Sore mulai menjelang, sementara Mentari belum juga keluar dari kamarnya. Artha yang baru saja selesai memasak, menatap jam berbentuk persegi yang menempel pada dinding rumahnya, sudah pukul lima sore. Perlahan, wanita empat puluh tujuh tahun itu berjalan menuju kamar Mentari. Artha melihat Mentari terduduk di atas ranjang seraya membaca buku. Gadis itu sudah tidak lagi berbalut selimut. “Tari, sudah turunnya panas badanmu, Nak?” Artha mendekat dan duduk di depan putrinya. Ia menyentuh dahi Mentari, sudah lumayan dingin. “Puji Tuhan ... sudah, Mak.” Artha menatap mangkuk yang berada di atas nakas. Bubur yang ia buat tak berkurang sedikit pun. “Nak, tak kau makannya bubur buatan mamak. Mengapa? apa kau sudah jijìk dengan masakan mamakmu ini, ha?” Artha berkata pelan, netranya berkaca-ka