Cium

2644 Words
    "Kamu kenapa gak pernah cerita sih, Tik? Padahal kalo kamu cerita, aku pasti buat banyak rencana yang pasti bakal buat Kak Baskara balik ke Indonesia secepatnya."     Telinga Kartika seakan mati rasa, dan tuli karena sejak tadi pagi Venty terus saja mengulang pertanyaan yang sama, walaupun Kartika telah menjawabnya berkali-kali. Ah hari ini sangat melelahkan. Benar-benar melelahkan. Kartika menahan napas saat Venty menarik resleting gaun pengantin yang tengah dicoba olehnya. Bibir Kartika mengerucut kesal. Bagian perut gaun yang ia coba ini terasa cukup ketat. Dan Kartika tak nyaman menggunakan pakaian sejenis ini.     Venty membuka gorden putih dan mengungkap penampilan Kartika pada orang-orang yang tengah menunggu di balik gorden tersebut. Di sana ada Irma, sang pemilik butik. Istri dari Dhan yang dipercaya oleh Baskara, untuk membuat semua set pakaian yang akan digunakan saat proses pernikahan dan resepsi. Ada juga para pegawai butik yang bertugas untuk membawa gaun pengantin yang telah Irma buat khusus untuk Kartika. Irma kembali memotret Kartika yang terlihat kaku, karena menjadi pusat perhatian. Ia berdecak puas melihat gaun-gaun yang ia buat, sangat pas dengan tubuh Kartika. Sebenarnya, semua ide model gaun ini berasal dari Baskara. Irma hanya bertugas untuk menuangkannya pada gambar, dan mengaplikasinnya langsung pada desain yang ia buat.     Irma harus mengacungkan jempol untuk Baskara. Karena semua gaun yang ia inginkan, benar-benar sangat cocok untuk tubuh mungil Kartika. Selera Baskara memang patut dipuji. "Oke, gaunnya udah dicoba semua. Sekarang Venty bantu Tika ganti baju lagi ya, terus nanti baru kita ngobrol," ucap Irma. Venty dan Kartika mengangguk bersamaan dan kembali menutup gorden ruang ganti. Beberapa menit kemudian, Kartika dan Venty telah dijamu dengan acara minum teh santai oleh Irma.     "Tante gak nyangka kalau kamu ada hubungan sama Baskara. Setau Tante, kamu takut sekali dengan anak itu," ucap Irma mulai mengorek informasi. Ini sesuai permintaan Affa, yang meminta dirinya untuk mengorek informasi sekecil apa pun dari calon menantunya ini. Affa tidak bisa melakukannya secara langsung, karena mendadak dirinya diseret untuk melakukan honeymoon oleh Senu.     "Tuh kan, Tante Irma aja gak nyangka. Tapi Tan, kemarin Venty denger cerita dari Kak Baskara, Tante mau denger nggak?" tanya Venty jail sembari melirik pada Kartika yang tampak terdiam dan menunduk menatap cangkir teh.     "Ternyata, Kartika itu bukannya takut, tapi Kartika merajuk sama Kak Baskara. Kata Kak Baskara sih, Kartika gak mau ditinggal selama itu sama Kak Baskara. Wah yakin deh gak nyangka kalo sejak dulu, Kartika udah suka sama Kak Baskara. Tapi gak heran juga, soalnya Kak Baskara kan ganteng terus pinter," ucap Venty semangat. Ia menceritakan semua hal yang ia dengan dari Baskara.     Kartika meringis dalam hati. Ia tak tahu harus berkomentar apa. Karena semua kisah yang di dengar oleh Venty dari Baskara, Kartika bisa menjamin jika semua itu hanya rekayasa. Kebohongan yang dibuat secara sengaja untuk menutupi semua keburukan yang telah baskara dna Kartika lakukan. Masih ingat bukan kejadian di mana Kartika dan Baskara di temukan tidur di bawah selimut yang sama? Kejadian tersebut untungnya hanya diketahui oleh Kartika, Baskara, serta kedua orang tua Baskara. Itu dilakukan demi menjaga nama baik Kartika. Dan untuk menghindari terjadinya hal buruk lagi, Baskara memutuskan untuk mempercepat pernikahan.     Tentu saja pada awalnya Kartika menolak. Namun ternyata Baskara telah menyiapkan sebuah ancaman yang mampu membuatnya tak berkutik. Baskara mengatakan, jika Kartika menolak menikah dengannya, maka foto-foto saat dirinya tidur dalam pelukan Baskara akan tersebar. Nama baik Baskara tak akan goyah, karena wajah Baskara di dalam foto-foto tersebut sama sekali tak terlihat. Sebaliknya, wajah Kartika terlihat jelas.     Saat foto tersebut tersebar, maka nama baik Kartika akan hancur. Dan Baskara menekankan, bahwa perguruan tinggi akan sangat sulit menerima calon mahasiswa yang tersandung masalah amoral seperti itu. Venty juga pasti tak mau memiliki teman yang pernah melakukan hal itu. Satu lagi, Baskara menambahkan jika kemungkinan besar bahwa beberapa bulan kedepan perut Kartika akan membesar karena janin yang tumbuh di rahimnya.     Kartika tak bisa mendapatkan satu pun solusi untuk keluar dari belenggu masalah yang Baskara lemparkan padanya. Dan pada akhirnya, Kartika menyetujui pernikahan tersebut. Beberapa minggu ini, kepala Kartika serasa ingin meledak. Di awali dengan orang misterius yang mengganggunya, lalu pesan-pesan aneh yang datang serta menghilang tiba-tiba. Serta kembalinya Baskara yang menjadi puncak dari masalah yang datang ke dalam hidup Kartika. Irma yang melihat Kartika melamun hanya bisa menghela napas. Kartika memang seperti buku yang terbuka, sangat mudah membacanya. Namun sayangnya, ada banyak hal yang tersembunyi dalam buku tersebut, dan Irma belum bisa mengoreknya.     "Oh iya Kartika paling suka gaun yang mana?" Irma mencoba mengalihkan pembicaraan. Karena ia tahu, bahwa Kartika tak nyaman dengan topik pembicaraan sebelumnya. Kartika menatap deretan gaun yang sebelumnya ia coba. Ada sekitar enam gaun, yang model serta warnanya berbeda. Tiga gaun berwarna putih, dan sisanya berwarna gelap.     "Tika suka yang itu." Kartika menunjuk sebuah gaun putih yang paling sederhana. Irma tersenyum. Sepertinya Baskara tahu dengan tepat selera dari Kartika.     "Tante juga suka gaun yang itu, tampak sangat cantik di tubuh Kartika yang mungil. Tante benar kan, Ven?"     Venty mengangguk, "Tapi sebenernya, Tika cantik pakai apa aja. Kayak Venty, hehe."     Ketiganya tertawa bersama saat Venty kembali melempar guyonan yang membuat perut terkocok. Mereka menghabiskan waktu hingga waktu makan siang, sebelum Kartika pamit untuk pergi ke tempat kerjanya. Sedangkan Venty harus segera pergi ke kampus, karena ternyata lagi-lagi ada kuis dadakan. Kartika menghela napas saat tiba di restoran dan kembali bekerja. Hari-hari Kartika selebihnya masih sama. Bangun tidur, berangkat kerja, pulang, lalu tidur. Hanya seperti itu saja.     Baskara yang semula ia takutkan akan mengganggu hari-harinya, satu minggu ini menghilang entah ke mana. Bahkan Baskara sama sekali tak mengirim pesan untuk sekedar menanyakan keadaannya. Hanya saja, tadi pagi Baskara mengirim Venty untuk membawanya menuju butik milik Irma. Tadinya, ia Baskara sudah melupakan masalah menikahinya. Namun mengapa selama ini Baskara tak menghubunginya? Kartika menggelengkan kepalanya dengan cepat. Kenapa dirinya seakan-akan menunggu untuk dihubungi oleh Baskara? Kartika membuka matanya lebar-lebar, dan mengingatkan dirinya bahwa Baskara adalah orang yang menakutkan, serta berbahaya.     Sekali lagi, Kartika menghela napas dan kembali melaksanakan tugasnya dengan baik. Seperti biasanya, setelah pekerjaannya di restoran selesai, malam harinya Kartika bekerja di kafe milik Janu. Dan entah mengapa, Kartika merasa jika sikap Janu bertambah manis hari ini. Pipi Kartika memerah saat Janu dengan jail meniup telinganya, saat Kartika sedang sibuk mengelap etalase kue. Janu juga secara spesial membuatkan macaroon khusus untuk Kartika.     "Istirahat saja dulu, belum ada pengunjung yang datang," ucap Janu sembari menarik Kartika menuju meja di samping dinding kaca kafe. Keduanya duduk berseberangan, dan mulai menikmati cemilan yang dibuat Janu. Para pekerja kafe yang lainnya tampak mengintip, mencari posisi terbaik untuk menonton momen penting yang akan terjadi sebentar lagi. Mereka tampak tak takut jika pengunjung akan datang tiba-tiba, karena sebenarnya tulisan di depan kafe menunjukkan bahwa kafe masih tutup.     "Kartika," panggil Janu.     Kartika mengangkat wajahnya dan menatap Janu yang berubah serius. Mau tak mau Kartika meletakkan kue yang barusan akan ia makan. "Iya Kak?"     "Ayo menikah!"     Kartika membulatkan matanya. Apa sekarang sedang zamannya mengajak menikah secara tiba-tiba ya? Dan keterkejutan yang dirasakan oleh Kartika, juga dirasakan oleh para pekerja kafe lainnya. Mereka mengira bahwa tadi Janu akan menyatakan cinta dan mengajak pacaran, tapi Janu melakukan hal yang lebih dari itu. "Kak Janu, jangan bercanda seperti itu. Kartika tidak nyaman."     "Tapi Kakak serius. Kakak mau, kita menikah."     Kini Kartika makin terkejut setelah mendengar jawaban Janu. Ah kepalanya terasa pening. Jelas Kartika akan menolak pinangan tersebut. Selain karena Kartika hanya menganggap Janu seperti kakaknya sendiri, Kartika juga sudah sebelumnya sudah terlebih dahulu dipinang oleh Baskara. Bahkan pernikahan mereka tinggal menunggu hari saja.     Tampaknya Janu mengerti kebingungan yang dialami oleh Kartika. Ia menghela napas, dan berucap, "Ini mungkin mendadak, tapi Kakak telah memikirkannya dengan serius. Kakak juga yakin kalau Kartika juga mau memulai kehidupan rumah tangga dengan Kakak. Kita sudah mengenal lebih dari satu tahun, dan itu sudah lebih dari cukup untuk memasuki jenjang yang lebih serius."     Kartika menarik tangannya dan meletakkannya dia atas pahanya. Entah mengapa tangannya bergetar. Ia merasa takut tanpa alasan. Kali pertama dirinya merasakan hal seperti ini di hadapan Janu, laki-laki yang biasanya selalu membuatnya nyaman. "Kak Janu, maaf Kartika ga--"     "Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang, masih banyak waktu. Dan sepertinya sudah ada pelanggan yang datang, kita harus mulai meyani mereka." Janu bangkit dari duduknya dan melenggang pergi setelah tersenyum manis pada Kartika. Senyuman yang kini tak lagi membuat hati Kartika senang. Ada sebuah beban yang menindih dadanya. Ia merasa bersalah karena tak mengatakan secepat mungkin pada Janu, bahwa dirinya akan segera menikah di waktu dekat.     Namun sekarang sudah terlanjur. Janu terlanjur menunggu jawaban baik darinya. Kartika terbebani. Ia ragu, bagaimana caranya menolak Janu tapi tanpa melukai hatinya? Kartika baru pertama kali dalam posisi seperti ini, jadi Kartika tidak tahu bagaimana harusnya ia bertindak. Meskipun kebingungan, Kartika tak bisa mengabaikan tugasnya. Ia segera bangkit dan membersihkan meja yang barusan ia gunakan. Lalu kembali membantu pekerja kafe yang lain.     Para pekerja kafe yang tahu jika sebelumnya Kartika hampir saja menolak pinangan Janu, hanya bisa bungkam dan tak mengungkit hal tersebut. Mereka tahu jika Kartika pasti tengah kebingungan, serta Janu pasti tengah menghibur dirinya sendiri dan mencoba tak putus harapan. Kecanggungan yang sebelumnya terasa mencekik, memudar seiring dengan keramaian kafe. Semua orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Termasuk Janu dan Kartika yang sebelumnya terlibat dalam perbincangan yang tak masih menggantung.     Kartika dengan gesit membersihkan meja, dan membawa gelas serta piring kotor. Sedangkan Janu sibuk membuat kopi, namun sesekali dirinya mencuri pandang pada Kartika. Tampaknya Janu memang telah benar-benar jatuh cinta pada Kartika. Larut malam, kafe mulai sepi dan para pekerja segera menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum menutup kafe. Tepat pada pukul setengah dua belas malam, para pekerja bisa pulang. Kartika awalnya ingin pulang sendiri, tapi Janu memaksa untuk mengantar.     Kartika awalnya ingin memanfaatkan perjalanan pulang tersebut untuk menjawab pinangan Janu. Tapi Janu dengan tegas menolak, ia tidak ingin mendengar jawaban pada saat itu. Dan meminta Kartika untuk memikirkannya kembali, serta menyimpan jawabannya hingga Janu menanyakannya kembali.  Tiba di kontrakannya, Kartika tak mau berlama-lama berbasa-basi dengan Janu, ia segera mengucapkan terima kasih dan segera masuk ke dalam kontrakannya, perasaannya sungguh tak enak. Begitu Kartika masuk, ia tersentak karena melihat kontrakannya terlihat sangat berbeda.     Bukan karena barang-barang usang miliknya menghilang atau terganti dengan barang yang lebih baru, tapi karena ada kehadiran sosok yang selama seminggu ini menghilang tanpa kabar dan hanya memberikan perintah padanya. Siapa lagi jika bukan Baskara, pria tersebut terlihat duduk di samping boneka beruang besar berwarna biru tua. Boneka yang pertama kali dilihat oleh Kartika. Tanpa bisa ditahan, netra Kartika berbinar dengan indahnya.     "Kak Baskara kok bisa ada di sini?"     "Tidak sopan. Bukannya mengucap salam, kau malah bertanya seperti itu," ucap Baskara sembari menyesap kopi kalengnya. Kartika menunduk dengan pipi memerah. Sedikit malu karena ditegur oleh Baskara.     Dengan pelan, Kartika mengucapkan salam. Baskara berdecak saat melihat Kartika yang masih mengenakan pakaiannya tadi pagi. "Sana pergi mandi! Aku tidak suka melihat seseorang yang kumal sepertimu. Setelah mandi, buatkan aku sandwich, bahan-bahannya sudah ada di dapur."     Kartika mengangguk cepat, tak mau membuat Baskara marah. Secepat kilat ia masuk ke dalam kamar mandi setelah membawa baju ganti. Beberapa menit kemudian, Kartika muncul dengan gaun tidur putih gading yang tampak kusam. Rambut panjangnya yang berwarna hitam kelam, tergerai basah. Kartika segera masuk ke dalam dapur dan membuat makanan yang diminta oleh Baskara. Setelah menggoreng telur dadar untuk isian, Kartika menata roti dan sayuran, memotongnya dengan rapi lalu menyimpannya di atas piring. Tak lama, pekerjaan Kartika telah selesai.     Kartika melangkah menuju Baskara yang masih duduk di samping boneka beruang biru. Kartika sempat ragu untuk mendekat karena Baskara terlihat memejamkan matanya, sepertinya tengah tertidur dalam posisi duduk bersila. Namun tiba-tiba Baskara membuka matanya dan mengisyaratkan Kartika untuk mendekat. Tak bisa menolak, Kartika mendekat dan duduk di hadapan Baskara setelah meletakkan piring sandwich di atas karpet. Kartika melihat wajah Baskara, tak terlihat kelelahan, penampilan Baskara masih sangat rapi. Kemeja serta celana kerjanya bahkan tak terlihat kusut sama sekali.     Setelah menggigit sandwich buatan Kartika, Baskara mengangguk dan menatap calon istrinya itu. "Aku lebih suka telur yang tidak terlalu matang. Buatkan teh pahit, gunakan teh yang aku bawa!"     Kartika mengangguk dan kembali masuk ke dapur, tak lama Kartika muncul dan menyerahkan cangkir teh pada Baskara. Namun Kartika terkejut saat tangannya segera ditarik dan membuat dirinya terduduk di pangkuan Baskara. Tubuh Kartika terasa kaku, ia tak berani bergerak, takut jika reaksinya akan membuat Baskara marah.     "Aku mengantuk. Malam ini, aku akan menginap di sini. Tapi sebelum tidur, kita harus makan. Makanlah!"     Kartika terlihat tak nyaman saat Baskara memeluknya dengan erat dan menyandarkan kepalanya. "Tapi Kak, Kakak gak boleh nginep di sini."     "Siapa yang bilang? Pemilik kontrakan saja sudah mengizinkan, sekarang makan!"     "Tapi Kartika duduk di karpet aja ya? Gak enak kalo makannya begini."     "Tidak."     Kartika mengerucutkan bibirnya. Ia menyamankan posisi duduknya dan mencoba meraih potongan sandwich, masih dengan Baskara yang memeluk tubuhnya dengan erat. Tangan Kartika bergerak lincah mengeluarkan sayuran serta keju, menyisakan telur dadar serta sepasang roti tawar. Kartika lalu menuangkan begitu banyak saos cabai dan tomat ke atas roti yang akan ia makan. Namun tiba-tiba tangan Baskara menepis roti tersebut. Kartika menatap nanar, padahal ia sudah sangat ingin memekan telur dadar itu. Meskipun baginya roti kurang cocok dengan telur goreng, tapi ia tetap ingin memakannya.     "Aku menyuruhmu memakan sandwich, bukan memakan roti dan telur yang dilumuri saos sambal. Ambil roti yang lain dan makan! Jangan pilih-pilih makanan, Kartika!"     Tanpa berucap apa-apa lagi, Kartika kembali mengambil satu potong sandwich dan dengan patuh memakannya. Baskara menyeringai saat melihat Kartika mematuhi perintahnya. Ia mengecup pipi Kartika dan kembali menatap wajah Kartika dengan seksama dari samping.  Tampaknya Kartika butuh waktu cukup lama untuk menghabiskan sepotong sandwich, wajahnya yang mungil terlihat sangat tersiksa saat mengunyah roti isi tersebut. Namun berbeda dengan Baskara, pria pendiam tersebut terlihat sangat menikmati pemandangan wajah Kartika yang memerah dan tersiksa, baginya hal itu sangat menggemaskan. Bukannya Baskara ingin menyiksa Kartika, hanya saja ia ingin Kartika terbiasa untuk tidak pilih-pilih makanan.     Setelah menelan satu kunyahan terakhir, Kartika tampak berkaca-kaca dan mencari air, tetapi pososinya sekarang membatasi pergerakan dirinya. Yang Kartika bisa raih hanya teh pahit hangat yang sebelumnya ia buat untuk Baskara. Kartika akan meraih gelas tersebut, tapi Baskara lebih dulu meraihnya dan mengangkat tinggi-tinggi. Kartika mulai membekap mulutnya sendiri. Keju yang menjadi salah satu isian roti tadi, membuat perutnya bergejolak. Kartika ingin muntah! Dan teh pahit hangat yang bisa meredam rasa mual ini.       "Jangan memuntahkan makanan Kartika, telan!"       Kening Kartika mengerut. Namun ia berusaha untuk tak memuntahkan makanan yang sebelumnya ia telan. "Kak Tika minta teh nya ya? Perut Kartika mual."     "Boleh, tapi cium dulu," ucap Baskara memberikan syarat. Untuk beberapa saat Kartika termenung, tapi karena perutnya sudah terlalu mual, Kartika segera meraih tangan kiri Baskara dan mencium punggung tangannya dengan hormat. Baskara terlihat kehilangan fokus, tangan kanannya tanpa sadar turun dan Kartika segera meraih gelas teh. Kartika segera lega setelah meminum teh tersebut. Tak menyadari jika Baskara telah menatapnya dengan tajam.     Begitu Kartika mengangkat pandangannya, ia merinding bukan main saat melihat Baskara yang menatapnya tajam. Kartika merasa ingin pipis, saking takutnya. Baskara menunduk dan berbisik tepat di depan bibir Kartika, "Ciuman yang kumaksud adalah yang seperti ini, Kartika." lalu Baskara segera menempelkan bibirnya dibibir Kartika.  Awalnya hanya menempel, tapi lama-lama bibir Baskara mulai bergerak dan menyesap dalam-dalam bibir Kartika. Napas Kartika tertahan. Meskipun ini bukan kali pertamanya mendapat ciuman dari Baskara, Kartika masih saja belum terbiasa.     Namun entah mengapa, kali ini Kartika tidak jatuh pingsan. Lama kelamaan perasaan takut yang selalu saja ia miliki saat bersama dengan Baskara, mulai menyusut. Ia kini sedikit merasa nyaman. Baskara melepas pagutan bibir mereka dan menyeringai menatap wajah merah Kartika. "Kali ini tidak pingsan. Anak pintar. Sekarang sudah main-mainnya, mari tidur. Besok akan menjadi hari yang panjang."     Baskara berbaring di atas kasur keras milik Kartika, dan menarik Kartika agar berbaring di atas tubuhnya. Ia mulai bersenandung pelan. Senandung hangat yang membuat setiap orang terbuai dan tampa sadar akan jatuh tertidur dengan sendirinya. Hal itu juga berlaku untuk Kartika, gadis mungil tersebut telah meringkuk nyaman seperti anak kucing yang tertidur dalam buaian induknya. Baskara mencium kening Kartika seraya berbisik, "Bonne nuit ma petite étoile."   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD