۝ Chapter 01 ۝

1811 Words
Dalton Caldwell baru saja kembali dari pasar dengan sekeranjang belanjaan yang diminta oleh sang ibu membelikan beberapa bahan makanan untuk beberapa hari ke depan, ketika dia melihat adiknya Clammie tengah duduk dekat jendela sambil bermain boneka kesayangannya. Sambil menaruh keranjang belanjaan berisi tepung dan gandum juga beberapa bumbu dapur, Dalton melihat sekeliling rumah, hanya saja pemuda berusia dua puluh tahunan ini tidak menemukan siapa pun di rumah itu, kecuali adiknya. “Di mana ibu?” tanya Dalton sambil duduk tepat di hadapan adiknya yang masih asyik menyisir rambut boneka yang terbuat dari kain perca tersebut. Ya, sebuah boneka perempuan yang terbuat dari kain perca yang dibuat oleh sang bunda dengan bahan-bahan yang dia ambil dari pakaian bekas yang sudah tidak terpakai, menjahitnya dan membuat kepangan untuk rambut boneka itu agar terlihat lebih menarik, sementara mata, hidung dan yang lainnya sang bunda mengunakan kancing kancing yang juga tidak terpakai lagi. Tentu saja mendapat hadiah spesial dari sang bunda seperti itu menjadikan barang tersebut kesayangannya, terlebih itu adalah boneka yang dibuat dengan tangan sendiri, khusus untuknya. “Hei, di mana ibu?” tanya Dalton sambil mengusak rambut pirang Clammie yang sedikit keriting. Karena tidak suka diperlakukan seperti itu oleh sang kakak, cepat-cepat Clammie menyingkirkan tangan Dalton dari kepalanya. “Aku tidak melihat ibu. Tadi ibu cuma bilang mau pergi memberi makan pada ayam di kandang.” Jawab Clammie dengan nada yang terdengar sebal, sementara tangannya masih sibuk mengelus rambut boneka yang sejak tadi dia mainkan. “Nah, kalau kau menjawab seperti ini, kan aku bisa tahu di mana ibu.” Jawab Dalton, mengusak rambut Clammie lagi seperti tadi dan seperti tadi juga, gadis berusia delapan tahun itu menggerutu karena tidak suka. Namun, Dalton hanya terkekeh melihat bagaimana adik perempuannya tertawa sambil berjalan pergi meninggalkan Clammie bersama boneka kain miliknya. Dengan langkah yang sedikit dipercepat, Dalton Caldwell berjalan ke belakang rumah menggunakan pintu yang berada di samping, sebuah pintu yang mengarah langsung ke halaman belakang di mana ada sebuah kandang babi berukuran cukup besar dengan beberapa pasang ekor babi yang dipelihara oleh orang tua pemuda ini, juga dua kandang ayam serta sebuah kandang lain berisi dua ekor kuda yang saat ini kuda-kuda itu tengah dibersihkan tubuhnya oleh sang ayah, sementara di kandang unggas, seperti yang dikatakan oleh Clammie, sang bunda tengah memberi makan unggas-unggas yang mereka pelihara di sana. Buru-buru dalton berjalan mendekat ke arah sang bunda dan mengambil alih seember pakan ayam dari tangannya. “Biar aku yang melakukannya.” Ujar Dalton pada wanita paruh baya berusia hampir lima puluh tahun tersebut. Ketika sampai, Dalton langsung meraih ember berisi pakan ayam yang tengah dipegang oleh ibunya tersebut. “Kau sudah kembali dari pasar?” tanya Ella Caldwell usai menyerahkan ember berisi pakan ayam itu ke tangan anak sulungnya. Dalton mengangguk. “Sudah, semua belanjaan aku taruh di meja.” “Terima kasih banyak, kalau begitu tolong lanjutkan, aku akan masak untuk makan malam kita.” ucap Ella, mengelus punggung putranya dan berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Dalton bersama ternak-ternak mereka. Dan hal tersebut disambut senyum hangat oleh Dalton. Ella Caldwell terlihat masih sangat cantik meski usianya sudah tidak muda lagi. Empat puluh lima tahun, memang bukan usia yang bisa dikatakan muda. Namun, wajah Ella masih terlihat segar dengan senyum yang terus mengembang indah di wajahnya. Ella dikenal sebagai seorang ibu yang sangat jarang sekali marah pada kedua anaknya — Dalton dan Clammie. Hingga terkadang, karena hal tersebut sempat membuat kedua saudara ini merasa kalau ibu mereka terlalu menyayangi mereka hingga tidak pernah berani memarahi satu atau yang lainnya, hingga rasanya ketika mereka membayangkan ibu marah, itu sudah benar-benar menakutkan. Tiba di dalam rumah, Ella Caldwell berlari kecil untuk mendekati putrinya yang masih asik bermain boneka di dekat jendela. Dengan gemas, wanita ini menarik-narik pipi bulat kemerahan milik Clammie penuh perasaan gemas, hingga membuat gadis kecil itu mengeluh karena tidak nyaman. “Ibu~ hentikan!” gerutu Clammie untuk perlakuan ibunya. “Mau sampai kapan kau bermain, huh? Bantu aku masak makan malam.” Ajaknya. Namun, tak dihiraukan sama sekali oleh Clammie gadis kecil itu masih terus bermain dengan boneka yang dimilikinya. “Aku tidak bisa memasak. Ibu saja yang memasak.” Jawab gadis itu sama sekali tidak melihat ke arah ibunya. “Kenapa kau tidak suka memasak? Bukankah setiap hari kulihat kau bermain dengan boneka-boneka itu? Harusnya kau bisa memasak juga, kan?” “Ayah dan kakak tidak pernah menyukai masakanku. Mereka lebih suka masakanmu. Jadi, jangan paksa aku belajar memasak karena tidak akan ada yang akan memakan masakanku di rumah ini.” Jawab anak berusia delapan tahun itu terdengar sangat ketus. Hingga membuat Ella tertawa. Bagaimana tidak, kalimat menyebalkan itu keluar dari mulut seorang anak yang baru saja fasih belajar bicara, membuat Ella tertawa miris namun di saat bersamaan juga geli. “Baiklah, baiklah ... kau tidak perlu memasak, aku yang akan melakukannya.” Jawab wanita itu sangat bijak dengan tidak memaksakan keinginannya pada sang putri. Usai percakapan itu, pasangan ibu dan anak ini mulai mengerjakan kegiatan mereka masing-masing, sementara Dalton yang sudah selesai memberi makan unggas-unggas peliharaan mereka, mendekati ayahnya yang masih berkutat di kandang kuda. Namun, ketika pemuda ini mendekat, Dalton sudah menemukan ayahnya membuang air dalam ember yang dia gunakan untuk menggosok tubuh kuda-kuda peliharaan mereka. "Ada yang bisa kubantu?" Tanya Dalton penasaran. “Sudah selesai, sebaiknya kau masuk dan bersihkan dirimu.” Ujar Gail, sang ayah. Hanya saja, Dalton tidak langsung mengiyakan perintah sang ayah. Pemuda ini hanya diam sambil mengelus kuda-kuda peliharaan mereka. Melihat tingkah Dalton yang demikian, membuat Gail melontarkan sebuah pertanyaan pada anaknya tersebut. "Ada apa?" “Sebentar lagi musim dingin, aku berencana untuk pergi ke kota untuk bekerja pada salah adu rumah seorang Duke di sana, agar kita bisa tetap mendapatkan uang.” Ucap Dalton sedikit ragu kalau apa yang dikatakannya akan mendapat penolakan darinya. Mendengar ucapan sang anak, Gail selaku kepala rumah tangga tidak bisa menyembunyikan kekalutannya. Pria paruh baya ini menghela napas sambil melihat ke sekeliling tempat tinggalnya yang adalah sebuah peternakan dan sedikit lahan pertanian. Jika musim panas mungkin mereka bisa menghasilkan lebih banyak hasil panen dan uang dari jagung juga gandum. Bahkan, terkadang dengan hanya menjual hasil ternak pun mereka akan mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka berempat dan membeli pakan ternak serta lebih banyak pupuk dan beberapa bibit tanaman. Namun, ketika musim dingin tiba, tidak ada lagi yang bisa mereka tanam atau mereka hasilkan. Bahkan, dengan menjual ternak mereka pun, mereka belum tentu bisa mencukupi kebutuhan mereka selama musim dingin berlangsung. Hanya saja, membiarkan anak lelaki satu-satunya pergi ke kota untuk mencari sebuah pekerjaan, Gail tidak langsung menyetujui hal tersebut. “Kita bicarakan ini nanti saja.” dalih Gail, seolah tidak rela untuk membiarkan anak laki-lakinya pergi begitu jauh hanya untuk mencari uang untuk kehidupan mereka. “Aku ingin kau yang membicarakan ini dengan ibu. Aku tidak ingin melihat wajah khawatirnya.” Dalton mencoba merayu ayahnya untuk bicara dengan sang ibu untuk bisa mengizinkannya pergi. “Kau pikir, ibumu akan membiarkanmu pergi?” jawab Gail sambil mengambil setumpuk jerami kering untuk diberikan pada kuda-kuda miliknya. “Bukankah itu tugasmu?” “Itu akan jadi tugas paling berat yang kau berikan padaku setelah kau menyuruhku membeli beberapa ekor babi tahun lalu. Dan sekarang, babi-babi itu tidak laku untuk dijual dan sekarang, kita malah harus menjagal mereka sendiri untuk dijual di pasar dengan harga murah.” “Karena itu, aku harus bekerja agar kebutuhan kita terbutuhi.” Sergah Dalton. “Tapi tetap saja kau tidak akan bisa pergi tanpa izin ibumu. Dan aku tidak akan mengatakan apa pun sampai kita benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa untuk mendapatkan uang.” ucapan Gail membuat Dalton berhenti mengelus kudanya. Wajah pemuda itu menjadi semakin suram saat ayahnya berhenti bicara. “Kalau begitu, kita akan mati kelaparan sampai musim semi tahun depan.” “Kau terlalu berlebihan.” Ujar Gail mengomentari kalimat putranya. Sambil membereskan jerami-jerami kering yang dia ambil untuk diberikan pada kuda-kudanya sebelum akhirnya percakapan mereka berakhir dan mereka pun masuk ke dalam rumah untuk menghangatkan diri sambil menunggu makan malam tiba. Makan malam mereka terasa sedikit lebih hangat dari biasanya dengan suara tertawa dari keluarga tersebut. Bahkan, canda tawa pun terdengar sangat riuh hanya dari ke empat orang dalam satu rumah itu, tak ada percakapan lain di antara mereka di luar konteks bercanda hingga malam semakin larut dan si kecil Clammie meminta untuk pergi tidur. Ella yang menyalakan lampu minyak langsung merangkul tubuh Clammie sambil sesekali mencium pucuk kepala gadis mungilnya. “Kau sudah mengantuk?” tanya Ella dan dijawab anggukan ringan oleh bocah perempuan tersebut. “Baiklah, ayo kita ke kamarmu, kalau begitu.” Ajak Ella masih sambil memegang lampu minyak. Kamar Clammie berada di lantai dua bersebelahan dengan Dalton sang kakak. Sebenarnya Clammie selalu merengek ingin kamar miliknya sendiri, karena gadis kecil itu selalu mengeluh kalau dia sering sekali mendengar kakaknya itu mengorok dengan suara yang sangat keras hingga terkadang membangunkannya tengah malam kau membuatnya kesulitan tidur kemudian. Namun, keinginan itu selalu dipatahkan dengan kalimat yang sama yang keluar dari mulut sang ibu terus-menerus, bahwa gadis kecil harus dilindungi sampai usia mereka delapan belas tahun. “Aku takut kalau ada seseorang yang datang dan membawamu jika kau tidur sendirian.” Jawab Ella sambil membenarkan letak selimut anak gadisnya, dan memberikan boneka-boneka yang selalu menemani anak itu selama bermain, tepat di sisi kanan dan kirinya, seolah menjadi teman tidur untuk gadis kecil itu, saat pertanyaan itu kembali diulang oleh Clammie. “Lagi pula, kau sudah punya banyak teman, bukan?” “Aku ingin main dengan mereka tanpa diganggu Dalton.” ucapnya lemah dengan nada sedikit memelas penuh mohon. “Dalton itu kakakmu, dia sayang padamu, pada kita.” “Bu, bagaimana kalau aku saja yang jadi anak pertama? Dalton jadi adikku. Aku tidak pernah mengganggu Dalton tapi dia selalu menggangguku, seperti anak kecil." Mendengar ucapan konyol anak gadisnya, Ella hanya bisa tersenyum sambil menggeleng. “Sudahlah, sekarang pergilah tidur.” Ucap Ella sambil menyentuh hidung mungil Clammie, membenarkan letak selimut gadis kecil itu lagi sebelum beranjak untuk meninggalkannya pergi. Tapi, sekali lagi, gadis kecil itu menghentikan sang bunda. “Benarkah kalau ada penyihir di Maryland ... apa itu nyata?” tanya Clammie dengan wajah yang sedikit tertutup oleh selimut. “Dari siapa kau mendengar itu?” “Dalton.” Jawab Clammie dengan nada dan wajah yang terlihat sangat polos. Sementara Ella, hanya bisa menggeleng dengan suara desahan yang terdengar cukup berat. Tidak hanya itu, Ella bahkan kembali mendekat pada gadis kecil itu dan mengelus pipi bulatnya lagi. “Dalton hanya menakutimu.” “Tapi, Dalton bilang kalau itu legenda nyata dan sudah ada banyak anak yang hilang di hutan Maryland. Dia juga bilang, kalau— “ “Sudahlah, sebaiknya kau tidur, besok aku akan membuatkan segelas s**u yang enak untukmu.” Ucap Ella sambil mengelus pucuk kepala anak gadisnya kemudian mengecup kening Clammie sekali lagi sebelum benar-benar meninggalkan gadis itu sendirian di kamarnya. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD