Bab 5. Selingkuh Adalah Penyakit

1023 Words
"Bonus 100 juta kalau mau temani aku jalan-jalan." Mata Luna menatap lekat, namun mulutnya hanya membisu. Jantung Bastian mendadak berdetak lebih kencang, Luna punya harga diri yang tinggi. Sekali pun uang itu tidaklah recehan, tapi bukan berarti Luna akan menerima. "Aku belum bercerai," ujar Luna, "tidak pantas bagiku bepergian, terlebih dengan seorang pria." "Aku bukan sekadar pria, Luna. Aku calon suami kamu." Hal itu lebih tidak masuk akal menurutnya. "Di dunia ini, ada ribuan wanita yang menginginkan kamu. Tapi, pengecualian bagiku." Luna melangkahkan kaki membuat Bastian mengikuti dari belakang. "Lagi pula Ayu masih tunangan kamu," lanjutnya. "Kami sudah putus." Kepala Luna menoleh sejenak. Memangnya bisa semudah itu memutuskan pertunangan? Padahal Bastian dan Ayu terlihat saling tertarik satu sama lain. "Temani aku jalan, lalu pilihlah rumah di apartemen sebagai imbalannya," ujar Bastian dengan raut tenang. Luna berhenti melangkah, membuat Bastian berasumsi kalau tawaran yang bagus itu pasti tidak akan ditolak. Telinga mana yang tidak dengar dengan rumor beredar, Luna anak haram yang dikucilkan. Bahkan di rumah keluarga sendiri. Pisah rumah adalah tujuan Luna, mungkin Bastian juga sudah menduga ke mana arah uang hutangnya nanti. "Karena kamu tidak akan memberi hutang," jeda Luna sembari membuka pintu gerbang, "aku hanya bisa antar sampai sini." Bastian bisu dengan mata menatap Luna. Dia menelisik, berharap tahu isi pemikiran dari sang mantan. "Kamu dendam padaku, Luna?" Tiba-tiba Bastian menanyakan. "Dulu aku memperlakukan kamu seperti orang asing selama pacaran." Luna menertawai tebakan dari Bastian. "Luna yang dulu tidak dewasa, penuh dengan sandiwara." Pandangan Luna menjadi serius. "Luna sekarang tidak takut pandangan orang lain." Dengan kata lain, Luna memberi tahu Bastian mengenai pengusiran ini memperlihatkan sifat asli darinya. Bukan mengarah pada dendam atau semacamnya. "Hanya 100 juta, kan? Aku hutangkan jika itu mau kamu, Luna." Pandangan Luna tertunduk. "Hitung serta bunganya sekaligus." *** Kaki yang Luna langkahkan, kini mulai jarang dan sepenuhnya berhenti. Mata membingkai sebuah gedung familiar di hadapannya. Dary Art. Itulah yang masuk ke dalam mata Luna. Sepertinya ini tahun ke limanya, kemudian keluar dari profesi yang digelutinya dengan alasan menikah beberapa bulan lalu. "Luna!" Bibir Luna langsung mengulas senyum, begitu melihat seorang wanita berambut pendek tengah berlari dari dalam gedung. "Memangnya kamu melihat berlian, Rena?" singgungnya. Rena, sahabat karibnya ini sekaligus sesama kurator seni mulai membuka pintu kantor. Rena mencebikkan bibir dengan kaki mendekatinya. "Aku kira ibu Helia bercanda, ternyata kamu benar-benar kembali." Tubuhnya baru saja direngkuh oleh Rena erat, bahkan punggungnya turut diusap lembut. "Mari lupakan masa lalu dan rajut masa depan bersama," bisik Rena membuat Luna mengangguk. Rena mulai membawa Luna memasuki gedung. "Kalau aku di sebelah kamu, sudah aku cakar wajah mantan istri suami kamu itu." Luna melirik. "Kami dalam proses cerai, sudah bukan suami lagi." "Ya, mantan suami." Gedung ini, menjadi saksi pertemuannya dengan Bastian yang seorang penikmat seni. Namun, gedung ini pula tempat kembali dirinya setelah berpisah dari Yuda. Alasan Luna kembali bekerja, hanya ingin menghabiskan waktu dan melupakan Yuda yang pernah singgah di hatinya. Toh, Yuda juga tidak akan mengubah keputusan menikahi Erna lagi. *** Ketika senja menyapa bumi Jakarta. Luna terlihat memasuki sebuah cafe kecil, langkahnya tidaklah ragu hingga berdiri di hadapan Yuda yang duduk sembari menyeruput kopi. "Sudah datang?" Luna langsung menduduki kursi, tanpa basa-basi ia berikan data pribadinya untuk proses gugatan cerai pada Yuda. Mata Yuda menatap amplop coklat yang diletakkan oleh Luna di atas meja. "Kamu tidak ingin menanyakan kabarku?" singgung Yuda. "Kalau kamu diperban, dari 100% kemungkinan aku bertanya adalah 10%." Mendengar ucapan dari Luna, Yuda langsung menarik napas. "Kamu dendam sama aku, Luna?" Pertanyaan yang telah dirinya dengar dari Bastian dan Yuda, benar-benar terasa memuakan bagi Luna. "Memangnya aku tipe wanita pendendam?" tanyanya balik. "Kamu memang seperti ini kalau marah." Luna yang merasa lelah dan butuh minum, mulai mengambil buku menu dan membuka lembarannya. Pandangan Yuda menelisik penampilan Luna yang lebih segar. Mungkin karena Luna kembali ke keluarganya yang kaya. Namun, satu hal yang membuat Yuda penasaran hingga mata merambat pada perut Luna. "Kamu kelihatan pucat, bulan ini sudah haid belum?" Kegiatan Luna membolak-balik halaman menu jadi terhambat. Matanya terangkat dan saling bertemu dengan Yuda yang terlihat serius. "Kalau aku belum datang bulan, kenapa? Kamu berpikiran aku bakal hamil?" Yuda meletakkan cangkir kopi dengan hati-hati. Pemikiran pria ini tentunya bisa ditebak dengan mudah. "Kalau hamil, lalu siapa yang akan mengakui anak itu nanti?" Mendengar pertanyaan yang sangat mengesalkan ini, membuat Luna menatap tajam ke arah Yuda. "Jangan karena kita bercerai, nanti malah digugurkan," ujar Yuda dengan mata membalas tatapannya. Rasa haus di tenggorokannya seakan lenyap sudah, begitu mendengar penuturan itu. Luna sepenuhnya meletakkan buku menu dengan kasar di meja. "Tenang saja, kalaupun hamil ibuku masih bersedia memasukkan satu anak lagi ke dalam kartu keluarga." "Lagi pula, aku tidak akan hamil anak si lemah ranjang sepertimu," sindir Luna membuat Yuda menatap tak terima. "Kamu bilang apa barusan?" Tubuh Luna berdiri. "Jangan-jangan Erna selingkuh, Hafiz bukan anak kamu. Secara kamu yang lemah begini, benih pun pasti mati cepat di rahim." "Luna!" "Apa!" Yuda yang benar-benar kesal ikut berdiri dari duduk. Namun, pria tersebut tidak berani melayangkan tangan pada Luna. Sosok yang akan membalas puluhan kali nantinya. "Kamu boleh menghina aku, tapi tidak dengan Hafiz. Jangan bawa-bawa anak kecil!" Luna mengangguk. "Baiklah, si kecil kamu yang kalah sama perut, pantas saja Erna minta cerai." Jari-jemari Yuda mengepal. "Bisakah kamu tidak membahas bagian sensitif?" "Katanya aku boleh hina kamu, toh yang paling kurang dalam dirimu kan bagian itu." Yuda menarik napas panjang melihat Luna yang benar-benar luwes dalam menghina. Yuda tidak menyangka, kalau hati pernah berlabuh untuk Luna, bahkan hingga detik tersebut. "Setelah bercerai, aku akan memberi nafkah selama masa iddah," ujar Yuda. Luna tatap wajah suami yang dalam proses gugatan cerai dengannya. "Tidak perlu." Yuda diam sejenak, kemudian tersenyum sinis. "Iya, benar juga ya. Kamu yang dari keluarga kaya, tidak butuh nafkah dengan nominal receh dariku." Mendengar Yuda yang merendahkan diri sendiri, membuat Luna menarik napas. "Aku kembali bekerja di Galeri Seni, jadi tidak kekurangan uang. Gunakan uangmu itu untuk anak tercinta dan calon istrimu itu." Luna melipat tangan didadanya. "Tapi, asal kamu tahu Yuda." Yuda tatap Luna karena hilangnya embel-embel 'Mas'. "Selingkuh adalah penyakit yang tak ada obatnya. Suatu hari kamu akan menyesal, telah memilih tukang selingkuh itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD