11 | Bersitatap

1017 Words
Annisa merasa heran karena ada pengunjung yang menyebut namanya. Dengan penasaran ia menoleh pada tamu yang kini sudah berdiri tegak. Matanya membulat sempurna. 'Mas Barra ....' Dalam hati menyebut nama pria yang selama ini ia hindari. Segera wanita itu menguasai kesadaran dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi. "Silakan dinikmati, Pak. permisi," pamitnya, tersenyum ramah sembari mengangguk sopan. Untuk beberapa saat, respon Barra masih sama seperti kemarin—diam. Antara percaya dan tidak bahwa ia telah bertemu istri. Bahkan saat ini jantungnya pun tengah berdebar hebat. "Maaf, Saya tidak sengaja." Suara Annisa yang meminta maaf usai tidak sengaja menabrak seorang tamu, membuat Barra kembali pada kesadaran. Gegas menyusul wanita itu. "Cha! Tunggu!" Memanggil dengan jarak beberapa langkah di belakang Annisa membuat beberapa orang pengunjung lain memperhatikan ke arah mereka. Barra mempercepat langkah karena Annisa tidak mau berhenti berjalan. Menghadang langkah wanita itu. "Tunggu." Berdiri saling berhadapan. Annisa memaksakan diri untuk tersenyum. "Maaf, Pak. Sepertinya Bapak salah orang. Jadi tolong beri saya jalan," ujarnya dengan sopan. "Annisa, tolong ... beri aku waktu untuk bicara." Pria itu memohon. Namum Annisa memilih abai, berlalu begitu saja. Tidak mau membuang kesempatan, Barra kembali mengikuti wanita itu. ''Icha. Tunggu!" Ia meraih tangan sang istri. Tetapi dengan segera ditepis oleh Annisa. "Lebih baik Anda kembali ke meja Anda. Atau saya panggil keamanan!" Dengan tegas ia berkata, berlalu kemudian. Barra menghela napas panjang seraya menatap punggung istri. Tidak ingin membuat keributan, Barra memilih untuk mengalah. Tak mau melakukan kesalahan yang sama dengan memaksakan kehendak pada wanita itu. Barra kembali ke meja. Makanan yang terhidang di sana hanya ia tatap tanpa minat. Sekali lagi membuang napas lelah. "Barra!" Pria itu menoleh saat ada yang memanggil namanya. "Intan?" "Kamu ngapain di sini?" tanya gadis bernama Intan itu. Tanpa dipersilakan, ia duduk di meja yang sama, berhadapan dengan Barra. Sang pria hanya melirik sekilas kemudian mulai menikmati makanan yang tadi dipesan dan mengabaikan gadis yang duduk bersamanya. Intan cemberut karena Barra mengabaikannya. Memutar otak agar pria itu mau bicara padanya. "Oh iya? Kabar Kenzo gimana? Lama gak ketemu sama dia." Intan sengaja bertanya soal Kenzo untuk menarik perhatian Barra. Ia tahu pria itu sangat mencintai anaknya. Tetapi Barra masih tetap abai. Asik makan seakan di depannya tidak ada siapa pun. "Barra! Kamu dengar aku gak sih?" Intan menaikkan volume suara karena kesal terus diabaikan oleh pria itu. Tetapi sesaat kemudian ia menoleh ke kiri dan kanan saat menyadari beberapa pasang mata tengah memperhatikannya. Barra mengambil gelas berisi air putih lalu meneguknya hingga tinggal setengah. Setelah membersihkan bibir dengan tisu, ia bangkit berdiri kemudian berlalu, meninggalkan Intan begitu saja tanpa ada kata terucap dari bibirnya. "Argh ...!" Gadis itu mengerang sembari memukul meja. "Susah banget sih deketin dia! Apa kurangnya aku coba?" Intan menggerutu dengan kesal seraya terus menatap punggung Barra yang semakin menjauh. *** Annisa mendaratkan diri di atas kursi kerja. Menghela napas lelah seraya menyandarkan punggung. Tatapannya lurus ke depan. Bayangan apa yang terjadi beberapa saat yang lalu ketika ia bertemu dengan Barra, kembali terlintas. "Aku yakin dia udah tau kalau aku kerja di sini. Makanya dia minta manajer yang mengantar makanan. Aku yakin itu sengaja, bukan kebetulan doang." Wanita itu menerka. "Tapi mau apa lagi dia nyari aku? Yang dia butuh cuma Kenzo dan itu juga udah dia dapatkan. Dia juga pasti sekarang udah dapat semua warisan keluarganya. Untuk apa lagi dia nyari aku sampai ke sini?" imbuhnya. Berbagai tanya kini memenuhi kepala Annisa. Ingin tahu alasan yang dimiliki pria itu hingga datang mencarinya. Tetapi untuk bertanya pun ia enggan. Malas berurusan lagi dengan Barra. Cukup sekali ia terperdaya oleh pria itu, dulu—saat masih belia hingga akhirnya terperangkap dalam pernikahan kontrak yang mengharuskannya mengandung tanpa melepas kegadisan. Lucu memang. Ia sudah mengandung dan melahirkan anak tetapi masih perawan. Takdir kadang sekelakar itu. Annisa menegakkan tubuh. Mengutak-atik laptop hingga layar gawai itu menampilkan gambar yang tertangkap oleh kamera pengawas yang tersebar di beberapa titik di restoran tersebut. "Untung tadi aku gak ladenin dia. Benar 'kan?! Dia memang gak juga berubah. Bilangnya mau bicara sama aku tapi dia sendiri datang ke sini karena janjian mau makan siang sama perempuan. Dasar Buaya! Tukang Bual!'' Menatap sinis pada layar laptop. *** "Aku harus apa ya biar dia mau bicara sama aku? Kelihatannya dia gak suka sama aku. Gimana caranya aku bawa dia pulang?" Barra bicara sendiri seraya duduk di kursi kerja seraya mengetuk-ngetuk jari ke atas meja. "Apa aku bawa Kenzo aja buat ketemu dia. Tapi ... aku takut dia gak mau mengakui kalau Kenzo adalah anaknya. Nanti Ken sedih kalau tahu dia gak diakui sama ibunya.'' Barra benar-benar harus berpikir panjang untuk setiap langkah yang akan ia lakukan. "Atau ... aku minta tolong mama aja ya buat bujuk Anisa tapi aku gak yakin mama mau. Lagi pula, kalau mama malah tanya ke Anisa kenapa dia pergi, terus Annisa ngasih tahu semuanya ke mama, malah tambah runyam urusannya.'' "Aduh ... aku pusing sendiri jadinya.'' Barra mengacak rambut sendiri dengan gusar. Masalah Annisa benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling. Pria itu menoleh pada pergelangan tangan di mana benda penunjuk waktu dengan harga yang tidak murah, melingkar di sana. Berlalu kemudian. "Reno, saya mau jemput dulu anak saya. Kalau ada hal yang mendesak, kamu minta tolong sama Alan aja,'' ujar Barra saat melewati meja kerja sang sekretaris. ''Baik, Pak.'' Pemuda Bernama Reno yang bekerja sebagai sekretaris itu—menjawab. Barra segera pergi dari kantor menuju sekolah Kenzo karena kedua orangtua sedang tidak ada di rumah saat ini jadi tidak bisa menjaga putranya. "Aku ajak Ken ke kantor aja deh nanti. Semoga dia mau. Tapi ... kalau dia gak mau, gimana ya? Atau aku titipkan dia di panti aja ya? Di sana 'kan banyak anak-anak. Waktu kecil juga sebelum pindah Ken sering main ke sana." Barra bicara sendiri seraya mengemudi. Akhirnya ia tiba di tempat tujuan, memarkirkan kendaraan di tempat parkir sekolah dan bersiap untuk turun, tetapi saat membuka pintu, pandangannya tertuju pada seorang gadis kecil. Ia pun tersenyum jahil. "Karena anak itu selalu cari masalah kalau ketemu, aku sampai lupa nanya namanya. Tapi tadi temennya manggil dia Kean." Barra bergumam lagi. "Tapi ... kok itu anak cerewet dijemput sama dia?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD