Menggoda

2516 Words
    "Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan?!"     "Tentu."     "Dia masih kecil!"     "Dia sudah berusia sembilan belas tahun lebih beberapa bulan. Ia sudah pubertas. Sudah menstruasi. Sudah mempunyai KTP. Itu artinya, dia bukan lagi anak kecil. Apa aku salah?"     "Berani sekali kau menjawab seperti itu! Apa selama ini, itu yang kau pelajari di luar negeri?!"     Mendengar semua kebisingan yang mengetuk pendengarannya, Kartika mulai bergumam tak senang, karena merasa terganggu tidurnya. Ia mengerang dan menggeliat sebelum membuka matanya dengan perlahan. Sebuah wajah cantik menyambut Kartika untuk pertama kalinya. Sontak Kartika membuka matanya dengan lebar. Kenapa sosok cantik ini bisa ada di sini? Lalu kenapa dirinya bisa berada di sini?     "Ta-tante?" Kartika terlihat linglung saat Affa dengan cemas memborbardir dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dimengerti oleh dirinya. Jelas, dirinya tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Ia bahkan tidak tahu alasan mengapa dirinya berada di tempat ini, hingga kenapa semua orang ini juga ada di sini dan menatapnya seperti itu? Apa ada masalah yan terjadi?     "Kamu gak papa kan Sayang? Ada yang sakit. Yang di bawah sana masih sakit? Apa mau ke rumah sakit aja? Ah, atau panggil dokternya ke sini? Hiks, pasti sakit, ‘kan? Tante tau. Tapi tahan ya, nanti lama-lama gak bakal sakit. Kamu harus kuat!" ucap Affa beruntun. Wajahnya yang masih cantik di usianya yang sudah menginjak kepala empat, kini memerah dan dibanjiri oleh air mata. Affa terlihat sangat tersiksa. Seakan-akan, Affa merasakan dan berada di posisi Kartika saat ini.     "Sayang, jangan membuat Kartika ketakutan," ucap Senu lalu menarik Affa untuk menjauh dari Kartika. Tentu saja, Senu harus memberikan ruang untuk gadis satu itu. Kartika mengerutkan keningnya saat melihat kehadiran Senu yang kemudian menarik Affa menjauh dari sisinya. Kartika berusaha bangkit dari posisi rebahannya. Akhirnya Kartika sadar jika dirinya tak tidur di kasur keras miliknya, pantas saja rasanya sangat nyaman, ternyata Kartika barusan tidur di sebuah kasur luas yang sangat empuk dan lembut. Namun Kartika tidak mengenali di mana dirinya tengah berada.     Kartika menunduk saat merasakan selimut yang ia kenakan jatuh ke atas pangkuannya. Seketika mata Kartika membulat. Gaun hitam tertutup yang sebelumnya ia kenakan, telah berganti dengan gaun tidur satin tipis berwarna biru gelap. Melihat dari bahannya saja, Kartika sudah memastikan jika gaun ini sangat mahal. Bahkan uang yang ia dapatkan selama satu bulan penuh dari dua pekerjaannya, pasti hanya bisa membayar setengah dari harga gaun ini. Gaun tersebut bertali spaghetti, yang otomatis menunjukkan leher serta pundaknya yang putih pucat. Namun noda merah keunguan yang tak Kartika kenali telah memenuhi bidang putih tersebut.     Pikiran Kartika semakin linglung. Semua pertanyaan Senu serta Affa sama sekali tak ia jawab. Kepala Kartika terasa sangat pusing ketika mencoba mengingat kejadian tadi malam. Ia hanya mengingat hingga dirinya pergi mencari ke kamar kecil, di tengah acara pesta pengenalan Baskara berlangsung. Ia ingat jika dirinya kehilangan kesadaran saat mencari kamar kecil. Dan tiba-tiba paginya ia terbangun di kamar yang tak ia kenali dengan badan lebam-lebam. Apa mungkin dirinya dipukuli oleh seseorang? Hingga dirinya tidak sadarkan diri dan bangun dengan tubuh penuh lebam seperti ini?     "Selamat pagi, Sayang."     Kartika tersentak saat Baskara tiba-tiba sudah duduk di hadapannya dan meraih belakang kepala Kartika dengan lembut lalu mendekatkannya pada wajahnya yang rupawan. Mata Kartika melotot terkejut saat bibirnya dikecup lembut oleh Baskara. Napas Kartika tertahan seketika. Wajah Kartik juga memucat dengan cepat, dengan jantung yang berdegup kencang, seakan-akan dirinya sudah berlari dari kejaran anjing gila. Kartika syok hingga tidak bisa menunjukkan reaksi penolakan pada Baskara ini.     "Baskara!" Affa menjerit saat melihat putranya mulai mengulum bibir Kartika yang kini mematung dengan wajah pucat. Dan sedetik kemudian, Kartika terkulai tak sadarkan diri. Tentu saja hal itu semakin membuat Affa cemas. Affa menipiskan bibirnya tidak percaya dengan tingkah Baskara yang seperti ini. Benar-benar, sepertinya keputusan Affa untuk melepas putranya itu pergi jauh ke luar negeri, karena pada akhirnya putranya malah berubah seperti berengsek. Apa mungkin darah muda Senu menurun pada Baskara? Kenapa keberengsekan Baskara sama seperti Senu muda?     Affa berontak dalam pelukan Senu. Ia benar-benar marah pada Baskara. Putranya itu sungguh membuat hatinya kecewa. Bagaimana tidak? Tadi pagi, saat dirinya berniat membangunkan Baskara yang tidur di kamar hotel yang khusus dipersiapkan untuknya, ia malah melihat Baskara tengah tidur sembari memeluk seorang gadis di bawah selimut. Dan parahnya, baik Baskara dan gadis tersebut sama-sama tak berpakaian. Saat itu pula, Affa berniat meledakan amarahnya. Namun Baskara lebih dahulu terbangun dan berkata, "Ma, Baskara mohon jangan berteriak. Kartika baru saja tertidur. Ia kelelahan."     Affa tidak tahu harus tertawa atau menangis miris. Di satu sisi, ia senang ternyata Kartika menjalin hubungan dengan Baskara, dan memiliki peluang besar menjadi menantunya di masa depan. Namun ia juga merasa sangat sedih, karena Kartika harus mengalami kejadian yang pasti akan mencoreng nama baiknya selama ini. Affa sendiri menyangsikan jika Kartika secara pasrah dan rela melakukan hal itu dengan Baskara bahkan sebelum ikatan pernikahan terjalin di antara keduanya. Apa mungkin Baskara menjebak Kartika, sama seperti Senu yang menjebaknya dulu?     Saat kekalutan Affa tersebut, untungnya Senu datang dan menengahi. Saat itu pula, Senu memerintahkan Baskara untuk bangun dan membersihkan diri. Sedangkan Affa memakaikan gaun tidur untuk menutupi tubuh polos Kartika. Dan setelah itu, Senu berulang kali memberikan pertanyaan pada Baskara. Dan berujung pada kemarahannya, karena Baskara menjawab dengan asal-asalan. Padahal Senu tengah memastikan, jika Kartika tidak mendapatkan paksaan saat melakukan hal tersebut. Hei, Senu bukan anak ingusan yang tak mengerti apa yang telah terjadi, sehingga putranya bisa tidur dengan seorang gadis di bawah selimutnya.     Senu menghela napas dan mengeratkan pelukannya pada Affa. Ia berbisik, "Sayang tenang. Kartika hanya perlu istirahat oke? Untuk sementara, temani Kartika terlebih dahulu ya, Sensen harus berbicara berdua dengan Baskara." Senu tampak tidak malu-malu menggunakan panggilan sayangnya dengan Affa. Padahal di sana, bukan hanya ada mereka. Mungkin, Baskara yang tak adalah putra mereka, sudah terbiasa dengan hal tersebut. Namun beda hal dengan Kartika yang tampak agak malu dengan mendengar apa yang dikatakan oleh Senu.     Affa menggenggam tangan Senu, ada kecemasan di matanya saat menyorot suaminya itu. "Sayang, kau boleh melakukan apa pun pada Baskara, tapi ingat jangan sampai main tangan!" Tentu saja, meskipun Affa marah pada Baskara, Affa tidak mau jika Senu mendaratkan tangannya pada putra mereka itu. Mendidik anak sama sekali tidak bisa menggunakan kekerasan. Senu mengangguk yakin. Lalu ia berlatih pada putranya yang kini tengah memainkan rambut Kartika yang telah kembali berbaring tenang dengan mata terpejam erat.     "Baskara, ikut Ayah! Ada yang perlu Ayah bicarakan denganmu," ucap Senu sembari menatap tajam pada Baskara. Tanpa kata, Baskara melangkah mengikuti Senu yang telah lebih dahulu melangkah pergi. Affa berulang kali berusaha mengatur napasnya. Ia percaya Kartika tidak akan mendapatkan nasib buruk, toh ia bisa melihat bagaimana lembutnya Baskara memperlakukan Kartika.     Kini Kartika duduk di tepi ranjang. Ia merapikan helaian rambut Kartika, dan mengecup keningnya dengan sayang. "Tante yakin, Tuhan tidak pernah membuat pertemuan yang sia-sia," ucap Affa penuh arti. Meskipun Kartika merasa bingung dengan semua yang terjadi, dan memiliki banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Affa, Kartika memilih untuk diam. Kartika merasa jika ini bukan waktu yang tepat untuk mengajukan semua pertanyaan itu.       **           Kartika tersentak bangun saat kepalanya terasa menghantam lembut sesuatu yang keras. Setelah berkedip beberapa kali, akhirnya Kartika sadar jika dirinya telah berada di kamar kontrakannya. Terlihat jelas dari langit-langit kusam, noda kuning sisa kebocoran tiap kali hujan, terlihat jelas di sana. Merasa jika Kartika berada di rumahnya sendiri, Kartika sama sekali tidak berniat untuk bangun dari posisinya. Kartika malah berniat untuk kembali tidur. Ia ingin mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah, yang Kartika sendiri tidak tahu alasan dari penyebab rasa lelah ini. Kartika berniat untuk memejamkan matanya kembali, tetapi niatnya urung saat mendengar suara yang terdengar mulai sering ia dengar.     "Bangun! Jangan terus berbaring seperti mayat seperti itu!"     Baskara yang muncul dari balik pintu kamar mandi milik Kartika, tentu saja membuat Kartika terkejut bukan main dan segera duduk dengan tegak di atas kasur keras miliknya. "Kak Baskara? Kenapa bisa di rumah Kartika?" Ayolah, kenapa bisa Baskara berada di sini? Kenapa dia masuk ke dalam kontrakan sempitnya ini?     Baskara melangkah dan berdiri sekitar dua langkah dari kasur yang ditiduri Kartika. Sosoknya tampak mendominasi di ruangan kecil tersebut. Berbeda dengan Kartika yang tampak acak-acakan, Baskara terlihat begitu rapih dengan kemeja licin, dan celana bahan panjangnya. Tampilan sempurna Baskara tentu saja tampak tidak cocok di tempat seperti ini. Namun, Kartika sendiri tidak memungkiri jika Baskara memang sangat tampan di mana pun dirinya berada. Sayangnya, Kartika sejak dulu memang selalu ketakutan pada Baskara ini.     "Rumah? Apa ruangan sempit ini, bisa disebut rumah?" tanya Baskara sarkas. Membuat Kartika mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Apa yang dikatakan oleh Baskara memang tidak ada salahnya, jadi, Kartika tidak memiliki kesempatan untuk menampik apa yang dikatakan oleh Baskara tersebut.     Kartika menunduk, lalu bangkit dari kasurnya. "Ma-maaf Kak--"     "Apa aku memintamu menjawab?" tanya Baskara tajam. Ia kini duduk di atas karpet tipis. Ia tampak tak nyaman duduk di sana. Namun Baskara sama sekali tidak berkomentar dan terus mencari tempat serta posisi yang nyaman untuk duduk. Kartika menghela napas, ia melangkah menuju dapur dan membuatkan minum untuk Baskara. Tampaknya gadis itu, tak sadar bahwa gaun yang ia kenakan telah berganti kembali. Kini, Kartika sudah menggunakan gaun rumahan sederhana, tetapi gaun itu tidak terlihat memiliki harga yang sesederhana modelnya. Tentu saja, Baskara enggan untuk membeli barang murahan untuk diberikan pada orang yang spesial di hidupnya.     Tak lama, Kartika menghampiri Baskara dengan segelas teh manis untuknya. "Minum dulu Kak," ucap Kartika sembari meletakkan gelas tersebut di depan Baskara yang duduk bersila. Baskara hanya melirik dan tak berniat menikmati teh buatan Kartika. Ia malah menatap Kartika yang kembali menunduk, dan duduk begitu jauh dari jangkauannya.     "Akhir bulan nanti, kita menikah," ucap Baskara singkat membuat Kartika mengernyitkan keningnya dalam.     Kartika mengangkat pandangannya. Matanya menyorot terkejut pada Baskara. "Nikah? Maksud Kakak apa?" Tangan Kartika mulai bergetar. Ia ketakutan. Sudah banyak pemikiran aneh yang berkelebat di kepalanya.     "Apa ada arti lain dari menikah? Kau hanya perlu diam. Semuanya aku yang urus. Jika Venty bertanya, kau cukup diam dan tersenyum!" perintah Baskara tegas. Tentu saja Kartika merasa tidak mengerti dengan semua yang terjadi ini. Masalah sebelumnya saja, Kartika masih belum mendapatkan kejelasan, lalu kini sudah ada masalah baru dengan Baskara yang mengatakan dirinya akan menikahi Kartika.     Kartika menahan Baskara yang telah bangkit dan berniat pergi. Baskara mengernyit saat merasakan dinginnya tangan Kartika yang menahan tangannya, apalagi tangan mungil tersebut terasa bergetar hebat. "Kak Baskara, tolong jelaskan! Ini terlalu membingungkan. Tadi pagi Kartika bangun di tempat asing. Tante sama Om juga keliatan cemas. Dan sekarang Kak Baskara tiba-tiba bilang, akhir bulan nanti kita nikah."     Baskara berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan Kartika yang kini berlutut. Sontak Kartika yang merasa risih dengan kedekatan itu, berusaha mundur. Namun Baskara dengan sigap segera meraih pinggang Kartika. Dalam sekejap posisi mereka telah berubah.  Kini Kartika duduk di pangkuan Baskara, yang telah kembali duduk bersila di atas karpet. Kepala Baskara dengan lancar telah bertengger manis di ceruk leher Kartika, sedangkan kedua tangannya telah memeluk pinggang Kartika dengan erat.     Kartika merasa tak nyaman. Punggungnya terasa panas saat bersentuhan langsung dengan bagian depan tubuh Baskara. Kartika berusaha melepaskan diri, tapi ucapan Baskara menghentikannya. "Cobalah untuk melepaskan diri, dan kegiatan kita tadi malam akan terulang."     "Kegiatan tadi malam apa maksud Kakak? Aku tidak mengerti dan tidak mengingat apa pun mengenai tadi malam. Lepas!" Kartika berontak dan berusaha melepaskan diri. Entah kemana hilangnya ketakutan Kartika pada Baskara.     "Oh sepertinya kau melupakannya, apa perlu aku ingatkan?" tanya Baskara kembali sembari menggigiti daun telinga Kartika. Tubuh Kartika bergetar. Ia sungguh tak menyukai keintiman seperti ini. Ini terlalu berbahaya dan menakutkan baginya.     "Baiklah, aku akan membuatmu mengingatnya. Tadi malam, kita melakukan sesuatu seperti ini." Baskara mulai mengulum daun telinga Kartika, lalu menyesap kulit leher dan bahu Kartika dengan kuat.     Getaran tubuh Kartika semakin hebat saja, sebuah dugaan kini mengisi otak Kartika. Dan dugaan itu semakin kuat saat tangan Baskara mengusap perutnya dengan lembut, lalu berbisik, "Iya, mungkin dalam beberapa bulan nanti, perutmu akan membesar."     "I-itu gak mungkin! Kartika bahkan gak inget prosesnya!" teriak Kartika histeris. Menolak dengan apa yang dikatakan oleh Baskara. Tentu saja Kartika tidak mau menerima apa yang terasa tidak masuk akal baginya. Kartika memang benar-benar tidak mengingat apa pun yang dimaksudkan oleh Baskara tadi. Bahkan, Kartika tidak mengingat apa pun setelah dirinya berjalan mencari kamar kecil.     "Mungkin kita bisa mengulang kembali melakukan prosesnya. Pasti kau akan menikmatinya," ucap Baskara dengan sensual. Kartika menggeleng dan mencoba berontak. Untuk pertama kalinya, ketakutan yang selama ini Kartika rasakan, memberikannya kekuatan untuk melawan Baskara. Tapi kekuatannya itu tampaknya tak berpengaruh untuk Baskara. Pelukan Baskara masih sama terasa eratnya. Kini, d**a Kartika malah terasa sesak.     "Jangan melawan Kartika! Diam dan nikmati! Semuanya pasti akan indah," ucap Baskara sembari mengecup pipi Kartika yang pucat dan basah karena air mata yang terus menetes. Baskara menahan diri untuk tidak menyeringai karena senang dengan Kartika yang bereaksi seperti ini setelah ia goda seperti ini. Tentu saja, reaksi Kartika sangat menghiburnya. Dan Baskara tidak akan menahan diri untuk melangkah lebih daripada ini untuk menggoda calon istrinya ini.     "Enggak! Lepas Kak! Tika gak mau!" seru Kartika terus berontak menolak sentuhan Baskara. Usaha Kartika semakin menjadi setiap waktunya. Hal itu lebih dari cukup membuat Baskara kesal, karena perintahnya tak dipatuhi. Maka, dengan gerakan selembut beledu, Baskara menangkup kedua buah d**a Kartika yang kecil, lalu meremasnya pelan. Keputusan Baskara tersebut mampu meredam perlawanan Kartika. Tubuh gadis yang ia peluk, kini membeku seperti patung es. Diam-diam, Baskara merasa senang dengan reaksi yang diberikan oleh Kartika.     Hal itu, membuat Baskara semakin semangat untuk menggoda Kartika. Ia kembali menyesap kulit Kartika, meninggalkan jejak kemerahan di atas noda keunguan yang juga hasil karyanya tadi malam. Tangannya juga memberikan pijatan lembut di d**a Kartika, buah dari rasa prihatin serta khawatir. Karena kedua buah d**a Kartika terlalu kecil untuk remaja seumurannya. Baskara khawatir, jika Kartika nantinya tak bisa menyusui anak-anaknya dengan baik. Baskara menuliskan telinganya saat Kartika terus terisak dan memohon padanya. Tubuh Baskara yang kuat, mengungkung dan mengunci semua pergerakan Kartika.     "Bagaimana? Nikmat, bukan? Ini masih pembukaan. Hidangan utama baru saja akan dimulai." Tangan Baskara kemudian menyusuri paha Kartika yang lembut. Tangan kekar itu tinggal beberapa sentimeter lagi menyentuh titik paling berharga bagi seorang perempuan. Namun belum juga dirinya menyentuh titik tersebut, isak tangis Kartika terhenti disusul dengan tubuhnya yang melemah dan bersandar sepenuhnya pada tubuh Baskara.     Helaan napas Baskara terdengar. Ia merubah posisi Kartika agar duduk menyamping di pangkuannya. Wajah Kartika yang pucat pasi, terlihat jelas di mata Baskara. Ia menyusuri kening, pipi serta rahang Kartika. Matanya yang biasa menyorot dingin, ternyata memiliki titik kelembutan yang samar saat melihat Kartika. Baskara menunduk dan mengecup puncak hidung Kartika. Napas hangat Baskara menerpa bibir Kartika secara langsung. Lalu ia berbisik tepat di depan bibir Kartika yang tak tertutup rapat, "Kukira, kau sudah sedikit memiliki keberanian."     Baskara meraih tangan Kartika dan mencium buku-buku jari tangan kanan Kartika dengan lembut. Dan tepat dan sebuah cincin kecil tanpa mata yang melingkari jari manisnya, Baskara berlama-lama menanamkan ciumannya. Baskara menyeringai. “Apa kamu pikir jika aku sudah melupakan janji yang pernah aku katakan? Aku tidak pernah melupakannya, Bintangku. Aku, akan melakukan hal lebih daripada apa yang telah aku lakukan dulu padamu. Dan inilah buktinya,” ucap Baskara masih dengan bibir yang menempel pada buku-buku jemari mungi Kartika.     Tak lama, Baskara mengangkat kepalanya. Baskara memasang seringai tampan dan berbisik, "Selamat datang dikehidupanku, Ma Petite Étoile."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD