Selalu ada jalan menuju Roma

1769 Words
Nayna menatap pantulan wajahnya di cermin kecil berwarna merah, dagunya menempel di atas meja.  “Mirror, mirror on the wall, katakan! siapa yang sedang galau di kampus ini,” goda Agatha sembari menarik kursi di depan Nayna.  “Gue lagi sedih,” sahut Nayna pelan. “Karena putus dari Dewa?” Agatha mendaratkan bokongnya di kursi. “Bukan. Gue udah lupa sama Dewa,” ucap Nayna. “Semudah itu?”  Nayna mengangguk, dia kemudian menceritakan kejadian kemarin pada Agatha, dan Dinda yang baru saja bergabung dengan mereka. Awalnya, memang Nayna kehilangan sebagian semangatnya karena putus dari Dewa, tapi, setelah bertemu dengan Gibran semangat dalam hidupnya kembali. Namun, karena kejadian kemarin, dia gagal mengenal Gibran lebih jauh. “Lu tenang, Nay. Nanti gue bantuin buat cari tahu tentang cowok yang lu maksud,” ucap Dinda. “Bener, ya?”  “Iya.” “Nay, gue ada deretan nama galeri buat referensi tugas kita,” ucap Agatha seraya membuka ponselnya.  “Galeri?” Nayna mengernyitkan dahi.  “Iya. Nih.” Gadis berwajah oriental itupun menunjukan layar ponsel yang sudah terhubung ke internet dan menampilkan beberapa nama galeri lukis terkenal di Indonesia. Nayna langsung mengambil alih ponsel Agatha, dia menekan satu nama galeri yang tertera di urutan pertama, lalu dia membacakannya dengan keras.  “Harryana Gustav adalah salah satu galeri lukis terbaik di Indonesia. Namanya sendiri diambil dari nama pendiri galeri tersebut yaitu, Harryana Gustav pada tahun 1998. Beberapa karya berhasil di pamerkan di beberapa negara salah satunya New York City. Negara yang saat ini menjadi tempat menimba ilmu bagi pewaris tunggal Harryana Gustav--Gibran Kemal Prawira--diwawancarai di kediamannya, Gibran mengatakan usai menyelesaikan S2 nya di bidang seni, dia akan melanjutkan mengurus Galeri yang didirikan ayahnya. Sebelum Gibran melanjutkan kuliah di New York, Gibran merupakan lulusan seni terbaik di Universitas Seni Galaksi (USG)”  “Sumpah gue nggak enak banget denger kalimat terakhirnya, masa kampus kita disingkat jadi USG,” dengkus Dinda. “Gibran? jadi kak Gibran temennya bang Aksa adalah lulusan terbaik kampus kita?” Nayna semakin kagum pada orang yang dia temui beberapa hari yang lalu.  “Lu kenal, Nay?” tanya Agatha. “Itu cowok yang gue ceritain tadi, temennya bang Aksa yang di kenalin ke gue.”  “Haaaa … serius? mana sini gue lihat.” Dinda merebut ponsel Agatha yang sedang di pegang Nayna.  Agatha mendekat pada Dinda. “Nay, ada fotonya,” ucapnya.   Nayna langsung mendekat, melihat layar ponsel di tangan Dinda. “Lu yakin, Nay ini orangnya?” tanya Dinda sembari menatap Nayna. “Iya bener, itu kak Gibran.”  “Wiiih ganteng bangeeet,” komentar Agatha tanpa tahu malu.  Nayna mengulum senyum. Dia seperti mendapat angin segar di tengah teriknya matahari. Ini adalah jalan ninjanya untuk mendekati Gibran. Nayna dan kedua sahabatnya memutuskan untuk datang ke galeri Harryana Gustav, usai jam kuliah mereka selesai. Di jam-jam terakhir mata kuliahnya, Nayna tidak dapat fokus pada pelajaran, dia terbayang wajah Gibran yang menatapnya dari ujung kaki Nayna hingga ujung rambutnya. *** Bagi Nayna udara pagi ini lebih menusuk dari hari kemarin. Dia kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, padahal matahari kian meninggi dan cahaya terangnya sudah mulai masuk ke dalam kamarnya melalui sela-sela jendela meski gorden masih menutupinya. Beberapa kali pintu terdengar diketuk, tapi, suara nyaring ibunya tak begitu dia dengar. Namun, saat ponsel terdengar berdering dia segera mengambil dan menggeser layar untuk membuka pola kunci ponsel, usai membaca pesan w******p dari Agatha dia segera beranjak, dingin yang dia rasakan sebelumnya, sudah hilang berganti udara panas yang terasa berdesir hingga ke wajahnya kala dia mengingat Gibran. Setelah rencana kemarin untuk mengunjungi galeri gagal total, karena Agatha yang tiba-tiba sakit perut dan Nayna tidak ingin dicap sebagai sebagai teman yang tidak setia, jadi dia memutuskan untuk menunda keinginannya demi sebuah rasa solidaritas. “Kenapa gue bisa lupa, kalau hari ini mau ke galeri Harryana Gustav, siapa tahu bisa ketemu kak Gibran,” ucapnya seraya bangkit, dia kemudian pergi ke kamar mandi dan menyelesaikan ritual paginya.   Setelah beberapa menit dia habiskan untuk membersihkan diri. Kini dia berdiri di depan cermin. Lalu mengulum senyum, kemudian berputar, berpose dengan senyum yang tetap mengembang di wajahnya.  Lalu dia berlari menuju lemari, menatap deretan baju yang menggantung di dalamnya, dia mulai mencoba satu persatu dengan menempelkannya di depan. perlahan dia menggelengkan kepala, kemudian mengambil baju yang lainnya, setelah mencoba beberapa baju, pilihannya jatuh pada dress sabrina longgar, Nayna memang tidak terlalu suka dengan baju yang terlalu ketat, dengan panjang selutut dan lengan panjang menggelembung. Nayna terlihat sangat cantik. Namun, tetap casual, rambut panjangnya dibiarkan tergerai dengan sedikit curly-curly di bagian bawahnya, ditambah kalung etnik yang memberi kesan manis dan eksotis pada penampilannya. Nayna lalu turun dan menyapa semua anggota keluarganya, kemudian dia bergabung di meja makan untuk sekedar menenggak s**u yang sudah disediakan. “Aku berangkat, dah Pa, dah Ma.” Nayna mencium pipi ayah dan ibunya bergantian, Sementara dia melewati Aksa begitu saja.  “Kok ke gue nggak pamit?” tanya Aksa yang menghentikan langkah kaki Nayna dengan menarik tangannya. Dengan malas Nayna mendekat dan mengecup pipi Aksa. “Hati-hati ya, Dek.”  “Heemmh ….” sahut Nayna. Sejujurnya Nayna masih kesal pada Aksa atas kejadian tempo hari waktu di bandara. Namun, sudahlah dia sudah mendapatkan cara lain untuk mendekati Aksa. Dia bersumpah kalau Aksa tidak boleh mengetahui rencananya ini. *** Nayna dan kedua sahabatnya berdiri di depan galeri Harryana Gustav, pria berseragam putih menyapa dan meminta tanda pengenal mereka, lalu mempersilahkan mereka untuk masuk. Nayna terpukau, begitupun dengan Agatha dan Dinda, mereka mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru galeri yang terlihat begitu estetik. seorang perempuan mendekat dan menyapa mereka. “Selamat pagi, saya Anya, ada yang bisa saya bantu?” sapa wanita itu dengan ramah. “Saya Nayna dan ini sahabat saya, Dinda dan Agatha, kami datang ke sini karena sedang mencari bahan referensi untuk tugas kami,” jelas Nayna.  “Referensi seperti apa yang kalian butuhkan?” tanya Anya. “Mmmmh--” Nayna tampak berpikir, sial! Dia sendiri belum mempelajari tugasnya. Nayna segera menyikut Agatha untuk melanjutkan ucapannya. Lagipula tujuan dia datang ke galeri untuk bertemu Gibran, dia sama sekali tak memikirkan tentang tugasnya itu. “Tentang galeri dan semua lukisan yang ada di sini, boleh kami berkeliling?” tanya Agatha gugup.  “Silahkan …!” Anya melebarkan satu tangannya dan sedikit membungkuk.  “Sambil kami wawancarai tentang galeri ini, bisa?” tanya Agatha. “Boleh,” jawab Anya ramah.   “Kami baca di internet, katanya galeri ini akan dilanjutkan oleh putra pak Harry, apa itu benar?” tanya Nayna. Dinda menyikut Agatha. Sungguh menurutnya Nayna hanya sedang melakukan basa basi yang busuk. “Sudah tahu begitu pake nanya lagi,” bisiknya pada Agatha.  Agatha menahan tawanya yang hampir meledak.  “Iya, itu benar, karena pak Harry sibuk dengan beberapa pameran di luar Negeri sehingga kemungkinan beliau akan sering meninggalkan galeri ini,” tutur Anya.  “Mbak, saya boleh ke sini ya.” “Iya, silakan.” Saat Anya hendak mengikuti Nayna. Agatha segera memanggilnya untuk menanyakan makna lukisan abstrak yang ada di depannya ini. Rencana yang bagus, Agatha tahu saja apa yang diinginkan Nayna.   Nayna berkeliling untuk melihat deretan karya dua dimensi yang memanjakan matanya. Tiba-tiba dia berhenti di sebuah ruangan terpisah dengan beberapa kanvas dan kursi-kursi yang ditata dengan rapi.  Nayna menoleh saat dia mendengar suara deheman seorang pria. Hawa panas berdesir hingga membuat pipinya merah dan membuat jantungnya berdebar dengan kencang. “Oh, God,” gumamnya.  Sepasang mata Nayna bersirobok dengan kedua mata pria tampan dengan gaya rambut pompadour pad itu. Gibran membasahi tenggorokannya, sebelum akhirnya dia lari pontang-panting untuk menenangkan dirinya yang hampir pingsan.  Sementara Nayna mengernyitkan dahi tak mengerti, bahkan dia belum sempat melemparkan senyum terbaiknya. Meskipun begitu senyum berhasil tersungging di wajah manisnya hingga memperlihatkan lesung pipit kecil di pipinya. Walaupun sebentar dia bahagia karena tatapan Gibran berhasil terekam di memorinya.   TIba-tiba Nayna terkesiap, saat Dinda ada di depannya. Sungguh Dinda telah merusak momennya. “Pulang, yuk! gue ada kelas nih,” ajak Dinda yang memang berbeda jurusan dengan Nayna dan Agatha, Dinda yang merupakan anak seni drama dan teater tidak begitu menjiawi kala di ajak ke tempat seperti ini.   “Lu, duluan aja deh, sumpah gue masih betah,” ucap Nayna.   Dinda mengernyit, dia tahu Nayna seperti itu setelah bertemu dengan Gibran. “Gibran kenapa lari?” tanya Dinda. Nayna mengedikkan bahu bersamaan dengan satu alisnya. Sementara Dinda geleng-geleng kepala, “Masa iya, baru seminggu putus dari Dewa, udah jatuh cinta lagi, cepet banget sih,” cibirnya. “Nggak peduli.” Nayna menyipitkan matanya sembari memiringkan wajah. “Ya udah ah, gue duluan.” Dinda pergi meninggalkan Nayna dan Agatha yang masih tetap berada di galeri dengan dalih tugas kampus. Nayna terus melangkahkan kaki mengelilingi galeri. Tangannya meraba setiap cat kering yang tertera di atas kanvas. Dia semakin merasa kagum pada Gibran, kelebihan yang dimiliki Gibran berhasil membuat Nayna ingin mengenal Gibran lebih jauh lagi.  Satu setengah jam waktu yang dihabiskan Nayna di galeri itu tak membuat Gibran keluar dari ruangannya, sesekali dia hanya mengintip di layar cctv yang langsung dapat melihat pergerakan Nayna. Dua botol air hampir Gibran habiskan, tiap dia mengingat tatapan mata Nayna tenggorokannya selalu terasa kering. Secara emosional Gibran mengakui Nayna begitu cantik dan anggun. Namun, di hatinya ada rasa takut tiap dia berpapasan dengan gadis itu.   Gibran menelepon Anya, dia menyuruh Anya untuk ke ruangannya sekarang. Bukan tanpa tujuan, dia ingin Anya segera mengusir dua perempuan itu. Sementara itu, Anya yang masih sibuk dengan sejuta pertanyaan dari Agatha, langsung berpamitan untuk menemui Gibran. Dia lalu berdiri di depan pintu. Tapi, tiba-tiba pandangannya teralihkan oleh suara jatuh yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia berlari ke asal suara. “Nayna, kenapa?” tanyanya.    Nayna menoleh segera menoleh. “Aku terpeleset, mbak,” lirihnya, sambil memijit kaki kirinya yang sakit. “Sini saya bantu.” Anya membantu Nayna berdiri. Namun, gadis itu meringis saat kaki kirinya menapak di lantai. Anya segera mengedarkan pandangan, tak ada sofa panjang untuk diduduki Nayna selain di ruangan Gibran. Gibran tersentak saat dia melihat Anya mengajak Nayna masuk ke ruangannya. Dadanya berdebar hebat, napasnya tersengal-sengal, bahkan tenggorokannya semakin terasa kering dan keringat dingin membasahi kening dan seluruh tubuhnya.  “Maaf, Dek. mbak bawa Nayna masuk, dia jatuh dan sepertinya kakinya terkilir,” terang Anya tanpa melirik Gibran yang sedang dalam kesulitan.  Dengan langkah terseok dan gemetar Gibran memaksakan dirinya keluar dari ruangan tersebut, dia bahkan tak mendengar perkataan Anya dengan benar. Anya yang melihat ada keanehan dengan Gibran segera mengikuti pria dua puluh tujuh tahun itu.  “Kamu tunggu di sini, mbak keluar dulu,” ucapnya seraya pergi. Nayna mengernyit, apa cuma dia yang merasa kalau ada yang aneh dengan tingkah Gibran. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD