Author
Ketika hati sudah terpaut akan rasa yang begitu mendamba, penantian akan sebuah balasan yang indah senantiasa menanti sang tambatan jiwa, saat itulah dua insan akan melebur menjadi satu dalam kasih yang tulus.
Namun ketika rasa itu hanya rasa tanpa balas, hanya luka yang akan ia dapat. Begitu lah yang Luci rasakan. Dulu ia begitu mengagumi sosok laki-laki yang ketika ia melihatnya saja ia merasa hidup, meski tak pernah terbayang rasanya akan terbalas.
Menjadi pengagum rahasia.
Ya Luci pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi pengagum rahasia. Mencintai seseorang memang hal yang mudah. Namun di balik itu tentu ada sesuatu yang lebih dalam ketimbang hanya sekedar mencintai. Ketika kalian melihat seseorang dan merasakan ada perasaan yang berbeda terhadap orang tersebut, terkadang banyak orang lebih memilih memendam perasaan tersebut dan hanya menjadi pengagum rahasia yang mengetahui semua seluk beluk orang yang ia kagumi tersebut secara diam-diam.
Terkadang perasaan sering berkecamuk, niat hati ingin mengungkapkan namun tentunya banyak pertimbangan yang berkecamuk di dalam pikiran. Perasaan-perasaan tersebut tentunya sangat-sangat tidak menyenangkan dan cukup mengganjal.
Ketika kalian suka atau menjadi secret admirer, kalian pasti sering dan sangat ingin memberikan perhatian yang lebih terhadap orang yang kalian kagumi. Sapaan dan kadang perhatian yang sederhana tentunya pasti ingin kalian berikan. Namun kalian pasti sadar bahwa dia bukan siapa-siapa kalian, tanpa status tentunya kalian merasa canggung ketika ingin memberikan perhatian lebih.
Ketika melihat orang yang kalian kagumi dekat dengan orang lain, terkadang hati merasa mengganjal. Ingin marah namun tidak memiliki hak apapun terhadap dia yang kita kagumi tersebut. Memang sulit namun sebaiknya jangan terlalu disimpan, cobalah menjadi pribadi yang terbuka. Siapa tahu orang yang kalian kagumi juga memiliki perasaan yang sama dengan kalian.
Luci akhirnya menyerah dengan hatinya, meski berkali kali ia berusaha mendekatkan diri dengan laki-laki itu, hadirnya seolah bagaikan angin yang berlalu.
Setelah semua yang ia lakukan sepertinya terkesan sia-sia dan ia merasa cukup hanya menjadi pengagum rahasia. Jalan terakhir adalah sebuah doa yang terbaik bagi orang yang ia kagumi, sayangi dan ia cintai. Walupun dia tidak pernah tahu perasaannya terhadap dirinya, doa adalah pilihan terbaik buat ia sang pengagum rahasia.
Namun ketika ia melihat laki-laki yang pernah ia kagumi berada di sekolah menengah atas ia teringat akan tawaran sahabat ayahnya tentang menjadi guru kontrak.
Ya, tentu setelah ia memastikan jika laki-laki itu juga ternyata guru di sekolah menengah atas itu. Saat itu perasaannya yang pernah hampir Luci kubur seolah memiliki sedikit harapan, ia ingin mencoba peruntungan untuk hal dan kemungkinan yang bisa saja terjadi
Ya laki-laki itu adalah Martin.
Dosen di universitas merah putih, dosen yang selama tiga tahun ia kagumi tanpa berani ia ucapkan.
-
-
-
-
-
-
Sorenya
David sudah berada di rumah Luci namun Luci ternyata belum pulang kerumah, David bertekad untuk menunggunya. Walau bagaimanapun David dan Luci punya kesepakatan untuk belajar di rumah selepas jam sekolah usai.
Sudah hampir petang David masih menunggu Luci hingga tak sadar dirinya sampai terlelap di kursi kayu yang tersedia di teras depan rumah bergaya klasik itu. Menurut beberapa guru David sudah jauh lebih baik dari segi pemahaman. David juga sudah benar-benar tertip mengikuti pelajaran di sekolahnya, karena ibu Luci selalu menekankan kata-kata jika dia tidak ada perubahan baik dari segi sikap ataupun pemahaman maka ibu Luci akan mengundurkan diri sebagai tutor belajar David dan akan meminta pak Antonio mencarikan les private pada David secara khusus.
Di lain tempat Luci sedang menghabiskan waktu bersama Martin di sebuah restoran mewah di tepi pantai , makan bersama dan menghabiskan waktu senja sambil memandangi indahnya matahari terbenam layaknya sepasang kekasih yang sedang kasmaran
Luci benar-benar lupa akan jam belajar dengan David yang sudah dua minggu ini rutin mereka lakukan.
Merasa bahagia, bahagia yang baru ia rasakan setelah lebih dari tiga tahun menjadi pengagum rahasia Martin, namun kini Luci tidak lagi pengagum rahasia melainkan sekarang cintanya pun telah terbalas.
Luci baru saja sampai di depan rumah setelah Martin mengantarnya pulang, sementara Martin langsung pulang mengingat hari yang sudah malam.
"David" Luci terkejut melihat David yang tertidur bersandar di kursi kayu teras depan yang sedikit tertutup beberapa tanaman hias.
"David" Luci sedikit menggoyang bahu David agar terbangun. Tubuh itu sedikit menggeliat, dan perlahan manik mata itu terbuka dengan tatapan sedikit buram.
"Eeh mbak, sudah pulang." Suara serak David. Suara khas orang bangun tidur.
"Kamu ngapain di sini?" Tanya Luci dengan sedikit mengerjitkan alisnya.
"Nungguin mbak lah, kita kan tetep harus belajar mbak, lagian mbak kemana aja sih? dari tadi aku telpon tapi gak nyambung-nyambung." Protes David.
"Ah iya handphone aku lowbatt, jadi ya," imbuh Luci dengan mengangkat kedua tangannya dan menggerakkan kedua bahunya sambil menunjukan handphone nya ke David.
"Terus sekarang gimana?" Tanya David dengan wajah sedikit kecewa.
"Hari ini kita libur ya, aku sangat capek, aku mau istirahat, maaf," cuma itu yang Luci bisa ucapan sedangkan David masih dengan ekspresi kecewa.
David masih membatu dengan kekecewaannya, sementara Luci sudah membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.
Luci mulai mendaratkan bokongnya di atas sofa ruang tengah dengan mata terpejam dan senyum yang tak henti-hentinya merekah, mengingat betapa bahagianya ia hari ini yang dia habiskan dengan kekasihnya.
Luci tidak menyadari jika David juga ikut masuk dan duduk di sampingnya sambil menenteng tas punggungnya dengan tidak bersemangat
"Kamu ngapain" heran Luci menyadari David yang sudah duduk di sebelahnya, membuat jarak diantara duduknya lalu seketika merebahkan kepalanya di pangkuan Luci. David masih tak menjawab.
David malah menarik kedua kakinya naik ke sofa panjang itu lalu melipatnya ke kedua sisi pahanya dengan tubuh miring seperti anak kucing yang kedinginan.
"David" Luci memberengut namun David tetap acuh dan tidak menjawab, malah semakin memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya.
"Dave, please jangan seperti ini," Luci mencoba menarik tubuhnya dari kepala David, namun ketika tangannya menyentuh pundak dan keningnya, Luci menyadari suhu tubuh David lebih hangat. Seketika Luci langsung meraba kulit wajah David.
"Astaga David kamu demam," Luci sedikit memekik, namun David tetep tidak bergeming, malah semakin mengeratkan pelukan di tubuhnya.
"Dave, tunggu aku buatin teh hangat dulu ya, kamu diam saja di Sini." David semakin mengeratkan pelukan di kedua paha Luci.
"Dave please jangan bertingkah manja seperti anak-anak," Luci sedikit melunak sambil mengusap lengan atas David yang masih tertidur di pangkuannya. Lalu David mulai mengendurkan pegangannya. Kemudian bangkit menurunkan kedua kakinya dan duduk.
"Tunggulah sebentar aku buatkan teh hangat dulu, kamu bisa tidur di sini jika itu bisa membuatmu lebih baik." Luci berjalan menuju pantry dan menuang air hangat kedalam gelas yang sebelumnya sudah ia beri takaran gula dan sebungkus teh kantung, setelahnya membawanya ke David yang masih duduk dengan menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dan kaki bersila
"Dave, minumlah selagi hangat, aku cariin kamu penurun demam dulu. Oh ya, apa kamu sudah makan?" Tanya Luci masih sambil berdiri di depan David.
David mendongak menatap Luci dengan mata sayunya sambil menggelengkan kepala.
"Ooh kamu selalu saja menyusahkanku David," Luci menghempaskan bokongnya kembali ke sofa samping David, lalu merogoh handphone yang di dalam tasnya "aah sial aku lupa hp aku lowbatt, lalu bangkit lagi, berjalan menuju nakas sebelah sofa yang sudah ada charger handphone yang tercolok, sejurus kemudian Luci mengecas handphone nya dan berusaha menghidupkannya. BERHASIL.
Ia mulai mengotak-atik gawainya mencari aplikasi go food Luci langsung memesan sup iga dan obat penurun demam, setelahnya berlalu menghampiri David kembali.
Hening.
Sepuluh menit masih hening.
"Dave, Mulai besok kita buat jadwal belajar saja, aku gak bisa setiap hari ngajar kamu, atau aku Carikan guru private, nanti aku ngomong sama om Antonio," Luci membuka suara.
"Gak, aku gak mau guru private mbak, apa mbak gak ikhlas ngajarin aku?atau mbak takut gebetan mbak marah?" David memberengut
"Dave,"
"Please, mbak aku sungguh ingin benar-benar belajar asalkan mbak yang akan menjadi mentorku." Suara David naik satu oktaf
Ting tong,,,,,,
Ting tong,,,,,,
Bel rumah Luci berbunyi.
"Ah terserah lah Dave, tapi aku juga butuh waktu untuk istirahat dan aku juga punya kegiatan lain selain mengajar di sekolah, jadi kita akan tetap membuat jadwal belajarmu." Jelas Luci sambil berjalan menuju pintu depan.
David terdiam dengan pikirannya sendiri, "walau bagai manapun Luci benar tapi ia sungguh tidak rela jika Martin lebih menguasai waktu Luci," batin David
Luci kembali dengan beberapa kantong plastik di tangannya dan beberapa peralatan makan, meletakan nya dan berjalan menuju pantry lagi dan kembali dengan dua gelas air putih di kedua tangannya.
"Ayo makan dulu, lalu setelah itu minum obat penurun demamnya, setelahnya kamu istirahat dulu, jika sudah merasa baik, baru kamu pulang, atau jika kamu tidak lekas membaik aku bisa telpon om Anton suruh jemput kesini," terang Luci.
David hanya diam tidak banyak protes lagi. Luci mulai memindahkan sup iga yang dipesannya tadi kedalam wadah dan memberikannya pada David. "Habiskan jika tidak mau om Antonio dateng kemari menjemputmu." Ketus Luci
David mulai menyendok makanan nya dan sedikit kesulitan menelannya karna kering di tenggorokan nya. Namun tetep memaksa menghabiskan makanannya.
Luci tersenyum memandang gawai di tangganya memandang photo yang beberapa jam lalu ia ambil di tepi pantai dengan Martin.
Tit...
Luci mulai membuka pesan di aplikasi berlogo handphone warna hijau.
"Lagi ngapain sayang," pesan dari Martin
"Lagi duduk depan televisi sambil liatin photo orang ganteng," bales Luci disertai emoji malu-malu.
"Orang ganteng? Siapa?"
"Ada deh"
"Hayo siapa? Apa aku langsung kerumah kamu saja ni."
"Ya photo orang ganteng yang tadi sore aku ambil di tepi pantai, hihihi"
"Oooh jangan terlalu tenggelam memandangnya sayang, nanti kamu semakin jatuh cinta."
"Mbak aku udah selesai," suara David mengalihkan fokus Luci dan seketika melihat mangkok yang tadi ia berikan pada David.
"Bagus sekarang minumlah ini," perintah Luci sembari memberikan dua butir obat berbetuk pil yang baru dia sobek dari bungkusnya dan menaruhnya ke telapak tangan David yang dia buka di sertai segelas air putih. "Lalu istirahat lah sebentar setelah itu mungkin kau akan lebih baik." Titah Luci.
David cuma menurut lalu setelahnya mulai merebahkan tubuhnya di sofa itu dan mulai memejamkan matanya dan tidak menunggu lama kesadarannya pun terenggut ke alam bawa sadarnya.
Luci masih asik berbalas pesan dengan sang kekasih, menyadari keterdiaman David Luci sesaat menoleh ke arah David dan mendapati David yang sudah tertidur.
Luci bangun dari duduknya, netranya masih menatap wajah pucat David, Luci mendekat dan menyentuh dahi bocah itu "sepertinya demamnya cukup tinggi" Luci menatap lekat lekat wajah anak muridnya, "tampan" lirih Luci. Menatap lebih lekat setiap inci wajah David. Alis tebalnya, hidung mancungnya,rahang kokohnya yang sedikit tirus, bibir tipis, dan bulu mata yang lentik alami, "apa yang kau pikirkan Luci, dia hanya anak murid mu yang menjengkelkan dan egois yang sudah memaksamu berada di situasi ini, itu pun tanpa persetujuan mu." Gumam Luci dalam hati.
Akhirnya Luci merebahkan tubuhnya di sofa sebelah tepat di atas kepala David. Sesekali kembali memperhatikan photo di gawai nya sebelum kesadarannya juga ikut terenggut ke dunia mimpi.
-
-
-
-
-
Tiga jam setelahnya David mulai menggeliat merasakan pegal di sekujur tubuhnya, dan mulai membuka matanya, memegang kepalanya yang terasa berat.
Pandangannya sedikit buram, David meraih tasnya yang tergeletak di lantai dekat sofa, seketika netranya menatap wajah damai Luci yang terlelap bersandar di sandaran sofa di sebelahnya.
David mulai melambai lambaikan tanganya mengecek kesadaran wanita itu, sesekali menoel-noel hidung mancungnya tapi sepertinya wanita itu tidur dengan sangat nyenyak
David melihat jam dipergelangan tangannya angka menunjukkan 10:15 pm. "Aku sudah tertidur selama tiga jam lebih," lirih David.
Akhirnya tanpa berpikir panjang David meletakkan kembali tasnya dan mengangkat tubuh Luci yang masih asik berkelana di alam mimpi. David menaiki anak tangga, dia yakin kamar Luci ada di atas, meski sering kerumah itu tapi David memang tidak pernah menjelajah rumah itu.
Sesampainya di anak tangga teratas tatapannya langsung tertuju pada pintu putih yang di depannya tertempel miniatur mobil.
Membuka pintunya dan ya, David yakin ini adalah kamar Luci mengingat kamar itu berwarna pink berkombinasi putih dengan kasur yang berbalut spray warna gray polos dan dua boneka panda yang tergeletak di sisi kiri dan kanan bantal.
Tubuh Luci cukup berat meski terlihat ramping namun sangat terasa padat di bagian bokongnya.
David mulai merebahkan tubuh Luci di atas kasur nya mengambil gawai yang masih di genggamnya, lalu menarik selimut yang sudah tersedia di sisi bawah ranjangnya dan menyelimuti tubuh Luci sampai setengah d**a. Di tatapnya lekat lekat wajah gurunya itu.
Fokusnya teralih pada gawai Luci yang masih di genggamannya kemudian mulai menggeser layar ponsel itu, berniat mengecek histori di ponsel gurunya, namun ia urungkan ketika Luci sedikit menggeliat di tidurnya.
David akhirnya meletakkan gawai itu di atas nakas samping tempat tidur Luci. Sesaat David duduk di sisi ranjang sebelah Luci, kembali menatap wajah damai itu, netranya terhenti di bibir tipis merah muda yang beraroma coklat mint, David tak kuasa menahan hasratnya untuk tidak menyentuhnya.
David mulai mengusap bibir itu dengan ujung jarinya, dan sedikit menekannya dengan ibu jarinya, dan kini wajah David dan Luci hanya berjarak tiga sentimeter saja. Napas Luci yang teratur terasa hangat menerpa wajahnya, dan ,,,,,,,,cup. Satu ke kecupan lembut dia berikan untuk gurunya tepat di keningnya
David memilih pulang dan sampai rumahnya sudah hampir jam sebelas malam.
********
Keesokan harinya
Luci bangun dengan perasan yang sangat bahagia. Bersiap berangkat ke sekolah karna hari ini ada jam pelajarannya di tiga kelas berbeda.
Luci sangat bersemangat berangkat mengajar, selain karna Luci senang mengajar, di sekolah itu juga ada kekasih yang sangat ia sayang dan benar saja Martin sudah stay di depan rumahnya menjemputnya sepagi ini.
"Selamat pagi my princess,"
sambut Martin begitu Luci membuka pintu rumah.
"Sudah siap,"
Luci hanya tersenyum dan berjalan menaiki mobil yang pintunya sudah di buka sebelumnya oleh sang empunya mobil.
Sesampai di SMA SATYA Martin memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Baru saja Luci hendak membuka pintu mobil namun Martin menahan lengannya, Luci menoleh menatap Martin yang di sebelahnya, manik mata itu bertemu sesaat, mendalami rasa demi rasa di antara mereka. Luci menggeleng dan Martin tau apa artinya. "kita adalah guru di sini, jadi sebisa mungkin kita hanya akan memberi contoh yang baik dan positif untuk anak didik kita," ucap Luci penuh dengan kesungguhan.
"oke no problem baby," lirih Martin dan keluar membuka pintu mobilnya setelah sebelumnya berlari memutari mobilnya hanya untuk membuka pintu sebelahnya untuk sang pujaan hati. Sementara Luci masih dengan senyum termanisnya.
Di kelas dua belas B, Luci mulai sedikit kawatir pasalnya David hari ini tidak masuk sekolah. Mengingat semalem David demam dan tidak tau kapan David pulang, karena begitu Luci terbangun hari sudah pagi.
Sampai pelajaran usai David tidak jua datang itu artinya David Alfa hari ini.
Jam pelajaran berakhir, Luci masih duduk berdiam diri di dalam kelas itu, sejurus kemudian Luci mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi seseorang.
Panggilan pertama
Panggilan kedua
Panggilan ketiga, masih tidak ada jawaban.
Kecemasan mulai membayangi otak dan prasaan Luci.
"Aaah David kenapa gak di angkat sih? Apa kamu baik-baik saja?" Luci bermonolog dalam diam. Entah kenapa perasaannya mulai tidak enak.