10 | Pertemuan

1113 Words
Keandra menatap tajam pria dewasa yang menurutnya menyebalkan itu. Gigi bergemeletuk karena menahan kesal. ''Nanti Om dijewer sama ibu aku." "Kean. Om ini siapa?" tanya gadis lain yang tadi berjalan bersama Keandra. "Ini?" tunjuk Keandra pada Barra, pandangannya terarah pada sang teman. Tetapi kemudian kembali menatap Barra. ''Ini, Om Nyebelin yang kemarin marah-marah karena aku gak sengaja nabrak." "Oh." Teman Keandra hanya ber-oh ria, menanggapi. "Mulai sekarang, Om jangan ganggu aku lagi ya?! Kalau enggak, aku bakalan laporin Om sama ibu guru dan juga ibu aku." Keandra mengancam sang pria dewasa seraya berkacak pinggang. "Laporin aja! Saya gak takut." Barra sengaja menantang gadis kecil itu. "Kean! Ayo! Bel masuknya udah bunyi," Keandra hanya menurut saat tangan ditarik oleh temannya. "Awas ya, Om! Kalau ketemu lagi, aku balas nanti," teriak Keandra seraya berlari tetapi kepalanya memutar ke belakang, di mana Barra berada. "Anak perempuan kok bar-bar gitu, pasti orang tuanya lebih galak lagi dari anaknya. Semoga aja Ken gak berurusan sama anak perempuan yang cerewet itu." Barra bergumam, berdiri di sana hingga Keandra menghilang dari pandangan. Saat akan kembali masuk ke dalam mobil, ponselnya berdering. Merogoh saku jas dan memeriksa pesan yang baru saja masuk. Raut wajahnya berubah seketika. Gegas berlalu dari sana, melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Beberapa menit kemudian, ia sampai di tujuan. "Awas aja kalau sampai mereka salah ngasih informasi," gumamnya seraya memarkirkan kendaraan. "Tapi rumah makannya masih tutup." Akhirnya memutuskan untuk menunggu. Menit demi menit telah berlalu, Barra masih menunggu tanpa bosan tetapi semakin lama, kesabarannya yang hanya setipis tisu dibelah tujuh itu, akhirnya menguap jua. "Ya Tuhan ... aku udah membuang waktu di sini. Apa iya dia kerja di sini? Kemarin aku udah cek kamera CCTV restoran ini tapi gak ada. Apa aku aja yang gak ngenalin dia?" Ketika sedang berpikir, Ponsel Barra berdering. Nama Alan tertera di sana. "Ya ampun ... aku lupa. Ada meeting penting hari ini." Ia menyalakan mesin kendaraan dan berlalu. Bersamaan dengan itu, pintu rumah makan yang sejak tadi diawasi oleh Barra—terbuka. Tetapi pria itu sudah tidak punya waktu. Harus segera ke kantor karena ada hal yang mendesak. *** Barra merentangkan kedua tangan ke atas untuk meregangkan otot yang terasa kaku. "Masuk!" Berseru saat mendengar bunyi ketukan di pintu. "Maaf, Pak. Bu Rima tadi menelpon. Bapak ditunggu untuk makan siang di rumah." Alan yang bekerja sebagai asisten pribadi Barra, memberitahu sang atasan. "Kamu bilang aja sama mama saya, kalau hari ini saya gak bisa. Saya ada perlu." Barra menyahuti seraya bangkit berdiri. "Tapi, Pak—" "Saya pergi dulu!" potong Barra sambil lalu, sebelum Alan menyelesaikan perkataan. Dengan tergesa pria itu turun menggunakan lift. Karena waktu istirahat masih beberapa menit lagi, benda itu pun meluncur dengan cepat tanpa hambatan. Tidak ada lift khusus petinggi di kantor itu karena ayah Barra ingin semua orang yang bekerja di sana, berbaur. Tetapi apa daya, aura Barra terlalu menakutkan hingga tidak ada yang berani naik lift bersamanya kecuali segelintir orang tertentu. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka saat tiba di lantai dasar. Segera pria yang telah memiliki satu anak itu pergi menuju mobil. Tak ada satu pun sapaan dari para karyawan yang berpapasan dengannya yang ia balas. Pergi dengan tergesa hingga akhirnya mobil mewah itu pun meninggalkan gedung perkantoran. Namun, ponsel Barra berdering saat ia sedang mengemudi. Karena merasa terganggu dengan bunyinya, ia memutuskan untuk menerima panggilan yang masuk. "Ya, Mama," sapanya dengan malas. 'Cepat datang ke rumah, Barra! Mama dan papa tunggu kamu makan siang. Ini perintah!' Terdengar suara sang ibu di seberang sana tetapi setelah itu panggilan ditutup secara sepihak oleh nenek dari anaknya tersebut tanpa sempat Barra memberikan tanggapan. "Dasar tukang maksa!" gerutu Barra seraya terus melajukan kendaraan roda empatnya. *** Setelah berlomba dengan kendaraan lain di jalan raya yang cukup ramai, seorang pria turun dari mobil lalu masuk ke dalam sebuah rumah makan. Setelah berada di dalam, ia berdiri sesaat tidak jauh dari pintu masuk. "Selamat siang, Pak. Silahkan," sapa salah seorang karyawan yang berjaga di depan pintu. "Siang. Apa benar di sini ada manager baru?" tanya sang tamu. "Benar, Pak." Pemuda berseragam karyawan itu mengangguk, membenarkan. Sang tamu mengangguk kemudian memilih salah satu meja yang berada di sudut ruangan lalu membuka menu. Setelah memilih menu makan siang, ia memanggil pramusaji. "Tolong antar pesanan saya oleh manager baru!" "Hah? Tapi Maaf, Pak—" "Saya tidak ingin mendengar bantahan!" potong tamu itu dengan arogan. Pramusaji yang menggunakan papan nama bertuliskan Asti itu hanya bisa menghela napas panjang. "Baik, Pak. Akan segera kami siapkan pesanan Anda." Berlalu kemudian. Pegawai wanita itu tiba di belakang, meletakkan buku catatan dengan sedikit kasar. "Bu Annisa di mana?" tanya Asti. "Kenapa kamu? Mukanya kayak yang kesel gitu." Karyawan lain yang menyadari raut wajah gadis itu, bertanya balik. "Biasalah, Tita. Ada tamu resek." "Oh." Gadis bernama Tita itu hanya menjawab singkat. Bertahun-tahun bekerja di rumah makan kelas menengah ke atas itu, membuat para karyawan terbiasa bertemu dengan banyak karakter orang. Tamu yang permintaannya di luar nalar, sudah biasa mereka temukan. "Aku mau ke ruangan.Bu Annisa dulu. Tolong siapkan pesanan meja nomor sembilan. Tapi jangan diantar dulu. Dia maunya diantar sama manager baru." Asti berlalu setelah memberikan secarik kertas pada temannya. "Oke." Tita hanya menyahuti singkat seraya menerima pesanan untuk meja yang dimaksud. Asti pergi ke ruangan Annisa. Mengetuk pintu dan berdiri sesaat di sana. "Masuk!" Seruan dari dalam sana terdengar. Asti pun membuka pintu dan mendorongnya. "Selama siang, Bu. Maaf mengganggu.'' Annisa tersenyum. "Gak apa-apa. Apa ada masalah?" Asti mengangguk. "Ada tamu yang ingin pesannya diantara sama Ibu." "Hah? Saya?" Ibu muda itu heran mendengarnya. "Iya, Bu. Katanya mau diantar oleh manager baru." Gadis itu kembali mengangguk. "Oh." Annisa tidak lagi merasa heran karena ternyata tamu itu hanya ingin pesanannya diantar oleh manager baru bukan sebagai Annisa. "Siapin aja pesanannya, nanti saya yang antar." "Baik, Bu. Saya permisi.". Annisa hanya mengangguk menanggapi kemudian melanjutkan pekerjaan setelah Asti keluar. "Tanggung. Ini dikit lagi." Bergumam ia. Setelah itu, ibunda Keandra tersebut keluar dari ruangan dan pergi ke belakang. "Mana pesanan yang harus saya antar?" "Ini, Bu. Meja nomor sembilan yang di pojok ruangan dekat kaca." "Oh. Oke. Ini pesanannya udah semua? Gak ada yang ketinggalan lagi?" "Tidak Bu. Itu udah semuanya." Annisa mengangguk kemudian membawa nampan berisi pesanan salah satu tamu di sana. ''Nomor sembilan, di pojok ruangan. Itu kayaknya," bergumam saat melihat punggung seorang laki-laki. Gegas menghampiri kemudian berdiri di samping meja seraya meletakkan nampan. "Permisi, Pak. Makanannya.'' Tanpa melihat orang yang duduk di kursi meja tersebut. Sang tamu yang sedang sibuk berbalas pesan sambil menunggu, menyadari kedatangan seseorang. Ia pun, menengadah, menoleh pada seorang wanita yang sedang menyajikan makanan di atas meja. "Annisa ...." Pria itu bergumam sembari menyebut nama sang wanita, tanpa sadar ia berdiri perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD