BAB 11 – Diomeli Herty

1658 Words
Hai ... TAP LOVE DULU DONG, ya ... kiss ... - - Minggu yang dinanti-nantikan pun akhirnya tiba. Mentari sudah bersiap menuju Masjid Istiqomah untuk mengembalikan jaket milik Azzam. Jaket itu sudah sangat rapi dan juga wangi. “Kak ....” Herty tiba-tiba masuk ke dalam kamar Mentari tanpa mengetuk pintu. “He—eh ... apanya kau Herty ... masuk itu, ketuk pintu lebih dulu.” Mentari sedikit gelagapan. “Kenapanya kakak? Kenapa kakak jadi gugup?” Herty memperhatikan sikap kakaknya yang jelas terlihat gelisah. “Tidak sopannya kau masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Bagaimana jika kakakmu sedang tak pakai apa-apa, ha?” Mentari meletakkan jaket milik Azzam di atas bantal. “Baguslah, nanti aku foto, terus aku sebar di sosial media, hahaha ... Lagian, mengapa pintu kamar tidak kakak kunci?” Herty memperhatikan sekeliling kamar kakaknya. “Suka-suka aku, lah.” “Eh, ini jaket abang itu ya? Kakak mau pergi mengembalikan?” Herti menyentuh jaket itu dan berniat mengambilnya. “Eh ... jangan disentuh ... tanganmu itu mengotorinya saja. Sudah tahu, aku lelah merapikannya.” Mentari dengan cepat menyentak tangan Herty dan menjauhkan tangan itu dari jaket milik Azzam. “Apanya kakak ini ... jaket macam itu sajanya. Kak, aku boleh ikut ya?” Herty mengerlingkan matanya, berharap kakak tersayangnya mengizinkan ia ikut menemui Azzam. Herty penasaran juga dengan sosok Azzam tersebut. “Daong boi! (Tidak boleh!)” Mentari berkata seraya menyisir rambut panjangnya. “Ikut, atau aku acak-acak jaket ini.” Herty bersiap menyambar jaket yang ada di atas bantal Mentari. “Eittss ... jangan macam-macam boru ginting. Kulibás nanti kepalamu pakai golŏk yang baru saja diásah bapak, semalam. Mau, Kau?” Mentari membelálakkan matanya ke arah adiknya.   “Coba saja ....” Herty balik berkàcak pinggàng, netranya menatap tajam jaket kulìt yang terlipat manis di atas bantal. “Iya ... iya ... bolehlah kau ikut. Tapi jangan cari masalah, okay ....” Mentari akhirnya mengalah. “Kak, kau suka ya sama abang itu?” “Apanya kau, ah ... itu terusnya yang kau tanyakan.” “Sebab kau aneh kali, Kak. Aku lihat kau sayang kali sama jaket itu. kulihat juga kau sering melamun. Macam orang yang sedang jatuh cinta, hahaha ....” “Pernahnya kau jatuh cinta? Tau pulanya kau apa itu jatuh cinta?” “Pernahlah ... tapi bukan sama laki-laki, tapi sama wànita, hahaha ....” “Gilá kau, Herty ....” Mentari melempar sebuah handuk ke wajah adiknya. “Ah kakak ini, berguraunya aku, Kak. Mana mungkin jeruk makan jeruk. Bisa dikubùr aku hidup-hidup sama bapak, hahaha ....” “Jadinya kau ikut sama kakak, ha?” “Jadilah ....” “Siap berangkatnya, Kau?” “Tunggu! Ganti bajunya dulu aku, hehehe.” “Herty ... huh!” Mentari menatap kesal ke arah adiknya. Hampir saja sebuah boneka melàyang lagi ke wajah Herty, namun gadis itu segera berlalu seraya tertawa renyah. Sepuluh menit menunggu, akhirnya Herty selesai juga. Mentari sudah menunggu dengan kesàl di dalam kamarnya. “Kemana sajanya kau? Lama sekali, Herty?” “Mandi dululah ... mana mungkin aku pergi dalam keadaan bau begitu. Gilánya kakak!” “Kau tu yang gilá,” Mentari mencubit lembut hidung adiknya, “Ayoklah kita pergi sekarang.” “Iya, ayok ....” Mentari memasukkan jaket Azzam ke dalam kantong bekas toko pakaian. Ia memilih kantong yang paling baik dan masih cantik. “Mau kemananya anak-anak mamak ini? sudah cantik dua-duanya.” Artha menatap bangga ke dua putrinya yang sama-sama memiliki paras yang manis dan memesona. “Mau jalan-jalan sore sebentar, Mak.” “Iya, Mak ... kak Tari katanya mau ajak aku makan bakso.” “Apanya? Tak adalah perjanjian seperti itu tadinya.” Mentari menggerutu. Herty mengerlingkan mata ke arah Mentari, tatapan penuh ancaman. “Iyalah-iyalah ... nanti kakak ajak makan bakso.” Mentari mengalah. “Nah, gitu dong kakakku tersayang, hahaha ....” Herty merangkul Mentari dengan sangat sayang. “Tari, jangan lupa, belikan juga mamak kau ini. Bapakmu tidak usah, bapakmu tidak suka bakso. Sate saja belikan buat bapak.” “Baik, Mak. Tari pergi dulu ya, Mak.” “Iya, hati-hatilah di jalan.” Mentari dan Herty melangkah keluar rumah menuju halte, tempat mereka menunggu bus. Ke dua kakak beradik itu begitu bersemangat. Dua puluh menit berselang, akhirnya bus yang mereka tumpangi berhenti di halte tujuan. Mentari dan Herty harus melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki menuju masjid tempat Azzam biasa mengajar mengaji. “Permisi, Kak ....” Mentari tersenyum ramah menatap Mila—pemilik warung minuman—yang berada di depan masjid Istiqomah. “Hai, ini adik yang minggu itu ya? Temannya Azzam?” “Iya, Kak. Azzamnya ada nggak, Kak?” “Ada ... seperti biasa, sekitar jam setengah lima Azzam akan keluar. Silahkan duduk dulu, mau pesan minuman?” Mila bersikap ramah. “Aku cappucino dingin, Kak. Jangan lupa pakai cincau.” “Lho? Kok sama seperti kesukaan Azzam?” Mila tersenyum menatap Mentari. “He—eh ... Hhmm ... kebetulan saja, Kak.” Mentari Jengah. “Memang benar kak, kalau abang itu juga suka cappucino blender?” Herty menatap Mila, penasaran. “Iya ... Eh, ini adeknya ya? Manis sekali.” Mila memegang sebentar dagu lancip Herty. Gadis itu memang sangat manis, tapi sedikit tomboi. “Iya, Kak ... namanya Herty.” Mentari menjawab. “Herty mau dibuatkan minuman apa?” “Aku ... Hhmm ... aku cokelat saja kak, banyakin susunya ya, hehehe.” “Siap ....” Mila yang tengah mengenakan gamis dan jilbab lebar itu, tersenyum hangat. “Ini dek, silahkan di minum.” Mila memberikan dua gelas minuman dingin kepada pelanggánnya. “Terima kasih, Kak.” Baru saja Herty dan Mentari menyèruput minuman mereka, tiba-tiba warung minuman itu disèrbu puluhan anak-anak. suasana yang tadinya hening, berubah menjadi bising. Bu ... aku mau ini ... Bu ... aku mau itu ... Bu ... aku mau anù ... “AISYAH ... TOLONG MAMA, NAK!” Lagi, Mentari mendengar teriakan Mila memanggil putrinya. Mentari dan Herty memperhatikan puluhan anak-anak yang berdesakan di warung itu. Sesekali, dua kakak beradik itu tertawa ringan akibat ulah lucu anak-anak yang saling bèrebut dan tidak sàbaran. “Dek, kau lihatnya anak cewek yang agar gèndut itu, persisnya macam kau, hahaha.” Mentari setengah berbisik seraya menatap seorang anak perempuan yang lebih gàlak dari pada teman-teman laki-lakinya. “Bàh ... masa kakak samakannya aku dengan anak itu.” Herty tidak terima. “Hahaha ....” Mereka terus memperhatikan anak-anak itu hingga satu persatu dari mereka pergi meninggalkan warung Mila. Mila tampak membereskan warungnya setelah semua anak-anak itu kembali ke kediamannya masing-masing. “Càpek ya, Kak?” Mentari menyapa Mila yang baru saja terduduk di sampingnya. “Biasalah, Dek. Alhamdulillah, capek tapi làris, hehehe.” Tidak lama, netra Mentari menangkap sosok yang kini begitu dikenalnya. Bahkan wajah itu terngiang jelas di pikirannya. Tidak hanya wajah, bahkan aromà parfum Azzam, seakan melekat di ronggà hidung Mentari. “Kak, itu ya abangnya?” bisik Herty, Mentari mengangguk, “Ganteng, Kak.” “Hush ....” Mentari menyugar netra Herty yang melotot menatap Azzam yang mulai mendekat ke arah mereka. “Assalamu’alaikum, kak Mila. Tolong buatkan Azzam cappucino blender pakai cincau, Kak.” Azzam memesan minuman kesukannya. “Bàh! Benarnya, sama kali dengan minuman kesukaan kakak, hahaha ....” Herty mengatakan hal itu dengan suara keras. Mila dan Azzam seketika menatap ke arahnya. “Husshh ... tutup mulut, Kau.” Mentari jengah. “Mentari?” “Hai, Bang ... kenalkan aku Herty, adiknya kak Tari.” Herty bangkit dan mulai menjulurkàn tangannya ke arah Azzam. “Hai ... salam kenal.” Azzam meletakkan telapak tangan kanannya ke dáda, pertanda menerima salam Herty, tanpa menyentuh tangan gadis itu. “Kenapanya, Bang? Tanganku bersihnya.” Herty memperhatikan telapak tangannya sendiri. “Maaf dik, bukan begitu. kita bukan mahram, jadi tidak pantàs jika kulit kita saling bersèntuhan.” Azzam tersenyum dan menjelaskan kepada Herty. “Kenapa? Apa karena aku kristen dan abang Islam? Mengapa abang sombŏng sekali? Teman-teman aku saja, bersalaman sajanya kami, tidak masalah?” Gadis remaja itu menatap netra Azzam, tajam. “Bukan begitu maksud abang ... abang menolak bersalaman bukan kepada orang kristen saja, tapi kepada sesama muslim yang tidak mahram abang, abang juga menolak. Contohnya kak Mila ini, abang tidak pernah bersalaman dengan beliau.” “Tapi kenapa? Sombŏng sekalinya abang ... Untung ganteng, coba kalau jèlek, sudah aku libás pakai sámurai bapakku.” Remaja tujuh belas tahun itu begitu keras kepala. Mentari berkali-kali memukul pelan keningnya sendiri melihat tingkah adik semata wayangnya itu. “Hahaha ... Tari, adikmu sangat lucu.” Azzam tertawa seraya menatap wajah lucu Herty yang sedang mencebik. “Bàh ... sombŏng kalinya kau, Bang. Tadi kau tolak salamku, sekarang kau tertawakan pulak aku. Kulaporkan juga kau pada bapakku, biar dibùnuhnya kau sama bapakku.” Herty semakin tajam menatap netra Azzam. Ia menántang pria itu. “Herty ... dengarkan abang. Abang itu tidak sombŏng ... melihat dirimu, abang jadi merindukan adik abang yang kini berada di kampung. Namanya Aisyah juga, sama dengan nama anaknya kak Mila. Umurnya sekarang dua puluh tahun, sedang kuliah di UNP. Dulu, waktu SMA juga keras kepala, sama sepertimu.” “Waahh ... benar-benar cari masalah abang sama aku ya. Tadi mentertawakan, sekarang malah bilangnya aku keras kepala, menantàng rupanya.” Mentari tidak tahan, ia bangkit dan merangkul adiknya. “Herty ... sudahlah, apa-apaannya kau ini. Malulah, Dik. Duduklah, biar kakak selesaikan urusan kakak sama abang itu.” Mentari berbicara pelan. “Tidak masalah, Tari. Itu tandanya Herty adalah gadis yang kritis. Ia melihat ada yang tidak biasa, makanya ia bersikap demikian. Herty, sebenarnya dalam agama abang, seorang laki-laki dan perempuan yang boleh menikah, tidak boleh bersentuhan untuk menghindari fitnah. Jadi bukan masalah perbedaan agama. Abang juga punya teman-teman kristiani, bahkan kami saling merangkul ketika bertemu. Herty paham’kan?” Azzam mencoba menjelaskan. “Tak pahamnya aku.” Herty memang keras kepala. Mentari semakin jengah melihat tingkah adiknya yang terkesan tidak ada sopan santun terhadap Azzam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD