Sembilan

1197 Words
  Misha menatap hampa jalan setapak yang ia lewati. Malam tadi setelah ia berbicara dengan kedua orangtuanya, Misha memutuskan untuk tinggal di Rumah Neneknya. Daripada dia harus menggugurkan janin yang tidak berdosa, lebih baik dia pergi menjauh dari Kota besar itu. Misha juga sudah mengambil cuti di Kampusnya sampai kurun waktu yang belum ditentukan   Misha mengingat kilasan balik malam tadi, ia sempat berpikir bahwa Mamanya akan tinggal dan menemani masa sulitnya, tapi nyatanya, Mamanya malah mencari penerbangan ke Amerika secepatnyamalam itu juga. Misha tersenyum getir, sebegitu tidak berartikah dirinya? Dia harus menjalani masa yang benar-benar sulit sendirian. Apa artinya orang tua, jika hanya ada saat pembagian rapor saja. Setitik air mata di sudut mata Misha mewakili sejuta kekecewaan yang menggunung di hatinya.   Misha menarik napas dalam-dalam, dia sudah berusaha untuk tidak menangis. Namun matanya terlalu senang mengeluarkan air mata. Misha terus berjalan memasuki pekarangan rumah Neneknya. Dia berjalan masuk ke teras tanpa melihat ke depan.   Tubuh Misha terjungkal ke belakang, Misha mengerang menyentuh bokongnya yang mendarat di lantai. Misha menatap tajam pria yang berdiri angkuh di hadapannya.   "Ngapain kamu datang ke rumah Nenek, heh!" Sembur Pria itu seakan tak terpengaruh oleh tatapan tajam Misha.   "Sakit," ucap Misha mengusap bokongnya. "Untung saja aku tidak keguguran." kata Misha berusaha berdiri.   Mata pria itu terbelalak menatap tak percaya pada Misha. "Apa? Siapa yang hamil? Kamu yang hamil?" Cecarnya syok.   Misha hanya mengedikan bahunya tak acuh. Pria di hadapannya adalah kakak sepupu dari Papanya, dia bernama Rumi. Misha tidak bisa menggunakan bahasa non-baku, karena kedua orangtuanya mendidiknya untuk berbicara menggunakan bahasa baku. Dan Rumi selalu mengajarinya bahasa yang tidak baik. Percaya atau tidak, Misha juga baru bertemu kembali dengan Rumi setelah sekian lama. Pria itu tampak kacau, terlihat dari jambangnya yang tampak lebat.   "Permisi, Abang. Aku ingin masuk ke dalam." Misha lupa jika Rumi memiliki tingkat penasaran yang tinggi. Misha sungguh sangat lelah, dia belum ingin bercerita apapun.   "Mish, kamu yang hamil? Bukannya kamu enggak suka gaul?" Rumi menahan sikut Misha yang hendak berjalan melewatinya.   Misha mendelik pada Rumi, kemudian menghembuskan napas kasar. "Iya, Abang. Aku hamil, Abang sudah puas?" Nada ketus keluar dari bibir Misha.   Rumi menggeleng takjub. "Memang anak muda jaman sekarang. Semoga saja Janira bisa menjaga dirinya dengan baik di sana," gumam Rumi pelan.   Misha memicingkan matanya ke arah Rumi. Dia hamil bukan keinginannya, semua terjadi karena dia diperkosa. Misha mendengus. "Aku tidak sembarangan bergaul, Abang! Aku diperkosa laki-laki asing," pungkas Misha lirih.   Rumi semakin membulatkan matanya. Tangannya mengepal kuat setelah mendengar pernyataan dari Misha. "Kamu diperkosa, begitu? Laki-laki biadab mana yang melakukan hal k*****t itu sama kamu, hah! Bilang sama Abang, Misha!" Sentak Rumi marah. Rumi marah karena Misha adalah adiknya, sedikit banyak Misha mencontoh perilakunya dan sekarang, tubuh mungil itu terlihat sangat rapuh dan lelah.   Misha akhirnya kembali menangis, memeluk Rumi erat. Dia menumpahkan tangisannya di pelukan Rumi.Rumi adalah sosok kakak yang baik, meski pun jauh, Rumi selalu menanyakan kabarnya setiap hari. Namun, akhir-akhir ini Rumi tidak sekalipun menghubunginyadan Misha juga lupa untuk memberitahu Rumi.   "Dia sudah menikah," sahut Misha terisak. "Dengan Alise," sambungnya semakin terisak.   Rumi tahu siapa Alise, keluarga Alise cukup dekat dengan keluarga pamannya. Dan keluarga Alise juga salah satu yang menanam saham di Perusahaan keluarga besar Papanya. Rumi juga tahu siapa Suami Alise, dia seorang Arsitek yang bekerja di Perusahaan keluarga Alise. Rumi juga mendapat undangan itu, hanya saja dia sangat-amat kacau habis di tinggal pergi, jadilah ia tak menghadiri pernikahan mereka.   Rahang Rumi mengetat kuat, dia mengusap punggung Misha yang bergetar. Awalnya dia datang ke rumah Neneknya untuk menenangkan dirinya. Bukannya tenang, Rumi malah merasa semakin gagal. Gagal dalam mencinta dan gagal dalam menjaga adiknya.   Rumi mengusap punggung Misha sampai benar-benar tenang. Tangis Misha sedikit reda, hanya tinggal sisanya saja. Misha melepaskan pelukannya, mendongak menatap Rumi. Matanya yang sudah bengkak, semakin bengkak, belum lagi hidungnya yang merah dan juga pengap.   "Sudah kenyang menangisnya?" Tanya Rumi serius.   Misha menggeleng pelan, sedikit senyuman terbit dari bibi mungilnya. "Tangisan tidak dimakan, Abang."   "Om sama Tante tahu?" Rumi bertanya kembali. Misha menganggukkan kepalanya. Dan itu membuat Rumi menarik sebelah alisnya. "Dan mereka enggakpeduli?!” Wajah Rumi menampilkan ekspresi  terkejut.   "Mereka sudah kembali ke Amerika, Abang. Dan aku," ucapan Misha tersendat. Dia benar-benar terluka jiwa-raganya. "Aku sendirian," sambungnya berusaha tegar.   Rumi berdecak menggeleng tak habis pikir. Dia menarik tubuh mungil Misha untuk masuk dalam pelukannya. "Kamu enggak sendiri, ada Abang yang bakal jagain kamu. Dan Abang janji, Abang bakal bikin si biadab itu menderita." Rumi mengucapkan itu penuh keyakinan. Sementara Misha tersenyum haru di dalam dekapan Rumi. Misha sangat bahagia, setidaknya, Kakak sepupunya peduli padanya.   ***   Alric mencumbu leher jenjang Alise, mengecupi seluruh permukaan kulit Alise. Alise mendesah merasakan cumbuan Alric yang menyulut gairahnya. Mereka berdua tengah berdiri di dekat jendela balkon.   Alric terus melayangkan cumbuannya. Dia pun mulai tersulut gairahnya. Sampai bayang jeritan Misha tiba-tiba datang dan menghentikan cumbuannya.   "Jangan ... Aku mohon ..."   "TIIDAAAK."   Alric terdiam, sedikit menjauh dari Alise. Dadanya naik turun, degup jantungnya sedikit melemah. Setiap malan dia merasa dihantui jerit rintihan kesakitan Misha malam itu. Akalnya tidak bisa berpikir normal. Jeritan itu terasa nyata di telinganya.   Alise merasa kehilangan, segera menyusul Alric duduk di sebelahnya. Alise menyentuh bahu Alric lembut, membuat Alric menoleh pada Alise.   "Maaf," kata itu lolos begitu saja dari bibir hitam Alric. Alric benar-benar frustrasi.   Alise tersenyum lembut, jemarinya berpindah merangkum jemari Alric. "Aku tahu, kau tidak mencintaiku, Alric. Aku bahkan sadar, jika hubungan intim itu tak akan pernah bisa terjadi," ujar Alise sedikit meringis.   Alric membalas rangkuman Alise, mengecup punggung tangan Alise. "Aku tidak tahu, Alise. Aku benar-benar minta maaf." Alric tahu dirinya salah, bagaimanapun Alise istrinya. Alise berhak mendapatkan haknya. Hanya saja... "Aku tidak bisa b******a denganmu, karena di dalampikiran dan hatiku sudah terpaut gadis itu. Aku tidak mau menyakitimu lebih dari itu," sambung Alric menatap sendu pada Alise.   Alise sadar betul, jika hubungan mereka terjadi karena sebuah paksaan. Iya, Alric adalah Pria yang bertanggung jawab dan bijaksana. Tidak sulit untuk jatuh hati pada sosok Alric.   "Kau tahu, Al. Mencintaimu sangat mudahdan sepertinya aku,"   Alric langsung membalik tubuhnya, menatap Alise memelas bercampur cemas. Jemarinya menangkup wajah Alise. "Jangan Alise, jangan mencintaiku. Aku hanya seorang lelaki b******n. Aku takut tak bisa membalas perasaanmu. Bukankah kita bersahabat? Itu sudah cukup untuk mengikat tali pernikahan kita. Aku takut benar-benar akan menyakitimu."   Tapi Aku sudah mencintaimu, Al.   Alise tersenyum pedih, mengecup lengan Alric yang masih menangkup pipinya. "Aku mengerti, Al." Iya, Alise mengerti jika dirinya-lah yang bersalah, seandainya dia tidak menunjukkan potret Misha dua tahun yang lalu pada Alric, mungkin Alric akan mudah mencintainya.   Alric tersenyum lega, dia bergerak mengecup kening Alise membuat Alise memejamkan matanya meresapi hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.   "Tidurlah duluan," titah Alric yang diangguki Alise. Alise segera beranjak dari duduknya setelah Alric melepaskan tangkupannya. Alise berjalan lesu menuju ranjang. Sementara Alric bersandar di sandaran sofa sambil memejamkan matanya.   Oh Tuhan... Ini malam kedua mereka, tapi Alric tak bisa menyentuh Alise. Dia tidak mungkin semakin menjadi b******n, b******a dengan Alise membayangkan Misha. Tidak, sudah cukup dia melakukan hal laknat itu. Tidak lagi.   Beginikah jatuh cinta pada pandangan pertama? Alric jatuh cinta pada gadis dalam potret dan rasa cinta itu mengakar kuat di hatinya. Bagaimana bisa?! Rasanya sulit dijabarkan dengan akal sehat, Alric nyaris gila dengan ini semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD