Mentari terduduk lemas di atas ranjang. Senyum bahagia, seketika berubah menjadi dilema dan kekhawatiran. Kata-kata terakhirnya ayahnya, terngiang-ngiang di benak Mentari. Ia yakin, semua tidak akan mulus-mulus saja. Tiba-tiba, netra abu-abu itu meneteskan satu tetes air asin nan bening. Dua tetes, tiga tetes, pada akhirnya lahar dingin itu keluar dengan deras tanpa bisa dicegah. Mentari tersentak tatkala mendengar pintu kamarnya terbuka. Ia dengan cepat, segera menyeka air matanya dan menoleh ke arah sumber suara. “Kaunya, Herty.” Herti masuk dan mengunci pintu dari dalam, “Kak? kamu menangis? Ada apa? Bukankah senangnya kau tadi, Kak?” “Entahlah ... aku rasanya tidak pantas bahagia. Karena sesuatu yang buruk, bisa saja akan terjadi.” Mentari menghela napas panjang. “Apa maksudmu, K