۝ Chapter 02 ۝ᕗ

1327 Words
Dalton bangun sangat awal pagi ini, ketika semua orang masih terlelap tidur, pemuda ini sudah terjaga untuk mempersiapkan dirinya agar bisa datang ke pasar lebih awal. Ini baru pukul empat pagi, hari masih sangat dingin dengan udara yang cukup menusuk tulang. Waktu sudah memsuki pertengahan September dengan cuaca yang bisa semakin buruk setiap harinya. Berbekal jaket tebal yang terbuat dari wol domba yang dibelikan oleh ayahnya sewaktu mereka pergi ke ibu kota dua tahun lalu, Dalton pun ke luar sambil membawa lampu minyak di tangannya untuk melihat apakah ada telur di dalam kandang ayam-ayam mereka atau tidak, untuk dijadikan menu untuk sarapan mereka pagi ini. Namun, ketika pemuda ini tiba di kandang ayam, tidak ada apa pun yang bisa pemuda ini dapatkan dari dalam sana karena tak ada satu pun ayam yang bertelur di pagi itu. Dalton mendengkus kesal karena tidak menemukan apa pun, dia juga tidak mungkin menyembelih seekor ayam hanya untuk sebuah sarapan. Karena itu, pemuda ini memutuskan untuk kembali ke dalam rumah saat hawa dingin semakin membuatnya menggigil. Namun, ketika dia berniat untuk meninggalkan kandang ternaknya dan berniat masuk kembali ke dalam rumah, dari kejauhan dia melihat cahaya nanar sebuah lampu minyak yang bergerak melewati jalan besar yang berada tak jauh dari rumahnya. Cahaya dari lampu minyak itu terlihat bergerak perlahan seperti ada seseorang yang tengah memeganginya sambil berjalan perlahan di tengah gelapnya hari menjelang matahari terbit. “Siapa itu ...?” tanya Dalton pada dirinya sendiri. Pemuda ini berusaha memicingkan sepasang matanya. Namun, karena gelap masih menutupi hari, dan hanya penerangan dari lampu minyak saja yang menjadi akses, membuat pemuda ini kesulitan melihat siapa yang tengah berjalan tersebut. Namun, jika dia melihat dari sisi lain, Dalton tidak ingat kalau ada rumah di sekitar tempat tinggalnya. Karena tak jauh dari sana, adalah hutan lebat yang cukup jarang dimasuki oleh warga, kecuali untuk mencari kayu bakar. ‘Tapi, siapa yang pergi ke hutan pagi-pagi buta seperti ini?’ Pikir Dalton. Semakin dia perhatikan, bayangan orang yang membawa lampu minyak bersamanya itu, semakin menjauh dan berakhir menghilang di rimbunnya pepohon menuju ke arah desa. Entah siapa orang itu, karena dalam pandangan yang berhasil ditangkap oleh Dalton, pemuda itu hanya bisa melihat seseorang yang memakai jubah panjang berwarna hijau lumut, berjalan sendirian hanya dengan penerangan dari sebuah lampu minyak saja. Tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, Dalton memutuskan untuk kembali ke dalam rumah, setelah dia merasa kalau udara dingin dari luar terasa sudah menusuk ke dalam tulangnya. Membuat pemuda ini menggigil dengan uap-uap udara yang terus ke luar setiap kali dia bernapas. Lampu minyak yang sejak tadi dia pegang, dia matikan dan dia taruh tepat di meja tak jauh dari rak dapur setelah dia masuk. Setelah itu, Dalton kembali berjalan ke arah perapian, melihat perapian rumahnya yang sudah hanya menyisakan kayu yang berubah menjadi arang, pemuda ini lantas memasukan kembali beberapa batang kayu ke dalam perapian tersebut dan menyalakannya kembali agar memberi sedikit kehangatan di rumah juga pada rumahnya yang sudah terasa seperti es. Mendengar suara-suara dari kayu-kayu yang dilemparkan Dalton ke dalam perapian di dalam rumahnya, membuat Gail pun terbangun. Dengan langkah yang sedikit mengendap, pria paruh baya ini mulai meraih senapannya yang tergantung di dinding kamar, karena Gail melihat Ella masih tertidur sangat lelap, pria ini tidak ingin membangunkan istrinya itu dan memilih untuk menyergap penyusup yang berani datang ke rumahnya pagi-pagi buta seperti ini. Penuh kewaspadaan, Gail mencoba menaikkan moncong senjatanya sambil bersiaga, berjaga-jaga kalau sampai penjahat yang berani masuk ke dalam rumahnya tersebut melawan dan dia bisa langsung dia tembak sebelum menyerang. Namun, betapa terkejutnya dia ketika dia menemukan anak sulungnya tengah menyalakan perapian dengan tubuh yang sedikit menggigil. Melihat itu, sedikit banyak Gail merasa lega. “Sedang apa, kau?” tanya Gail setengah menggerutu sambil menurunkan moncong s*****a yang dia pegang. “Menyalakan perapian.” Jawab Dalton sangat santai sambil terus menggeser-geser kayu bakar dalam perapian agar api tidak padam begitu saja. Pemuda ini bahkan mengabaikan wajah ayahnya yang terlihat sedikit kesal, apa lagi senapan yang dipegang oleh pria paruh baya itu. “Menyalakan perapian di pagi buta seperti ini?” “Aku masih waras, daripada orang yang baru saja ke luar dari hutan.” Mendengar ucapan anak sulungnya, membuat Gail langsung mengambil posisi dan duduk tepat di sebelah Dalton, sementara senapan laras panjang yang dia bawa sejak tadi, dia taruh tepat di sebelahnya begitu saja. “Apa kau bilang tadi?” tanya Gail penasaran. “Aku tidak tahu apakah dia benar-benar ke luar dari hutan atau tidak tapi aku melihat orang itu membawa lampu minyak dan datang dari arah hutan. Kupikir, dia baru selesai berburu atau mengambil kayu bakar. Orang tidak waras kalau dia benar-benar berburu di pagi buta yang sangat dingin seperti ini." “Dan kau percaya itu?” “Maksud ayah?” sebelah alis Dalton naik ketika ayahnya bertanya hal demikian. Gail tidak langsung menjawab pertanyaan anaknya. Sepasang mata pria paruh baya ini menatap lulus ke arah perapian yang berkobar. Beberapa menit ayah dua anak ini diam dan tidak melakukan apa pun, dia bahkan seolah membiarkan putra sulungnya menunggu. Bahkan, ketika perhatian pria itu sudah teralih, Gail malah menghela napas dan menatap ke arah Dalton, tanpa senyuman. “A— ada apa? Apa ada sesuatu yang salaah dengan kalimatku barusan?” tanya Dalton penasaran. “Tidak. Lupakan, lupakan apa yan kau lihat dan jangan beritahu siapa pun tentang apa yang baru saja kau lihat." jawab Gail, seperti tidak ingin membahas hal tersebut lebih jauh. Begitu pula dengan Dalton yang tidak ingin membuat suasana yang mulai menjadi hangat berbuah canggung, akhirnya membuat pemuda ini juga memutuskan untuk tidak membahas hal tersebut lagi. “Hari ini aku akan pergi ke kota untuk mencari tambahan pekerjaan.” “Kau tidak usah pergi ke mana pun. Aku yang bertanggung jawab dengan keluarga ini.” Ucap Gail terdengar serius. Kendati demikian, laki-laki di rumah ini bukan hanya ada ayahnya saja, tapi juga dirinya yang akan menjadi tulang punggung keluarga selanjutnya. Karena itu, Dalton juga tak bisa begitu saja membiarkan ayahnya hanya sendirian menanggung semua beban keluarga yang akan mereka hadapi selama musim dingin nanti. "Aku janji kalau aku hanya akan bekerja selama musim dingin saja, setelah itu akan kembali dan mengelola ladang ini bersama-sama." Dalton masih berusaha membujuk ayahnya agar diberi izin untuk pergi bekerja di rumah salah seorang Duke di kota. Namun, alih-alih menjawab keinginan anaknya, Gail malah mendengkus dan kembali melemparkan sebatang kayu ke dalam perapian. "Bekerja pada orang lain tidak semudah yang kau bayangkan, kemudian dibayar." Akhirnya Gail angkat bicara. "Duke di kota hanya ingin memanfaatkan tenagamu untuk pekerjaan berat dengan upah yang kecil. Kau tidak mungkin bisa melakukan semua pekerjaan itu di musim dingin yang entah akan jadi seperti apa di tahun ini." "Itu jauh lebih baik daripada kita harus hidup tanpa mendapatkan makanan yang layak." jawab Dalton menatap wajah ayahnya dengan sangat serius. Pemuda ini tahu kalau keputusan yang dia ambil saat ini sangat terkesan memaksa dan menyudutkan ayahnya yang punya keputusan sendiri. Hanya saja, sekali lagi dia katakan kalau dia harus bekerja demi menghidupi keluarga ini di tengah musim dingin. Namun, sekeras apa pun keinginan Dalton, Gail tetap tidak memberi izin untuk hal tersebut. "Aku tidak bisa memberimu izin untuk itu, kita masih punya banyak jagung dan gandum yang bisa kita olah untuk makanan. Kita juga masih punya beberapa ekor babi yang kau beli untuk disembelih dan jika itu tidak cukup, kita bisa pergi berburu untuk bertahan hidup." Ujar Gail sambil beranjak dari posisinya. Pria itu seolah benar-benar tidak ingin mengam jl.resiko dengan membiarkan Dalton pergi ke kota dan bekerja pada salah seorang Duke di sana. Menanggapi ucapan ayahnya, Dalton hanya bisa mendesah. "Lalu dari mana kau dapat uang jika Clammie sakit atau bayi yang ibu kandung itu lahir?" Gail tersentak. Dia tidak pernah sekali pun mendengar kalau istrinya — Ella — sedang mengandung. "I— ibumu?" Namun, Dalton hanya menggidikkan bahunya. "Mungkin saja." "Anak kurang ajar!" gerutu Gail sambil memukul kepala anak sulungnya tersebut sambil meleos pergi. Meninggalkan Dalton yang tertawa sangat renyah melihat bagaimana ayahnya kelimpungan. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD