Cincin sudah tersemat di jari manis mereka masing-masing. Misha dapat melihat rona bahagia yang terpancar dari wajah Alise. Misha tersenyum getir mengusap perutnya yang masih rata. Siapa yang menginginkan kehamilan ini? Lihatlah, bahkan Lelaki yang menghamilinya pun sudah menikah dengan wanita yang sudah ia anggap kakaknya sendiri. Namun, tidak sedikit pun terlintas di pikiran Misha untuk menghentikan kehidupan janin yang ada di perutnya. Lalu, bagaimana masa depannya? Haruskah ia menggadaikan masa depannya demi mempertahankan janin yang ada dalam perutnya?
Rahang Misha mengetat, Misha berusaha meredam isakannya. Mata Misha masih setia melihat rentetan acara pernikahan Alise. Bolehkah dia mengeluh? Bolehkah dia memprotes pada Tuhannya? Kenapa ia harus diberikan masalah seberat ini.Bolehkah Misha menyerah saja? Namun, bagaimana pertanggung jawabannya nanti di akhirat jika dia menyerah begitu saja?
Misha menahan napasnya. Dia menarik napasnya pelan kemudian menghembuskan napasnya pelan. Sekuat apapun Misha berusaha menahan laju air matanya, tetap saja air mata itu mengalir begitu saja. Misha tidak kuat, dia memilih beranjak dari duduknya kemudian melenggang pergi menuju toilet.
Misha kembali menangis di sana. Dia meremas perutnya, siapa yang mendatangkan kehancuran ini padanya? Kenapa bahagia selalu jauh dari jangkauannya? Apalagi yang harus ia lalui setelah ini? Hinaan? Tatapan sebelah mata orang-orang? Atau tekanan yang lainnya? Tangis Misha semakin menjadi, dia membekap mulutnya sendiri. Dengan tubuh yang bergetar hebat Misha menangis.
***
"Misha, ada apa sebenarnya denganmu? Bukankah kita sahabat? Kenapa kamu menutupi semuanya Misha?" Lusi menyempatkan bertanya pada Misha yang duduk di sebelahnya.
Acara pernikahan Alise selesai tepat malam hari. Lusi yang mengambil alih mengantar Misha. Lusi benar-benar kehilangan sosok Misha beberapa minggu terakhir ini.Kesabaran Lusi sudah habis, dia tidak bisa menunggu Misha menceritakannya sendiri.
Misha bergeming menatap lurus ke depan, melihat jalanan yang luas tak ada kemacetan.
Lusi menghela napas lelah. Kakinya menginjak rem mobil, menghentikan laju mobilnya. Lusi menatap Misha lekat. "Mish, kamu tidak menganggapku lagi? Kamu-" ucapan Lusi terhenti saat melihat mata Misha memerah menatapnya penuh luka.
"Meski pun aku berbicara padamu, tidak akan menyelesaikan masalah. Malah menambah masalah, Lusi. Yang ada, kita akan berpisah, persahabatan kita akan hancur. Alise akan membenciku, walau semua yang terjadi bukan kehendakku," ucapan yang terakhir Misha terdengar lirih, mewakili kesakitan dalam hatinya.
Lusi diam, matanya mengabur. Dia tidak menyangka jika Misha akan mengatakan itu. Seberat itukah masalah Misha? Apa ada hubungannya dengan dirinya dan Alise? Lusi benar-benar bingung. Tanpa bicara lagi, Lusi melajukan kembali mobilnya mengantar Misha pulang.
Sampai di pelataran rumah, Misha turun sempat mengucapkan kata terimakasih pada Lusi. Setelah itu beriringan Misha masuk ke dalam, mobil Lusi sudah melaju meninggalkan pelataran rumah Misha.Misha masuk ke dalam rumah hendak menuju kamarnya, sayup-sayup dia mendengar suara Mama dan Papanya yang bertengkar.
"Kenapa harus aku yang disalahkan? Putrimu saja yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri! Bukan salahku!"
Misha berbelok arah, melangkah ke ruang keluarga. Misha berdiri di ambang pintu, keduanya menoleh menatap Misha marah.
Mama Misha berjalan cepat menghampiri Misha. Tanpa aba-aba tamparan melayang tepat di pipi mulus Misha. Telinga Misha terasa berdenging, rasa panas menjalar sampai ke telinganya.
Wajah Misha kembali terlempar ke samping, rasa panas pun semakin menjadi. Air mata Misha mengalir, tamparan semakin menjadi tak ada hentinya sampai Papa Misha menghentikan Mama Misha.
Pandangan mata Misha mengabur, pipinya terasa kebas. Perih tak lagi ia rasakan, hanya panas bekas tamparan Mamanya yang berulang kali.Misha menatap sayu Mamanya, tiba-tiba sebuah tespack terlempar ke wajah Misha, lalu jatuh ke lantai. Mata Misha membulat, seketika menelan ludahnya susah payah.
"Jelaskan itu milik siapa, Misha!" Bentak Mamanya menggema memenuhi penjuru ruang keluarga. Misha bergeming, air matanya terus mengalir. Dia hanya menggelengkan kepalanya pelan.
"JELASKAN MISHA!"
Misha tersentak, ia mundur beberapa langkah ke belakang.
"Itu- itu milikku," cicit Misha pelan.
"APA MAKSUDMU!" Bentakan Mama Misha semakin nyaring.
Misha berlutut, bersimpuh di hadapan Mama dan Papanya.
"Itu milikku, Mama. Itu milikku," isak Misha tak sanggup menahan sakit batin dan lahirnya.
Tubuh Mama Misha menegang, tiba-tiba tubuhnya limbung. Dan segera ditahan Papa Misha.
"Misha jangan bercanda," tukas Papa Misha tak percaya.
Misha masih menunduk takut. "Itu memang milikku, Pa. Aku hamil..." Tangis Misha kembali menjadi.
"Kita percaya kamu bisa menjaga diri, tapi kenapa kamu melakukan hal memalukan seperti ini, Misha!" Mamanya sudah kembali berdiri normal.
"Ini bukan kehendakku, Ma, Pa. Ini bukan keinginanku, sejauh ini aku selalu menjaga diriku dengan baik, tetapi pria itu memerkosaku," isak Misha semakin menjadi.
Kedua orang tua Misha saling melempar pandang. "Kamu tidak bisa membohongi kami, Misha," bentahMamanya tak percaya.
Misha mendongak dengan mata yang terus mengeluarkan bulir bening itu. "Aku bersumpah demi Tuhan, Ma, Pa. Semua ini terjadi bukan kehendakku. Aku hanya korban."
"Kalau begitu, gugurkan janinnya, Misha." Papa Misha bersuara.
Misha menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak, Pa. Janin ini tidak bersalah. Aku ti-"
"Itu artinya semua memang terjadi karena kehendakmu, Misha. Kamu sudah salah bergaul," potong Mama Misha cepat enggan menatap Misha.
Misha kembali menunduk. "Aku tidak mau disamakan dengan pria b******n itu. Aku manusia yang mempunyai perasaan, Ma. Aku tidak mungkin menggugurkan kandunganku."
"Itu aib, Misha!" Mama Misha kembali naik darah.
"Aku tahu, Ma. Aku tahu," sahut Misha cepat menatap sendu Mamanya. "Tapi tolong, jangan membuatku sama berengseknya seperti orang yang sudah membuatnya hadir."
Papa Misha berjongkok menatap putrinya iba. Pria b******n mana yang sudah menghancurkan putrinya. Seketika batinnya menjerit. Tangan yang sedaritadi terkepal, perlahan terbuka mengusap puncak kepala Misha lembut.
Misha mendongak menatap Papanya memelas. "Percaya padaku, Pa. Aku tidak akan berani melakukan itu semua. Akumemertahankannya karena aku tidak mau disamakan," lirih Misha pilu.
Papa Misha hanya bisa menganggukkan kepalanya. Ia berusaha keras menahan emosi dan juga air matanya. "Bisa kasih tahu Papa siapa yang melakukan hal biadab itu padamu?" Tanya Papa Misha lembut.
Misha bergeming, Mama Misha ikut berjongkok memeluk tubuh mungil Misha erat. Menangis bersama. "Katakan, siapa yang melakukan itu Misha?"
"Aku tidak bisa menuntut pertanggung jawabannya. Karena dia sudah menikah, Pria itu suami Alise."
Tubuh kedua orang tua Misha tiba-tiba membeku. Lalu mereka memeluk Misha bersamadan di sana Misha kembali menangis bahkan meraung, mencengkram erat punggung kedua orangtuanya.
Jika kebahagiaan tak dapat ia peluk, biarkan saja luka memeluknya erat.