menerima ajakannya.
Bukan perkara mudah menerima ajakan seseorang untuk hal yang menurutnya sangat intim. Memang bukan sesuatu yang aneh, apalagi Rio terlihat pria baik-baik. "Aku… Um… Tidak tahu, karena… Sebentar lagi ujian, mungkin ya aku akan datang."
"Tidak usah terburu-buru, lagipula… Minggu ini pun aku sibuk, ya… Aku hanya ingin mengatakan lebih dulu, agar kau siap saja." ucap Rio mantap.
"Siap? Maksud Anda?"
Rio mengerutkan kening. "Supaya tidak tiba-tiba saja, bukan apa-apa."
"Ah ya, begitu. Baiklah," Paula membenahi barang-barang miliknya ke dalam tas. "Aku… Harus pergi, terima kasih atas kerjasama hari ini Tuan Rio."
"Iya, terima kasih kembali. Sukses selalu, Nona Paula." ucap Rio mengantar Paula hingga batas pintu kamarnya.
Sesampainya di anak tangga terakhir, Paula pun berhenti. Dia terpaku pada semua hiasan di ruangan tersebut. Mewah. Namun, meninggalkan kesan tragis saat mata menatapnya. Entah. Dia menganggap ini hanya halusinasi, karena Paula sendiri sedang kurang sehat dalam berpikir semenjak mencuri uang 2 juta dolar Amerika Serikat.
Sesegera mungkin Paula pergi dari sana. Tidak peduli lagi apakah pria dengan jaket hitam itu ada atau tidak di rumah tersebut. Setelah berada di gerbang utama rumah megah itu barulah Paula mengamati lagi. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya ada orang yang berjalan ke sana kemari layaknya penjaga biasa.
"Kayaknya aku harus bawa kabur uang ini ke Indonesia," Paula berbalik arah. "Di sini kurang aman buat maling amatiran kayak aku."
Sempat Paula berjalan kaki hingga sejauh 2 kilometer dari rumah Rio, semua itu hanya karena dia sibuk memikirkan dampak dari menjadi seorang pencuri. Kemudian Paula memberhentikan taksi, kini dia dapat bernapas lega meski tetap saja bayangan Narash akan selalu hadir di dalam setiap pikiran.
[...]
Rasa lelah membuahkan hasil sebuah penghianatan, Paula membanting tubuhnya di tempat tidur sambil melepas jam tangan. Dia kembali menatap layar ponsel, sekadar ingin tahu apakah Efran menghubunginya.
Meski kantuk telah datang, Paula menyempatkan diri untuk melihat pigura kecil Ibunya yang selalu dibawa ke mana pun dia pergi. Paula memilih tempat yang aman, karena di apartemen baru belum menemukan kecocokan untuk menyendiri, dia pun memilih balkon yang dapat dinaiki kemudian duduk di sana.
Sambil melihat bintang, Paula enggan melihat gambaran di pelukan. "Aku bukan jahat, cuma… Kenapa setiap liat foto Mami aku jadi lemah sih? Apa aku… Enggak perlu melakukan itu lagi? Biar aku jadi anak yang kuat, tanpa nangis segala tiap liat foto Mami? Aku perlu buang?"
Sudah berkali-kali Paula mengatakan hal itu pada dirinya, usia tidak lagi menandakan dia pantas untuk bermanja-manja terhadap sesuatu. Apalagi mengandalkan seseorang, termasuk Ayahnya. Paula merasa harus tetap bergerak maju demi kelangsungan hidup.
Paula meletakkan foto Ibunya bersebelahan dengan pot kecil menjadi hiasan balkon, dia ingin berteriak sekuat tenaga mengadu pada dunia bahwa ini semua melelahkan. Tetapi, Paula sadar akan mengganggu penghuni lain di gedung tersebut. Dan sekali lagi, Paula terpaksa menatap foto Ibunya.
"Kalau aja kamu enggak pergi lebih awal, pasti… Aku…," Paula menahan tangis. "Tetap jadi anak manja, yang enggak bergerak sama sekali. Terima kasih, Mami."
Bayangan cantik Ibunya pun melintas di angan, Paula tersenyum mengingat betapa wanita itu adalah seseorang paling hebat yang bisa dengan sabar mendidiknya hingga saat ini. Meski Paula sadar belum menjadi manusia lebih baik. "I'ts ok, bukankah hidup itu harus mendapat ujian terlebih dulu baru kita belajar? Lain dengan saat aku sekolah, aku harus belajar lebih dulu sebelum menghadapi ujian."
Saking semangatnya, setelah meyakinkan diri Paula pun tidak sengaja menjatuhkan foto Ibunya. Sial. Tanpa pikir panjang Paula pun langsung berlari menuju lift, berniat akan mengambil harta paling berharga miliknya.
Keuntungan masih berpihak padanya, Paula mendapatkan pigura itu dalam keadaan utuh karena terjatuh di atas pohon kecil sebagai hiasan di luar gedung. "Ih Mami, untung kamu baik-baik aja."
Paula dapat bernapas lega. Namun, tidak ketika dia berbalik dan mendapati Narash berada di belakangnya. Paula pun akhirnya menjatuhkan pigura itu kembali, dan bunyi pecahan kaca terdengar jelas di telinga. "Bos."
"Hai, apa kabar?" tanya Narash dengan sikap santai.
Bibir Paula gemetar. "Baik, aku… Baik-baik saja, kau… Bagaimana? Harimu menyenangkan?"
Narash berjalan mengelilingi tubuh gadis di depannya yang tengah mematung, kemudian wajahnya mendekati telinga Paula. Lalu berbisik, "Tidak setelah kau mencuri uangku!"
Wajah Paula seketika pucat, dia tidak memiliki banyak tenaga untuk menatap Narash. Sialan. Ini situasi yang sulit dihindari, terutama Paula harus merasakan sedih ketika melihat foto Ibunya sudah pecah.
"Masih adakah, uangku?" tanya Narash, dia masih berusaha santai menghadapi anak buahnya.
Paula menahan napas, kemudian dia memberanikan diri menoleh ke arah Narash. "Aku… Hanya memakainya untuk… Sewa apartemen baru, dan…,"
"Dan…?"
"Dan… Untuk kebutuhan sehari-hari selama… 2 Minggu ini." jawab Paula berterus terang.
Jika saja Paula bukan barang bagus yang dapat dijual dengan mahal, Narash sudah mencekik leher gadis itu. "Baiklah… Apakah kau… Memegang sisanya?"
"M… Masih, si...sanya masih ada. Banyak."
Narash mencium pipi kiri Paula. Dan kembali berbisik, "Bagus, aku tunggu di sini. Dalam 15 menit kau tidak membawa uangku kembali, maka… Sulit bagimu mendengar suara Ayahmu di telepon… Lagi."
"Kau, mengancamku?" Paula terbelalak.
"Tergantung," Narash memperlihatkan video Efran tengah duduk dikelilingi 2 orang pria berbadan tinggi besar. "Jika uangku ada, maka ini hanya sebuah perkenalan mereka."
"Lepaskan Ayahku!" bentak Paula.
Gelagat Narash masih menunjukkan dia dapat bersabar. "Kembalikan uangku, 2 juta dolar Amerika yang sudah kau curi!"
"Sudah tidak genap 2 juta dolar." jawab Paula lemah.
"Kalau begitu… Satu goresan di pipi Ayahmu seharga sewa apartemen ini, bagaimana?" ucap Narash santai.
"Jangan, aku mohon! Jangan lakukan itu, Narash!" Paula langsung menggenggam tangan Narash.
Sebuah kebetulan yang tidak disengaja jika Narash berhasil membawa ancaman untuk Paula. Meski sebenarnya dia masih mendapat kesempatan dari seorang pria bernama Jarvis, tetap saja Narash harus memberi Paula sebuah pelajaran paling akhir.
"Aku bisa membebaskan Ayahmu, dengan 1 syarat!"
"Apa? Katakan!" Paula seperti mendapat harapan baru.
Narash memeluk Paula. "Kau akan bekerja denganku, selamanya!"