Azzam masih menatap ustaz Sofyan. Tatapannya sayu, netranya sudah memerah. “Apa kamu ada masalah, Azzam?” “Aku tidak tahu, apakah aku pantas menceritakan semua ini kepada ustaz. Sementara, aku sudah membuat ustaz kecewa dan Habibah terluka.” Azzam kembali tertunduk. “Azzam ... jodoh, rezeki dan maut itu, mutlak urusan Allah. Kamu tidak salah, karena tidak mungkin menyatukan dua hati yang sama sekali tidak memiliki rasa suka. Saya sudah ikhlas.” “Masyaa Allah ... mulia sekali hati ustaz.” “Tidak! Bukan hatiku yang mulia, akan tetapi Habibah. Gadis itu yang bijaksana. Oiya, sudahlah ... lupakan semuanya, itu hanya masa lalu. Habibah sudah mengikhlaskan dirimu. Ia sudah memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Kairo. Setelah itu, ia akan kembali untuk mengurus pesantren.” “Semoga H