TAP LOVE dulu dong, dear's ... Kiss ...
-
-
Sore yang cerah, secerah hati dua insan yang tengan duduk di bangku panjang warung minuman, tempat mereka bertemu. Netra itu berádu selama beberapa menit, saling berbincáng dan bercerita. Entah apa dan bagaimana cara dua pasang netra itu bercengkráma, akan tetapi perbincángan mereka membuat hati pemiliknya semakin gusár dan berdebár.
“Ma—maaf, ada apa kamu tadi memanggilku?” Mentari kembali menundukkan pandàngannya, menyembunyikan netra cantiknya dari pandangàn lelaki yang ada di depannya.
“He—eh, tidak. Aku ... aku hanya ingin mengucapkan terima kasih.” Azzam pun bersikap sama, pemuda itu jengah.
“Baiklah, urusanku denganmu sudah selesai. Hari sudah semakin sore, aku harus segera kembali.” Mentari mulai bangkit, tanpa menatap Azzam.
“Iya ... sekali lagi, terima kasih atas makanannya. Aku pastikan, semua ini akan aku makan.”
“Hhmm ... permisi.”
Mentari bàngkit dan berlalu dari warung tempat ia sudah menunggu Azzam, selama satu jam lebih. Begitu lama, gadis itu menunggu. Namun pertemuàn dan perbincangànnya dengan Azzam, tidak berlangsung lama.
Mentari semakin mempercepat langkah kakinya, tatkala sore yang yang tadinya cerah, tiba-tiba beráwan. Begitu cepatnya cuáca berubah. Beberapa menit yang lalu, matahari masih bersinar terang. Namun kini, awan kelám sudah menutupi langit itu hingga sore yang tadinya cerah bersinar, seketika berubah mendung.
Ya Tuhan ... sudah gerimis, Mentari bergumàm dalam hatinya, sementara persimpàngan masih berada sekitar lima puluh meter lagi.
Beberapa detik kemudian, kaki mungìl itu, setengah berlari menuju sebuah teras rumah warga. Sedikit lagi, Mentari akan sampai di persimpangan dan halte bus. Namun Tuhan berkata lain, hujan tiba-tiba turun dengan sangat lebat, membuat gadis itu tidak dapat melanjutkan perjalanannya.
Mentari berteduh di salah satu teras rumah warga. Mentari memperhatikan sekeliling, berharap melihat seseorang, untuk sekedar meminta izin. Namun gadis itu tidak menemukan siapa pun. Ia pun berbalik, dan ...
“Astaghfirullah ....” Seorang pemuda berucap istigfar.
Tubuh mungil Mentari, tanpa sengaja menyènggol seseorang, seorang pemuda yang juga tidak melihat keberadaan Mentari karena terbùru-bùru dan melìndungi kepalanya dari hujan.
“Ya Tuhan ... ma—maaf, saya tidak melihat anda.” Mentari jengàh. Gadis itu segera menjaga jarak.
“Saya yang seharusnya minta maaf. Saya tidak sengaja, sebab saya berlari menuju sini. Saya menutupi kepala saya dengan tas, saya tidak melihat anda.” Azzam salah tingkah.
“Tidak masalah ....”
Lima belas menit berlalu, hujan turun semakin deras. Tidak hanya hujan yang deras, angin kencang juga menyertai air yang turun dari langit itu. Mentari dan Azzam masih sama-sama berdiri di teras rumah warga yang tidak ada penghunìnya. Mungkin penghunìnya memang tidak berada di tempat.
Di teras itu, tidak ada apa pun yang bisa digunakan untuk tempat duduk. Mentari dan Azzam masih sama-sama berdiri dan menyandarkan punggung mereka ke dinding rumah bercat kuning lembut. Mereka menjaga jarak, sekitar dua meter.
Azzam menoleh ke arah Mentari. Ia melihat gadis itu mulai kedinginan. Gadis itu hanya mengenakan blus berlengan pendek berbahan katun yang tidak terlalu tebal, namun masih longgar dan sopan. Mentari menyilangkan ke dua lengannya ke dàda. Ia mulai menggigil.
”Mentari, maaf ... apa anda kedinginan?” Azzam mulai mendekat, tapi masih menjaga jarak.
“Ha ... Ah, biasalah ... aku memang tidak tàhan dengan dingìn, Hachim ...!!” Tiba-tiba gadis manis itu bersin.
Azzam melepaskan tasnya dan meletakkan tas ransel miliknya di atas lantai dekat dinding. Pemuda itu melepáskan jaket kulìt yang membálut tubuhnya, dan memberikan jaket itu kepada Mentari.
“Pakailah jaket ini, ini akan mengurangi sedikit rasa dingin pada dirimu. Kamu tidak perlu khàwatir, jaket ini Insyaa Allah bersih. Baru tadi aku pakai setelah kemarin aku cuci dan setrika.” Azzam tersenyum hangàt.
“Eh ... tapi bagaimana dengan di—dirimu, hachim ...!!” Lagi, gadis itu bersin. Tubuhnya memang sudah menggìgil.
“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku sudah terbiasa dengan dingin.” Azzam tersenyum.
Mentari menerima jaket pemberian Azzam dan mulai mengenakannya. Hángat, itulah yang gadis itu rasakan. Tidak hanya hángat, tapi juga wangi. Mentari seakan merasakan tubuhnya di dekáp oleh pria itu. benar-benar nyaman dan hángat.
“Bagaimana? Sudah mendingán?”
“Terima kasih ... jaket ini sangat tebál, aku merasa sedikit hángat.” Mentari memberanikan diri menatap pemuda yang kembali berdiri dua meter dari tempatnya.
“Semoga hujan segera berhenti, sebab hari sudah mulai gelap.” Azzam menatap langit senja yang masih saja mengeluarkan tetesan air.
“Aku juga berharap demikian. Mamak dan bapak pasti akan khawatir, jika aku pulang terlalu lama.” Mentari kembali menyilàngkan lenganya ke dàda. Jaket itu benar-benar membuatnya nyàman.
Di sela-sela bunyi derasnya hujan, Mentari mendengar sesuatu yang sangat merdu yang mampu menggetarkan jiwanya. Gadis itu menatap ke sumber suara. Ia melihat bibir Azzam tengah melantunkan ayat-ayat Tuhan dengan merdu dan mendáyu.
Ya Tuhan ... indah sekali suaranya. Apa yang ia baca? Apakah isi kitabnya? Tapi mengapa ia tidak memegang kitabnya? Apa ia sudah menghafal isi kitab itu? hebat sekali ... Mentari berguman dalam hatinya.
Azzam tidak menyadari jika gadis yang kini berjarak dua meter di sampingnya, tengah memperhatikan dirinya dengan perasaan kagum. Pemuda itu terus saja melantunkan kalam-kalam Ilahi dengan begitu merdu dan mendáyu.
Bruumm ...
Ciiitt ...
Lamunan Mentari buyar, seiringan dengan berhentinya sebuah sepeda motor tepat di depannya. Sepeda motor sang pemilik rumah, tempat mereka berteduh.
“Permisi, Dek ....” Sang pemilik rumah beserta suaminya, berkata sopan ketika melewati Mentari, sebab gadis itu berdiri tepat di samping daun pintu.
“Ee—eh, iya ... maaf, Kak. Saya numpang berteduh.”
“Iya, tidak masalah ... kalau mau, silahkan masuk ke dalam, sebab di luar tidak ada bangku untuk duduk.” Sang pemilik rumah menawari Mentari masuk.
“Tidak usah, Kak. Lagi pula sudah mulai reda. Halte bus sudah tidak jauh. Saya akan pergi sekarang.”
“Ya sudah, hati-hati ya dek ....”
“Terima kasih, Kak. Saya permisi.” Mentari pamit kepada pemilik rumah. Begitu juga dengan Azzam.
Gerimis masih turun. Seraya berjalan menuju persimpangan, Mentari mulai melepas jaket milik Azzam.
“Mentari, apa yang kamu lakukan? Jangan lepaskan jaket itu. Udara masih dingin, hujan belum sepenuhnya berhenti. Pakai saja dulu, nanti kamu bisa demam.” Azzam mencegah Mentari melepas jaketnya.
“Tapi bagaimana denganmu?”
“Sudahlah, pakai saja.”
“Baiklah, terima kasih ... Minggu depan akan aku kembalikan.” Mentari tersenyum, sangat manis.
“Tidak perlu dipikirkan. Yang penting, kamu aman. Kalau pun tidak dikembalikan, tidak masalah. anggap saja kenang-kenangan. Oiya, bus sudah datang. Ayo segera naik, nanti keburu hujan lagi.” Azzam setengah berlari menuju bus yang berhenti tepat di halte yang berada di persimpangan itu. begitu juga dengan Mentari.
“Busnya penuh ...,” ucap Azzam kepada Mentari. Mentari mengangguk.
Azzam berdiri, begitu juga dengan Mentari. Sayangnya, kini tidak ada jarak di antara mereka. Berkali-kali wajah Mentari menyentuh pangkal bahu Azzam. Gadis itu sudah berusaha menghindar, namun sesaknya bus dan kencangnya laju bus, membuat ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Treng ... teng ...
Treng ... teng ....
Mentari memukul pegangan bus bagian atas dengan cincin batu alam, miliknya. Cincin batu berwarna merah, yang memang sengaja di berikan ayahnya untuk memukul pegangan bus jika Mentari tidak sempat mengambil koin.
“Bang ... aku turun di sini. Minggu depan akan aku kembalikan jaket milikmu.” Mentari tersenyum seraya berlalu, turun dari bus menuju kediamannya.
Azzam mengangguk. Netra cokelat pekatnya berusaha menangkap sosok gadis itu hingga hilang dari pandangannya. Hatinya tiba-tiba nelangsa. Perpisahan yang tidak ia inginkan, terjadi jua.