Saat ini Amira tengah duduk bersama Sintia setelah tadi menawarkan bekal yang ia bawa untuk gadis itu. Meski awalnya Sintia merasa tak enak, namun ia tidak mau mengecewakan wanita sebaik Amira dia pun menerimanya.
Sekarang ini mereka berada di taman permainan seperti yang Arumi katakan pada sang Daddy, dan Amira mengikuti mereka katanya sih pengen tau cucunya seperti apa dan ia hanya bisa menghela nafas mendengar penjelasan dari Sintia.
"Saya gak tau kenapa Arumi benar-benar menjauhkan diri dari teman-temannya bahkan tidak sedikit dia pengen sendiri terus bu. Kayaknya Arumi harus dibawa ke dokter konseling khusus anak kalau perlu ajak tuan Elvano juga biar dia tau perkembangan Arumi." ucapnya melirik Amira yang tampak sedih dan ia pun melanjutkan, "Udah enam bulan saya ngajar di kelas Arumi, tidak jarang dia agak kasar sama yang lain kalau mereka nggak sengaja atau secara sadar menyentuh barang-barangnya. Maaf bu, bukan bermaksud menjelek-jelekkan cuma saya kadang kasian sama dia."
Amira menyeka sudut matanya. Sintia yang melihat itu merasa bersalah, "Aduh bu, maaf saya … " Amira menyela.
"Gapapa nak, mungkin kamu benar soal itu. Arumi trauma dengan kepergian wanita itu sampai-sampai saya pun ikut trauma dibuatnya meskipun saat itu umur Arumi baru seminggu dan mungkin… ah maaf kenapa saya jadi curhat gini."
Sintia memegang tangan Amira, "Gapapa kok bu, kapanpun ibu butuh teman curhat Sintia pasti akan selalu siap dengernya." ucapnya dan kini giliran Amira yang memegang tangannya lembut.
"Ibu boleh minta sesuatu gak sama nak Sintia,"
"Boleh bu, selama Sintia mampu pasti akan saya lakukan."
"Selama ini Arumi cuma punya daddy sama nenek, dan mungkin sekarang waktunya dia butuh sosok seseorang yang bisa menjadi mommy agar traumanya bisa hilang."
Deg!!
Apa ini mimpi? Apa maksud wanita di hadapannya sekarang? Apa dia memintanya untuk menjadi mommy Arumi dan itu artinya dia dan Elvano akan menjadi… tidak mungkin.
Untuk memastikan semua pikiran anehnya Sintia pun bertanya, "Ma-maksud ibu apa ya,"
"Kamu jadi mommy Arumi sekaligus istri Elvano."
Deg!!!
Ya Tuhan, apa mimpinya untuk bersama lelaki tersebut bisa terwujud? Benarkah itu?
"Ta-tapi bu, bagaimana mungkin sedangkan tuan Elvano… "
"Ibu tau kamu suka sama daddy Arumi." Sintia menunduk sebab itu fakta. Amira tersenyum mengusap kepala Sintia, "Dengan kamu suka dia, itu sudah cukup soal dia membalas atau nggak nya biar itu jadi urusan ibu. Kamu mau kan nak,"
"Apa saya boleh… "
"Boleh. Kamu boleh berpikir tapi jangan lama-lama ya, biar ibu bisa bujuk Elvano menikahi gadis seperti kamu."
"Untuk sekarang, yang harus kamu lakuin adalah menjadi teman baik Arumi. Rebut kepercayaan cucu ibu, maka Elvano bakal melihat kamu. Asal kamu tau nak, Arumi segalanya buat Elvano dan apapun yang Arumi mau sekalipun dunianya runtuh dia akan wujudkan itu. Jadi ibu mohon, kamu pikirkan tawarin ini ya."
"Ba-baik bu."
"Terimakasih sayang, ibu berharap kamu menerimanya." ucap Amira tersenyum, sementara Sintia masih berada dalam keadaan yang tidak pernah ia bayangkan karena sekali dia memasuki wilayah Elvano maka jeratannya tidak akan pernah lepas lagi.
Ia takut tidak bisa mengontrol diri sendiri jika berhadapan dengan lelaki itu, belum lagi kata-kata sang abang semalam seperti mendapat dukungan penuh untuk menjadi satu-satunya wanita paling beruntung jika berada di samping Elvano.
"Abang emang gak terlalu kenal dia tapi hampir semua teman bisnis abang membicarakan dia, apalagi kalau bukan soal kesuksesan dan juga keberadaannya sebagai lelaki paling berharga karena hampir setiap tahun omset penjualan bisnisnya berada di atas. Kalau kamu bisa berdiri di samping dia, wah… kamu beruntung dek. Kalau perlu nanti pas peluncuran parfum brand new FD Colection bakal abang undang deh, soalnya kalau gak salah dia salah satu penyuka parfum."
'Apa abang udah ngasih mas Vano undangan ya? Gimana tanggapan dia kalau ibu mas Vano minta aku jadi mommy sekaligus istri… ah astaga pipiku pasti udah merah sekarang.' batinnya segera berpaling muka tak ingin Amira tau apa yang ia pikirkan. Ah ngomong-ngomong dari tadi kenapa bisa ia sang santai memanggil mas Vano sedangkan dia bukan siapa-siapa. Ya Tuhan, pipinya semakin panas saja.
Di sisi lain Arumi terlihat duduk jauh dari teman-temannya yang kini tampak asik bermain, ia ingin bermain hanya saja ketakutan itu selalu berada dalam benaknya sampai-sampai ingin pergi saja dari sana.
Arumi tampak melihat-lihat tanpa terasa kakinya melangkah pergi meninggalkan rombongan dan juga keluar dari pengawasan para guru dan sang nenek.
*
*
*
Di sisi lain Abi tengah menyusun barang Lintang di laci kecil samping tempat tidur sambil menunggu Lintang keluar dari toilet berseling baju rumah sakit.
Kreek… pintu masuk terdorong di mana perawat masuk dengan catatan di tangannya.
"Siang mbak Dona." sapa Abi ramah tersenyum kecil kebetulan Dona sepantaran sama Soraya.
"Siang Abi, Lintang mana?" tanya Dona mencari keberadaan Lintang.
"Cilukba." Lintang menjulurkan kepala dari kamar mandi. Tertawa kala Abi memutar bola mata kesal, sedangkan Dona hanya menggeleng.
"Buruan sini, kamu harus di pasangin cairan dulu sebelum masuk ke ruang kemo." kata Dona.
"Iya mbak cantik."
"Ada maunya nih," canda Dona menunjuk-nunjuk lintang menggoda gadis itu. Mereka sudah saling mengenal sejak Lintang umur 10 tahun di mana gadis itu divonis penyakit leukemia, sementara sudah dua kali dioperasi tetapi penyakit itu tak hilang-hilang juga malah semakin parah.
Operasi pertama dokter mengatakan jika Lintang berhasil sembuh tetapi setelah setahun berlalu, ternyata penyakit itu kembali dan Lintang harus melakukan operasi lagi untuk kedua kalinya. Semua orang berharap penyakit itu benar-benar mati tetapi siapa sangka penyakit leukemia itu malah menjadi tumor jinak hingga mereka harus bekerja lebih keras lagi untuk benar-benar menghancurkan penyakit tersebut dan yang bisa melakukan hal tersebut hanya dari orang-orang yang berpengalaman dan orang tersebut dari seoul dan untuk membawa mereka semua kemari membutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, 1 milliar.
Hhh… mengingat Dona ikut merasa sedih mengingat bagaimana bekerja kerasnya kedua kakak beradik itu agar bisa terlepas dari rumah sakit.
"Ssshh… " Lintang meringis saat jarum suntik cairan menembus kulit putihnya.
"Gapapa tahan ya," Lintang mengangguk memejamkan mata membiarkan Dona melakukan tugasnya. "Abi gimana, udah ada kabar?" tanyanya membuat Lintang langsung membuka mata menoleh ke arah Abi.
Terlihat sang kakak mencoba tersenyum kecil dan dia yakin senyum itu hanya senyum menguatkan.
"Masih butuh setengah sih mbak, ada sesuatu yang terjadi makanya uangnya melayang gitu aja." lontar Abi terdengar menyakinkan.
"Ya udah gapapa, dokter cuma bilang jangan terlalu lama takut semakin parah soalnya kemo tidak membuat penyakit hilang tetapi hanya mencegah terjadinya komplikasi."
"Baik mbak, semoga saya bisa mengumpulkan semuanya."
"Ya udah saya pamit ya, nanti bakal kesini lagi jemput Lintang."
"Iya mbak, makasih ya."
"Iya, Lintang istirahat ya."
"Baik mbak."
Setelah kepergian Dona keduanya sama-sama diam, Abi beranjak dari duduknya berjalan ke jendela menatap orang-orang dibawah sana.
"Kak,"
"Hu'um, kamu butuh sesuatu?" tanya Abi menoleh. Lintang terlihat menggeleng pelan seolah menelan kata-katanya. Abi hanya mengangguk tak ingin memaksakan sang adik. "Em... aku keluar bentar ya, bakal datang sebelum kamu masuk. Jangan kemana-mana cairannya harus habis." katanya meraih tas kecilnya.
"Hati-hati jangan lama, oyah itu keranjangnya butuh buah. Satu lagi, aku lupa bawa make up."
Dengan make up Lintang bisa menutupi muka pucat nya agar tetap terlihat segar.
"Hahaha dasar. Ingat istirahat." ucap Abi berlalu pergi.
"Siap boss." Lintang menghela nafas panjang menatap langit dengan tatapan lurus. "Semangat Lintang, kamu pasti bisa, kalau kata idolanya mah, Pergilah ke jalanmu, bahkan jika kamu hidup untuk sehari. Lakukan sesuatu. Singkirkan kelemahanmu.”-BTS
Dan dia mau menyingkirkan kelemahannya meski sudah tau jalannya akan seperti apa kedepannya.
Tangan Lintang bergerak meraih handphone lalu mengetik sesuatu untuk sang kakak.
( Jika kamu berpikir kamu akan jatuh, injak pedal lebih keras.”-Suga, “Never Mind” )
( Kami terlalu muda dan belum dewasa untuk menyerah.”-Suga )
( Itu kata si pangsit rebus kesayangan aku, dan Aku Lintang Anggraeni Tan gak akan pernah menyerah hehe. )
Tanda centang biru dua artinya sang kakak membaca pesannya. Entah pendengarannya yang tajam atau suara sang kakak memang cempreng sampai teriakan Never Mind begitu jelas di telinga nya.
"NEVER MIND!!" d**a Abi terasa longgar setelah meneriakkan kalimat itu. Seperti inikah pengaruhnya, sangat menyenangkan.
Ia pun menyetop taksi entah kenapa dia ingin berjalan-jalan disekitar taman dan juga buah-buahan di sana terlihat lebih segar jadi mungkin lebih baik membeli di sana saja.
Setelah beberapa menit taksi pun berhenti di depan kafe tak jauh dari taman, ia berniat membeli kopi sebentar untuk menemaninya di taman.
Cring!!
Bunyi lonceng tanda masuk kafe terdengar dan ia pun berjalan ke kasir memesan es latte.
"Mbak, pesan es latte nya satu sama… bentar mau lihat-lihat dessert cookies dulu." katanya bergeser ke tempat dessert.
"Santai aja mbak."
Setelah menemukan apa yang ia ingin beli, ia kembali memesan. "Mas, Chocolat peanuts nya satu box sedang, macaron buahnya juga satu, Cookies satu rasanya campur ya."
"Baik mbak kami akan siapkan, dan ini es latte nya mbak tunggu sebentar ya."
"Oke, saya tunggu di meja sana."
"Baik mbak."
Hhh… Abi duduk menyeruput es latte nya, tatapannya tak diam menelusuri setiap jalanan di luar sana sampai matanya menangkap sosok gadis kecil terlihat kebingungan dan juga takut. Ah sepertinya dia kenal? Astaga, anak itu terlihat menangis saat mendapat tatapan dari orang-orang. Aish, ia jadi tidak tega.
Ia pun beranjak dari duduknya berjalan ke arah kasir, "Mas ini kartu saya buat bayar, tapi titip sebentar ya mas, sebentar aja." katanya segera berlari keluar menghampiri kerumunan orang.
Dengan nafas menderu ia berjongkok menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu. "Hai, ketemu lagi?" gadis kecil itu pun mendongak menatapnya dengan mata bulatnya memerah nampak jelas ketakutan di sana.
"Kenal mbak? Atau anaknya? Makanya jangan kelayapan sampai lupa anak sendiri." sahut salah satu orang di sana.
"Ck, sampaikan itu sama orang tuanya jangan sama saya." dengus Abi melihat orang-orang lewat ekor matanya. "Sstt… udah ya jangan nangis cantik, mau ikut kakak gak? Di sana, di kafe itu sambil nunggu orang tua kamu. Mau?" tanyanya tersenyum.
Gadis kecil itu mengangguk kecil dan Abi pun semakin melebarkan senyumnya dan menggendongnya pergi.
Abi membawa gadis kecil itu ke meja dekat jendela, tak lama mas kasir itu pun datang membawa pesanan dan mengembalikan kartunya.
"Ini mbak, pesanan sama kartunya."
"Makasih mas. Mas sebelum itu pesan… cantik suka s**u coklat atau strawberry?" tanya Abi
"Strawberry." cicit gadis kecil itu.
"Oke cantik. Mas s**u strawberry nya satu ya,"
"Baik mbak."
Abi kembali beralih pada gadis kecil di depannya. Ia pun membuka semua pesanannya, "Nah, pilih aja mau yang mana." gadis kecil itu diam menunduk. Dan Abi tak habis akal. "Namanya siapa? Suka macaron gak? Atau cookies? Wah boneka Tata nya lucu sama kayak punya adek kakak." berhasil gadis kecil itu mendongak menatapnya.
"Mau cookies? Kamu gak alergi kacang atau coklat kan? Emm apalagi ya kalau biasanya anak-anak alergi sama… "
"s**u kedelai sama bawan putih sama kayak daddy."
"Jadi si cantik ini alergi s**u kedelai sama bawang putih."
Gadis kecil itu mengangguk.
"Oke, kenalin nama kakak… "
"Kakak cantik."
"Eh? Hehehe bisa aja kamu, kamu lebih cantik. Yang nge pangin rambutnya siapa, kok rapi banget."
"Daddy."
"Wah daddynya hebat." Abi bertepuk tangan antusias membuat gadis kecil itu perlahan tersenyum. "Hua… cantik banget kalau kamu senyum. Jadi namanya siapa? Ah ini, cookies buat kamu."
Gadis kecil itu perlahan menerima cookies dari Abi. "Arumi." katanya pelan.
Abi mengusap pipi Arumi gemas. "Arumi cantik banget sih, eh tapi kok bisa sampai di sini? Daddy sama mommy kemana?" tanyanya menghentikan kunyahan Arumi.
"Kena… "
"Mommy udah gak ada."
Deg!!