Gerimis masih turun, sementara langit mulai gelap. Sebentar lagi, azan magrib akan berkumandang di seantero tanah Melayu Deli itu. Seorang gadis semakin mempercepat langkahnya menuju kediamannya seraya memeluk erat jaket kulit yang kini mampu menghangatkan tubuhnya.
“Sore, Mak, Pak ....” Mentari akhirnya sampai di rumahnya, masuk seraya menyalami ke dua orang tuanya dengan hormat. Goklas dan Artha bersiap hendak ke gereja untuk melaksanakan ibadah.
“Dari mana sajanya kau, Tari?” Goklas menatap putrinya, tajam. Tidak biasanya gadis itu pulang terlambat seperti ini.
“Habis bertemu teman aku, Pak. Tadi aku sudah minta izinnya sama mamak.” Mentari menjawab dengan sopan.
“Baju siapa itu yang kau pakai. Baru beli baju laginya, Kau?” Artha sudah bersiap dengan pakaian terbaiknya. Ia hendak ke gereja bersama suaminya menggunakan sepeda motor.
“Punya teman Tari ini, Mak. Tadi Tari menggigil kedinginan. Hujan lebat kali, dingin kulitku.” Mentari beranjak ke meja makan, menyingkap tudung saji, melihat apa yang ada di dalamnya.
“Ya sudahlah ... makanlah kau, tadi sudah mamak masak saksang, tuláng (paman) kau tadi datang bawa daging bábi. Dia minta mamak masak saksang, katanya nantulang (bibi) kau tak pandai masak saksang.” Artha menjelaskan seraya membetulkan posìsi tasnya.
“Masih panásnya, Mak.” Tari mencìcipi.
“Iya, tuláng kau tak makan di sini. Dia bungkus, bawa pulang. Ah, sudahlah, mamak dan bapak mau ke gereja. Makanlah kau sama si Herty. Abang kau tadi pergi sama ceweknya. Tak taulah mamak kemana.”
“Hati-hati mamak dan bapak. Aku mau makan dulu, lapar perutku, hehehe ....”
“Iya, makanlah kau yang banyak. Biar tak kùrus kali badan kau itu. Lihatlah, kecìl kalinya badan kau.”
“Iya, Mak ....” Lagi, gadis itu menciumi pungung tangan ibunya. Mentari begitu mencintai ayah dan ibunya.
Sepasang paruh baya itu berlalu meninggalkan rumah mereka, menuju rumah Tuhan. Herty? Tangan gadis itu tidak lepas dari ponselnya. Permáinan ular-ular, sudah mencuri perhatian gadis itu.
Mentari melihat sebuah bantal di dekatnya. Tanpa berpikir panjang, gadis itu melempár bantal kecìl itu ke arah Herty.
Bugh ...
Bantal itu tepat mengenai tangan Herty, membuat ponselnya terjatuh. Untung posisi jatuhnya masih di atas sofa, “Ular-ular terusnya kerja kau, Herty ....”
“KAKAK!!” Herty berteriak seraya mengambil ponselnya.
“Sudah makannya, Kau.”
“Daong dope (belum) ... Eh, jaket siapanya kakak pakai? Cantik kali, wangi lagi? Jangan-jangan? Hahaha ....” Herty tertawa renyah. Ia menggodá kakak tersayangnya.
“Apa?” Mentari menyeka wajah adiknya dengan ke dua telapak tangannya.
“Ini jaket abang yang sudah mengembalikan kitab kakak itu, ya? Cieeee ... jaket cinta, hahaha ....”
“Apanya kau, Herty ... jaket cinta apa? Aku tadi menggigil kedinginan, dipinjamkannya aku jaket ini.” Mentari mendèngus kèsal.
“Dari jaket turun ke hati, hahaha ... káwin ... káwin ... akhirnya kak Mentari káwin, hahaha ....”
“Dasar, boru ginting lontŏng ....” Mentari menìndih tubuh adiknya dan menggelìtik sekùjur tubuh Herty. Ke dua kakak beradik itu bergèlut penuh suka cita.
“Hahaha ... ampun, Kak ... ampuunnn ....” Herty bersusah payah menghindari jemari lentik Mentari yang semakin menjadi menggèlitik tubuhnya.
“Haduh ... sudahlah, sudah pánas badanku.” Mentari lelah, begitu juga Herty.
“Kak, aku seriusnya ini. Kakak tidak pacaran’kan sama abang itu? Aku dengar, abang itu muslim ya?” Herty yang kelelahan, menatap netra cantik kakaknya.
“Iya, kenapa memangnya?”
“Kak, bisa ditebás nanti kepalamu sama bapak jika kau berani berpacaran dengan pria itu.” Herty menatap Mentari, serius.
“Pacaran? Berguráunya kau. Mana mungkin kakak berpacaran dengan pria itu. Kakak hanya mengantar makanan, kebetulan kami terkùrung hujan, dipinjamkannya kakak jaket ini, itu sajanya.” Mentari melepas jaket milik Azzam. Tubuhnya sudah mulai panas setelah bergèlut dengan Herty.
“Seriusnya, Kakak?”
“Apa maksudmu?”
“Tidak, aku tidak ingin kakak dapat masalah nanti. Bagaimana pun, aku sayangnya sama kau, Kak.” Netra Herty berkaca-kaca seraya memeluk hangat kakak tersayangnya.
“Hei, apanya kau ini boru ginting.” Mentari jengah.
“Aku seriusnya, Kak. Kakak temanku ada yang menikah dengan pacarnya, muslim juga. Diusir dia dari rumahnya dan dicoret namanya dari daftar keluarga. Hampir di bunuh dia sama bapaknya. Aku tidak ingin nanti kakak perempuánku satu-satunya bernasib sama.” Pecáh ... tangis Herty akhirnya pecáh juga. Gadis setengah tombŏi itu tiba-tiba terisák menátap wajah cantik kakaknya.
“Apanya kau, Herty ... tak adalah itu. Kakak tidak mungkin pacaran apalagi menikah dengan pria pemilik jaket ini. Sudahlah, jangan mengáda-ngáda. Ini lagi, pakai nangis-nangis segala. Makanlah kita dulu, mamak sudah masak saksang, katanya.” Mentari menarik lengan adiknya menuju meja makan.
“Kak, benar ya ... kakak jangan sampai pacaran dengan abang itu. tak sudinya aku kalau kakakku diusir dan dicoret namanya dari daftar keluarga.” Herty kembali menatap netra Mentari sebelum gadis itu duduk di salah satu kursi makan.
“Iya, janjinya kakak.”
“Kalau begitu, makanlah kita dulu. Hhhmm ... aroma saksangnya saja sudah enak. Ayolah, Kak.”
Ke dua gadis manis itu pun menikmati makan malam mereka. Masakan ibunya, memang mampu membuat selera makan mereka meningkat.
-
-
-
Mentari sudah selesai membereskan sisa makanan dan merapikan kembali meja makan. Gadis itu masuk ke dalam kamarnya dan mulai membaringkan tubuh mungìlnya dengan baik di atas ranjáng dengan sprei berwarna ungu muda.
Ia meletakkan jaket Azzam tepat di sampingnya. Aroma parfum yang melekat pada jaket itu, begitu membekas di hidung Mentari. Bahkan aroma parfum itu juga melekat di tubuhnya. Begitu damai dan menenangkan.
Bayangan wajah tampan Azzam, mulai menghantui pikiran gadis itu. netranya, senyumnya, bahkan suara merdu mendáyu sang guru ngaji itu, kini memenuhi aliran darah di otak Mentari.
Ya Tuhan ... apa ini, mengapa perasaannku jadi seperti ini? Mentari memegangi dadánya seraya menatap jaket kulit yang kini ada tepat di sebelahnya.
Tidak! Jangan sampai aku menyukainya. Apa kata bapak nanti? Tidak! Ya Tuhan ... tolong hilangkan perasaan ini ... netra cantik itu tiba-tiba mengeluarkan tetesan bening.
-
-
-
-
-
Di tempat yang berbeda, seorang pria juga tengah gundáh gulána. Netra abu-abu terang dengan bulu mata lentik yang begitu cantik, menari-nari di pikirannya. Untuk pertama kalinya, Azzam merasakan perasaan berbeda tatkala berada dekat seorang wanita.
Astaghfirullah ... ya Allah, ampuni hamba, Azzam bergumam dalam hatinya seraya menyeka wajahnya yang tidak basah. Ia gelisah, hingga netranya sulit terpejam.
“Ada apa denganmu, Zam? Kamu sepertinya gelisah?” Iqbal yang tengah membaca buku, melihat gelagat aneh di diri sahabatnya.
“Entahlah ... aku tiba-tiba memikirkan gadis itu.” Azzam bangkit dan menyugar rambutnya.
“Gadis yang mana? Apa gadis pemilik kitab itu?” Iqbal melipat bukunya dan balik memperhatikan sahabatnya.
“Ya.”
“Azzam?” Iqbal semakin dalam menatap netra cokelat pekat itu.
“Entahlah ....” Azzam mendèngus sebentar dan kembali mengusap wajahnya dengan ke dua telapak tangannya.
“Zam, bukankah tempo hari katamu akan melakukan taaruf dengan anak ustaz Sofyan? Yang lulusan Kairo itu?”
“Iya, tapi aku tidak tahu kapan. Lagi pula, aku merasa tidak pantas dengan putrinya ustaz Sofyan.”
“Tidak pantas, bagaimana? Kamu tampan, beberapa bulan lagi akan menyandang gelar magister. Hafalan qur’anmu juga sudah banyak. Apalagi suaramu yang merdu ketika melantunkan kalam-kalam Ilahi, pantas saja ustaz Sofyan menginginkan dirimu untuk putrinya.”
“Putri ustaz Sofyan itu lulusan Kairo. Aku merasa tidak percaya diri. aku hanya lelaki biasa dari kota Padang. Ah, bukan kota, tepatnya tepi kota, hehehe ....”
“Kamu terlalu merendah, Azzam.”
“Atau, bagaimana kalau denganmu saja, hehehe ....”
“Serius?”
“Seriuslah.”
Iqbal melempar sebuah bantal ke tubuh Azzam, “Meledek kamu! Pasti ditolak mentah-mentah aku sama ustaz Sofyan. Lagi pula, ustaz Sofyan maunya sama kamu, bukan aku.” Iqbal mencebik.
Azzam kembali terdiam. Ia sama sekali tidak tertarik dengan penawaran ustaz Sofyan. Justru, gadis sederhana yang teramat biasa, yang tidak mengerti satu huruf pun dalam Al-qur’an, mampu mengusik jiwa terdalamnya.
Azzam bangkit dan mulai melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Pemuda itu ingin mengadu kepada Rabb-nya. Pemuda itu ingin mencurahkan segenap rasa kepada Tuhan sang pemilik jiwa.
Ia pun mensucikan dirinya dengan air wudu. Merasakan air dingin itu menyentuh setiap pori-pori wajahnya yang sudah bersih dan bersinar, karena begitu sering ia sucikan dengan air wudu.
Setelah selesai mensucikan diri, pemuda itu melangkah ke dalam ruang depan rumah kontrakan itu dan mulai membentang sajadah. Melaksanakan shalat sunah dua rakaat dengan ayat yang panjang. Ia ingin memohon petunjuk dan mengharapkan ketenangan jiwa dari Allah, Rabb yang maha baik.