Kartika tidak berani menoleh sama sekali. Tatapannya kini terpaku pada papan tulis dan dosen yang tengah menjelaskan di depan kelas. Ya, kini Kartika telah resmi menjadi seorang siswi di salah satu kampus ternama di Jakarta. Tentu saja Kartika merasa senang, karena impiannya untuk kuliah terkabul. Namun, menjadi seorang siswi baru disaat masa perkuliahan telah dimulai beberapa minggu, membuat semua perhatian tertuju padanya. Dan hal itu sangat membuat Kartika tak nyaman. Padahal saat ini, jam kuliah tengah berlangsung, tapi Kartika masih merasakan berpasang-pasang mata, tengah menatap punggungnya dengan tajam.
Kartika benar-benar ingin bersembunyi. Ia tak tahu jika rasa takutnya pada keramaian dan orang asing masih melekat erat pada dirinya. Kartika kira, karena selama ini telah hidup bersama dengan Baskara, ketakutannya pada keramaian dan orang asing telah sirna. Tapi ternyata semuanya tak terjadi. Rasa takut itu masih saja memeluk diri Kartika dengan eratnya. Terkadang, Kartika tidak bisa mengendalikan rasa takutnya ini dan membuatnya hampir kehilangan kesadaran. Tapi untungnya, Kartika belum pernah sampai pingsan di tengah orang banyak. Nasibnya masih terbilang cukup baik.
"Baik, pertemuan kali ini sampai sini saja. Ingat tugas kalian harus berada di meja saya, tiga hari dari sekarang. Silakan membubarkan diri!"
Kartika segera membereskan buku catatannya dan beranjak menuju perpustakaan, demi mengerjakan tugasnya yang menumpuk. Kepala Kartika tertunduk dalam saat melewati lorong-lorok kampus yang ramai. Ia baru bisa bernapas lega saat tiba di pintu perpustakaan yang cukup sepi. Begitu memasuki perpustakaan, Kartika bisa melihat beberapa kelompok diskusi yang menempati meja-meja yang tersedia di dalam perpustakaan luas kampus. Setelah mengisi buku kunjungan, Kartika segera melangkah menuju kursi di belakang rak buku. Meja panjang yang menempel pada jendela kaca besar. Tempat ternyaman bagi Kartika untuk mengerjakan tugas.
Kartika duduk dan membuka buku, menimang tugas mana yang akan ia kerjakan terlebih dahulu. Kartika tersenyum saat telah berhasil memutuskan, ia beranjak menyusuri rak-rak buku tinggi, mencari buku-buku yang menunjang tugasnya. Saking banyaknya tugas yang Kartika miliki, saat kembali ke mejanya, Kartika membawa setumpuk buku tebal yang berat. Bahkan saking menumpuknya, Kartika kesulitan melihat jalan. Dan tentu saja, hal berikutnya yang terjadi adalah, Kartika tersandung. Namun untungnya Kartika tak jatuh, ada seseorang yang membantunya. Kartika mengucapkan terima kasih dengan suara yang bergetar.
"Oh, ternyata kamu yang sering belajar di meja ini," ucap seseorang yang sudah menolong Kartika tersebut. Tentunya, Kartika tidak bisa melihat wajahnya karena terhalang oleh tumpukan buku yang memang pandangannya terbatas.
Dengan susah payah, Kartika mengintip dari tumpukan bukunya. Orang yang berada di hadapannya, tak lain seorang mahasiswa yang tampak bersahaja. Senyumnya ramah dan mengundang setiap orang untuk membalas senyumnya. "I-iya," jawab Kartika pelan dan ragu.
"Wah padahal ini tempat favoritku untuk belajar," ucap pemuda itu lagi dengan memasang ekspresi serius yang tentu saja membuat Kartika tersentak.
Kartika menggigit bibirnya merasa begitu bersalah, karena sudah merebut tempat duduk yang sering ditempati oleh pemuda ini. Ia juga merasa takut jika hal itu malah bisa membuat pria itu marah padanya. Tentunya Kartika tidak mau memiliki musuh saat dirinya baru saja memulai masa kuliah yang sangat ia harapkan ini. Kartika pun menunduk dan berulang kali mengucapkan permintaan maaf. "Ma-Maaf--"
"Haha, sudahlah tidak perlu minta maaf. Aku hanya bercanda. Kau sepertinya memiliki tugas menumpuk, ayo kerjakan! Aku juga ingin mengerjakan tugasku di sini, apa kau tidak keberatan?"
Kartika sedikit ragu. Ia masih ingat peringatan yang Baskara sebelumnya. Baskara memang mengizinkannya untuk kuliah, tapi dirinya tidak diperbolehkan untuk berdekatan dengan pria. Namun sepertinya suaminya itu tak akan marah, jika ia hanya duduk bersama untuk mengerjakan tugas masing-masing. Ya, Kartika harap begitu. Kartika mengangguk dan mempersilakan pria tersebut untuk duduk di meja yang sama. Keduanya kemudian larut dalam kegiatan masing-masing. Namun tiba-tiba, pria itu membuka suara.
"Sepertinya suasana sangat canggung. Bagaimana kalau kita cairkan? Mari mulai dengan berkenalan, aku Steve. Kau?" tanya pria yang mengenalkan diri sebagai Steve itu dengan ramah. Sepertinya, Steve tengah mencoba untuk mengakrabkan dirinya dengan Kartika. Sebenarnya, Steve sendiri sudah mendengar kabar mengenai Kartika dari teman-temannya. Ada yang mengatakan jika ada mahasiswi baru yang manis, tetapi tertutup yang baru saja masuk ke salah satu faklutas di kampus ini. Namun, Steve baru memiliki kesempatan untuk bertemu dengan mahasiswi yang menjadi perbincangan itu kali ini.
"Ka-Kartika," jawab Kartika pelan lalu kembali melanjutkan menjalankan tugas. Entah mengapa, ia merasa kurang nyaman dengan sikap yang ditunjukkan oleh Steve. Padahal Steve bersikap sopan, tetapi entah karena apa, Kartika merasa ada sesuatu. Hening, tak ada lagi pembicaraan antara keduanya. Mereka kembali sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Tapi Kartika tiba-tiba membuka ponselnya, dan terkejut melihat puluhan telepon tak terjawab. Baskara telah meneleponnya berulang kali.
Kartika segera membereskan buku catatan serta tugas miliknya. Lalu dengan sigap mengembalikan buku yang baru saja ia baca ke tempatnya semula, sebelum berjalan cepat menuju pintu ke luar. Steve bahkan tak sempat untuk berkata-kata, ia terlalu terkejut dengan gerakan cepat Kartika. Pemuda itu hanya mampu menggeleng dan tersenyum tipis. Langkah kaki Kartika terlihat begitu cepat, gadis itu terlihat setengah berlari menuju bagian luar kampus. Baskara telah menunggunya selama tiga puluh menit. Dan itu artinya, nanti malam Kartika akan kesulitan mengerjakan tugas.
Ya, setelah memutuskan mengizinkan Kartika untuk berkuliah. Baskara menetapkan beberapa persyaratan. Persyaratan yang paling utama adalah, Kartika tidak boleh melupakan statusnya sebagai seorang istri. Itu artinya, Kartika harus tetap melaksakan kewajibannya sebagai seorang istri, di saat kondisi apa pun itu. Persyaratan kedua, Kartika tidak boleh berdekatan dengan pria manapun. Yang ketiga, Kartika harus siap menjawab telepon dari Baskara, kapan pun itu. Jika Kartika terlambat mengangkat, maka akan ada hukuman yang menunggu.
Napas Kartika memburu saat dirinya mengetuk jendela mobil milik Baskara yang teroarkir di bahu jalan. Pintu terbuka dan Kartika segera masuk, baru saja ia akan meminta maaf, ia terlebih dahulu mendapatkan sergapan dari suaminya yang tampan itu. Bibirnya kini tengah dilumat kuat, Kartika yang sampai saat ini belum mengerti cara membalas pagutan tersebut, hanya bisa memeluk tasnya dengan erat. Begitu Baskara melepas pagutannya, napas Kartika segera terdengar memburu.
"Aa ma--"
"Pakai sabuk pengamanmu!" potong Baskara tegas. Kartika segera bungkam dan mengenakan sabuk pengaman dengan benar. Baskara mengartupkan rahangnya ketat, lalu menancap gas dengan dalam saat Kartika mengenakan sabuk pengaman. Kartika sendiri terkejut, ia mulai ketakutan saat Baskara mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Bibir Kartika bergetar saat akan memohon pada Baskara. Ia tahu jika Baskara kini tengah marah padanya.
"Aa, maafin Tika. Aa!!" Kartika malah memekik saat Baskara mempercepat laju mobilnya. Pandangan Kartika membayang karena pusing. Perutnya juga terasa seperti tengah dikocok-kocok. Tanpa sadar, tangan Kartika yang dingin terangkat dan menyentuh salah satu tangan Baskara yang mencengkram kemudi. Ajaib, tanpa kata Baskara segera memelankan laju mobil hingga mobil berhenti di bahu jalan.
Kepala Kartika terasa berputar. Ia sangat pusing. Perutnya juga terasa mual, tapi ia mengetatkan rahangnya agar memuntahkan isi perutnya. Namun usahanya itu membuahkan air mata yang mengucur deras. Baskara mengerutkan keningnya saat melihat betapa pucat wajah istrinya. Setelah mengatur napasnya berulang kali. Baskara melepaskan seluruh ototnya dan meraih Kartika ke pangkuannya. Begitu Baskara memeluk Kartika dalam rengkuhan hangat, Kartika tak kuasa menahan isak tangisnya.
Ia menangis keras, dan menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Baskara. Kartika tak suka dengan Baskara yang seperti tadi. Baskara sangat menakutkan, dan Kartika tak mau Baskara memasang ekspresi seperti tadi lagi. "Kau tau sendiri bukan, Aa tidak suka jika kau berdekatan dengan laki-laki lain. Aa pasti marah, dan Aa pasti akan menghukum dirimu," ucap Baskara tegas.
Kartika mengangkat wajahnya dan menatap Baskara dengan matanya yang berair. "Ta-tapi Eneng gak deket sama siapa-siapa."
Baskara menghela napas dan menarik beberapa lembar tisu, lalu menyeka air mata dan ingus yang menyumbat pernapasan Kartika. Setelah itu, Baskara mengecup bibir Kartika lembut. Matanya menyorot tajam pada istrinya itu.
"Di perpustakaan, sudah ingat?" tanya Baskara tajam. Kartika tersentak. Di perpustakaan, dirinya memang sempat berdekatan dengan senior laki-lakinya. Namun, Kartika tidak sengaja. Ia hanya belajar dan tak melakukan apa-apa lagi. Kartika menggigit bibir bawahnya. Bukan karena cemas mendapatkan kemarahan dari suaminya ini. Melainkan lebih karena merasa takut dengan fakta, bagaimana bisa Baskara mengetahui apa yang ia lakukan? Apa mungkin, Baskara mengikuti dirinya?