Galeri Lukis

1768 Words
Sementara Gibran terlihat sangat kesulitan, dia duduk di sudut galeri sambil memegang dadanya, keringat dingin semakin membasahi seluruh tubuhnya, dia mencoba agar dirinya dapat mengontrol pikiran bawah sadarnya seperti yang dikatakan terapis beberapa waktu lalu.  “Kamu kenapa?” tanya Anya sambil mendekat.  Dengan napas terengah-engah Gibran memaksakan diri untuk mengucapkan satu kalimat, “Ambilin obat aku di laci.”  Anya segera berlari ke ruangan Gibran dan mengambil obat yang dimaksud Gibran, dia melihat Nayna bersama Agatha, “Kalian tunggu dulu disini, ya.” ucap Anya yang terlihat panik, sebelum mereka mengangguk Anya sudah keluar dengan tergesa-gesa. Anya mempercepat langkahnya, lalu dia memberikan obat tersebut pada Gibran. Anya mengernyit melihat hal yang yang tak biasa pada sepupunya itu. “Kamu kenapa sih?” tanya Anya sambil membantu Gibran untuk duduk di atas kursi. “Phobia aku kambuh,” lirih Gibran yang sudah sedikit lebih baik. “Phobia aneh itu lagi?” Anya mengernyit. Gibran mengangguk pelan. Dia kemudian menenggak obat yang dibawakan Anya. “Siapa? Nayna?”   Lagi-lagi Gibran mengangguk. “Astaga … cewek secantik dan semanis itu kamu takuti?” Anya mencebik, “Aneh.”  Gibran menunduk, perlahan kemudian dia menggelengkan kepala. Tiba-tiba dari arah pintu depan seorang pria bersetelan jas kantor datang mendekat kepada mereka berdua, “Nayna mana?” tanyanya tergesa. “Di Ruangan gue,” jawab Gibran pelan. Aksa mulai khawatir melihat ekspresi tegang dari wajah Gibran. “Lu nggak apa-apa, ‘kan?” tanya Aksa sembari menepuk pundaknya. “Hampir mati.” cela Anya, Mata bulatnya mendelik. Bukannya Anya tidak simpati pada Gibran, dia hanya heran di usia Gibran yang terbilang sudah matang untuk menikah, dia malah takut dan masih mengurusi phobia anehnya. “Jadi Nayna itu pacar kamu?” tebak Anya asal. Aksa tertawa. “Adik gue, Mbak. Masa Iya, pacar,” ucap Aksa sembari mendaratkan b*kongnya diantara mereka. “Kali aja, dia kan cantik.”    “Ya, iyalah. Lihat aja abangnya seganteng ini.” Aksa terkekeh yang diikuti tawa renyah Anya. “Udah ah gue mau bawa pulang Nayna,” lanjut Aksa sembari bangkit dan merapikan jasnya. Aksa melangkahkan kakinya dengan lebar di koridor galeri, kemudian dia berdiri di depan pintu yang sudah terbuka. Matanya menatap Nayna, hampir saja dia marah, jika dia tak melihat ada Agatha di sebelah Nayna.  “Pada ngapain sih kesini?” tanya Aksa, sembari mendekat. Wajah kesal Aksa pada Nayna sangat kentara. Dia tak habis pikir Nayna bisa sampai tahu kemana dia harus mendatangi Gibran.  “Ada tugas, kak, dari kampus untuk cari referensi dari setiap galeri lukis. Kebetulan tempat ini yang paling dekat dan masih satu kota,” jelas Agatha, dia perempuan yang cukup cerdas dalam berdebat maupun mencari alasan yang logis dalam situasi yang paling genting sekalipun. Aksa mengangguk-anggukan kepala, “Kalian naik apa kesini?”   “Taksi,” jawab Nayna ketus. “Nggak boleh ketus-ketus sama abang, nanti kualat loh, mau gua nggak anterin pulang?” ucap Aksa sembari menyipitkan mata. “Abisnya abang lama, aku udah kesel di sini.” Nayna mengerucutkan bibirnya. Dia kemudian menatap Agatha. Malu rasanya ketahuan kalau Nayna bersikap manja dan sangat bergantung pada abangnya. “Ya udah ayo pulang.” Aksa berbalik badan dan menarik tangan adiknya. Nayna kembali meringis saat kaki kirinya menginjak lantai.   Aksa menoleh. “Beneran sakit? nggak lagi nipu gue?”  “Astaga ….” Nayna memukul punggung Aksa. Dia kembali menghempas tubuhnya di atas sofa diikuti Aksa. “Lu nggak lagi modus, ‘kan?” tuduh Aksa.  Sumpah Nayna kesal. Dia terus saja memberondong Aksa dengan pukulan. “Emang abang pikir aku apa?” pekiknya. Dia tak peduli kalau suaranya menggema dan terdengar oleh Gibran dan Anya. “Ya udah, iya, gua gendong.” Aksa segera turun dari sofa dan berjongkok. Meskipun sebenarnya dia malas, tapi karena dia ingin segera membawa Nayna menghilang dari pandangan Gibran.  Nayna menatap punggung Aksa, walaupun Aksa itu menyebalkan dan suka nyari ribut, suka memancing emosinya. Tapi, Nayna beruntung karena punya kakak yang protective seperti Aksa. Dia langsung naik ke punggung Aksa, tangannya melingkar di bahu kakaknya, jika dilihat dari kemesraan mereka berdua, orang-orang tidak akan mengira jika mereka ternyata adalah adik kakak, perbedaan usia empat tahun membuat mereka terlihat seperti sahabat. Bahkan mungkin sebagian orang mengira mereka adalah sepasang kekasih. Aksa berdiri dengan Nayna di punggungnya. Sebelum dia melangkah, dia menoleh pada gadis di sampingnya. “Nama kamu siapa?”  “Agatha, Kak.” Gadis oriental itu sedikit malu-malu saat melihat kemesraan adik dan kakak itu. Apalagi melihat wajah manly Aksa, dengan tubuh tegap dan d*da bidangnya. Ah, sungguh dia ingin sekali ada di posisi Nayna saat ini.  “Oke, Agatha nanti kamu pulang bareng kami, tapi sekarang tolong bawain sepatu princes dulu, gue nggak mau kalau dia yang pegang nanti kena bahu gue,” ucap Aksa. “Iya kak.” Agatha mengambil alih sepatu Nayna yang sedang di pegang sahabatnya itu, di kanan dan kirinya sehingga sepatu tersebut mengenai kedua bahu Aksa. “Makasih, ya Tha,” ucap Nayna.   “Iya, sama-sama, Nay.”  Seolah Nayna begitu ringan di punggungnya. Aksa melangkah dengan langkah yang lebar dan cepat. Tapi tiba-tiba Aksa berhenti di depan Anya dan Gibran. “Gue pulang, ya.”  Anya menatap Aksa yang terlihat sweet terhadap Nayna, dia tersenyum tipis. “Iya, hati-hati,” ucapnya. “Pamit!.” Aksa mengangkat sebelah bahunya sembari menoleh pada adiknya. “Bilang makasih karena udah dibantuin.” Nayna mengangguk, sebenarnya tanpa Aksa minta pun Nayna akan tetap melakukannya. “Mbak Anya, makasih ya, kak Gibran makasih. Nayna pulang dulu.” Suara lembut Nayna membuat Gibran merinding, dia menunduk tak kuasa menatap wajah Nayna. Anya mengangguk. “Iya, hati-hati ya Nay, sering-sering main kesini.” “Siap mb--”  “Nggak usah! ngerepotin,” sergah Aksa.  Nayna mencibik. Dia memutar bola matanya malas.  “Aku pamit, ya mbak,makasih udah ngebantu tugas aku,” ucap Agatha sembari bersalaman. “Jadi yang punya tugas cuma kamu?” tanya Aksa. Sepertinya Agatha salah bicara. Dia segera meralat ucapannya, sebelum Nayna terkena masalah baru. “Nayna juga, Kak. kelompok,” ucap Agatha terbata. Kali ini Aksa percaya. “Ya udah, ah ….” Aksa melupakan Gibran yang sedang tertunduk dan terlihat gelisah. “Men, gue balik, ya.” Dia mengangkat alisnya saat tak ada sahutan dari sahabatnya itu. “Jangan kangen,” godanya. Nyaris semua wanita yang ada di situ tertawa. Namun, Gibran tetap tertunduk.   Tepat saat Aksa melangkahkan kaki, Gibran mengangkat wajahnya dan menatap punggung Nayna, tiba-tiba Nayna menoleh dan tersenyum membuat Gibran berdesir, tapi rasa takut lebih mendominasi dalam diri Gibran seolah Nayna akan menerkamnya saat itu juga. *** Karena kaki Nayna yang belum sembuh benar, membuatnya harus diam dan istirahat di rumah, semenjak pertemuannya dengan Gibran di galeri, dia jadi sulit melupakan Gibran, di diary nya penuh dengan nama Gibran, apa-apa tentang Gibran, isi otaknya hanya tentang Gibran. Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar. “Sayang, mama pulang,” ucap Nova yang langsung disambut hangat oleh anaknya. “Mama ….” Nayna memeluk hangat ibunya. “Kamu pasti ngerepotin abang, ya?” tanya Nova, sembari mengacak rambut Nayna. “Dikit, Ma.” Nayna menyatukan jari telunjuk dengan ibu jarinya sambil menyipitkan mata. Selama ibu dan Ayahnya ke Bandung, orang yang paling direpotkan Nayna selama dua hari ini adalah Aksa dan Mbok Yun.  Nayna yang terbiasa dimanja oleh ayah dan ibunya membuat Aksa ikut memanjakannya. Aksa tak pernah ada rasa iri sedikitpun, sejak kecil Ayah dan Ibunya selalu mengajarkan Aksa untuk selalu mengayomi adiknya, Nayna menyayangi Aksa karena Aksa selalu bersikap baik padanya, dia juga menghormati Aksa karena Aksa selalu menghargai pendapatnya. Perdebatan memang selalu ada saja, baik hal kecil maupun hal yang besar sekalipun, tapi itu tidak akan bertahan lama, karena sikap yang saling membutuhkan membuat mereka kembali akur. Namun, hal itu membuat Aksa sulit mendapat calon istri, karena kebanyakan wanita yang dekat dengan Aksa harus bisa dekat dengan Nayna terlebih dahulu, jika tidak mereka akan merasa diduakan oleh Aksa. “Abah sama Enin kangen, katanya ‘kapan kalian mau ke Bandung lagi?” ucap Nova, sembari menyisir rambut panjang Nayna. “Nayna juga, Ma. Kayaknya libur panjang deh, habis Nayna wisuda nanti. Semoga Abah sama Enin sehat-sehat ya disana, Aamiin.”  Wanita berjilbab itu mengangguk. *** Nayna selalu terbangun menjadi dirinya sendiri. Dia orang yang teliti, selalu menyiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk hari ini, setelah dia sulit melupakan Gibran, dia akan mendekati Gibran dengan alasan tugas akhir. Bagaimanapun caranya dia akan meminta Gibran untuk membantunya, jika pria itu tidak mau dengan sangat terpaksa Nayna akan memaksanya.    Dia berlari mengejar taksi yang melewatinya begitu saja, semenjak putus dari Dewa, dia tak  memiliki tumpangan ke kampus, juga tak ada lagi sarana yang bisa mengantarnya kemanapun. Nayna lebih menjadikan Dewa sebagai sopirnya ketimbang pacar. Sayang sekali Dewa memutuskannya tanpa alasan. Tapi, Nayna menerimanya begitu saja, karena dia sendiri juga sudah bosan dengan sikap Dewa yang selalu mengaturnya.    Nayna bukan tak memiliki mobil, di ulang tahunnya yang ke 22 tahun, bulan agustus lalu, Ayahnya menghadiahi Nayna mobil model hatchback keluaran terbaru. Tapi, Nayna belum siap memakainya, mungkin disaat mendesak seperti sekarang dia akan membawa mobilnya.  Nayna masuk ke dalam rumah membuka laci dan mengambil kunci mobil yang masih berada dalam kotak kado yang masih terbungkus rapi. Dia menatap kunci itu dan berpikir, mungkin sudah saatnya dia memakainya.  “Udah pakai aja, papa tahu kamu butuh, apalagi sekarang kamu jomblo, kamu juga nggak mungkin kan ngerepotin bang Aksa terus,” ucap Aydan--Ayah Nayna--yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya.  “Papa ….” Nayna segera menutup laci usai mengambil kunci mobilnya. “Tapi aku suka diantar jemput bang Aksa biar Dara nggak nempel-nempel terus sama bang Aksa.” Nayna mengerucutkan bibirnya. Dia tidak begitu suka pada Dara yang selalu cari muka pada keluarganya, apalagi di matanya Dara terlihat tidak tulus. “Ih, nggak boleh gitu ah, dia, ‘kan calon istri bang Aksa, kamu juga harus sayang sama dia.” “Tapi, dia nggak sayang sama aku, masa, dia coba ngejauhin aku dari bang Aksa.”  Aydan menghela napas. Sikap Nayna memang sedikit kekanak-kanakan, mungkin karena dia terlalu memanjakannya. Perlahan dia menggelengkan kepala sambil mengacak rambut Nayna yang sudah rapi dengan mencepol bagian atasnya saja dan membiarkan yang lainnya tergerai. “Papa mah … ah!” Nayna menjauhkan kepalanya dari tangan ayahnya. Rambutnya kini berantakan sudah, padahal dia menatanya sangat lama. Aydan tersenyum melihat anak gadisnya yang manja sudah beranjak dewasa. “Aku pamit.” Nayna mengecup pipi Ayahnya, dan berlalu membawa kunci mobil yang di pegangnya sedari tadi.  Nayna kemudian membuka garasi, dia berjalan mengelilingi mobil tersebut, mobil berwarna orange itu siap dipakainya. Dia mencoba mengontrol dan menyiapkan semuanya sebelum dia membawa mobil itu keluar dari garasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD